OLEH: FACHRUDDIN M MANGUNJAYA
Perubahan iklim menjadi momok terhadap kelangsungan peradaban manusia di bumi.
Menghadapi hal itu, bulan-bulan ini, semua ancang-ancang dan melakukan dialog dalam rangka merespons ancaman perubahan iklim dan menuju arena negosiasi di Kopenhagen, awal Desember 2009.
Perubahan iklim sudah menjadi fakta dan ancaman. Bukti terakhir adalah badai Perma di Filipina yang menewaskan lebih dari 600 orang dan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal akibat banjir dan tanah longsor yang merusak tempat rumah mereka (Koran Tempo, 12/10). Sebelumnya, banjir bandang—bencana akibat curah hujan tinggi, yang merupakan dampak perubahan iklim—terjadi di Mandailing Natal, Sumatera Utara sehingga menelan korban 12 orang tewas, 25 hilang dan 4.300 orang mengungsi.
Ancaman lain masih mungkin terjadi. Laporan Asian Development Bank, ADB (2009) bertajuk “Economic of Climate Change in South East Asia”, menganalisis hal yang paling buruk bakal terjadi, bila skenario emisi tahunan global masih tidak berubah. Mengutip data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), laporan itu berkesimpulan temperatur rata-rata di negara Asia Tenggara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—diproyeksikan akan mencapai 4,8 derajat Celsius pada 2100 dari level tahun 1990, dan rata-rata permukaan laut akan mencapai 70 cm pada periode yang sama di kawasan ini. Belum lagi ancaman akan kekeringan dalam dua hingga tiga dekade yang akan datang.
ADB mengatakan, kawasan Asia Tenggara akan lebih banyak menderita akibat perubahan iklim global. Dalam arti, jika “business-as-usual” masih berlaku maka dampak bukan pasar dan risiko bencana akan menggerus setara dengan 6,7% produk domestik bruto (PDB) bangsa ini setiap tahun pada tahun 2100. Angka ini setara dengan dua kali lipat rata-rata kerugian global.
Beberapa kali pertemuan sebelum Kopenhagen telah diadakan pertemuan oleh semua negara untuk merumuskan kesepakatan yang akan diambil di arena bersejarah tentang perubahan iklim, tanggal 28 September - 9 Oktober di Bangkok, dan pertemuan mendatang 2-6 November di Barcelona. Pertemuan ini merupakan negosiasi dan persiapan untuk menghadapi COP 15 Kopenhagen.
Pertemuan Bangkok, misalnya, merumuskan diskusi dan kesepakatan sebagai patokan, para pemimpin dunia untuk setuju pada standar emisi yang lebih ketat—atau lebih dikatakan ambisius—terutama target pembatasan emisi yang harus dikeluarkan di negara-negara industri dan standar nasional oleh masing-masing negara di negara berkembang da-lam menurunkan angka emisi mereka.
Patokan diskusi Bangkok, dalam upaya pengurangan emisi (mitigasi) ini adalah berdasarkan temuan IPCC bahwa penurunan yang harus dilakukan oleh negara industri bisa mencapai target minus 25% hingga 40% di bawah level emisi 1990 dan harus dipenuhi pada tahun 2020. Dengan demikian, target berikutnya emisi global harus menurun setidaknya 50% pada 2050, untuk mencegah keburukan yang berlanjut akibat dampak perubahan iklim. Indonesia secara berani, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan pada pertemuan G20 dua pekan lalu, akan berkontribusi menurunkan emisi hingga 26% pada 2020.
Hal penting lain dari pertemuan Bangkok adalah identifikasi untuk mengarahkan kesepakatan kepala negara dan pemerintah tentang sumber pendanaan dan sumber daya teknologi, dengan mekanisme menempatkan dana yang dihasilkan secara otomatis dari waktu ke waktu. Akhirnya, mereka sepakat bahwa perundingan Kopenhagen perlu menciptakan struktur pemerintahan yang adil untuk mengelola dana adaptasi dan mitigasi yang membahas kebutuhan negara-negara berkembang.
Penyadaran Perubahan Iklim
COP Kopenhagen menjadi ajang penting dan bersejarah, karena arena ini diharapkan membuahkan kesepakatan dalam menahan laju emisi gas-gas rumah kaca dalam jangka sepuluh atau 20 tahun mendatang. Desakan-desakan publik dan kampanye penyadaran terus dilakukan untuk mendorong para pengambil keputusan mengambil tindakan signifikan guna memangkas (mengurangi) emisi gas-gas rumah kaca yang mengancam bumi dan memberikan sarana untuk beradaptasi pada perubahan iklim. Al Gore melalui The Climate Project-nya terus berkampanye tentang pentingnya semua orang peduli terhadap perubahan iklim dan berupaya mengubah segala jenis kebijakan menjadi pro lingkungan dengan memanfaatkan energi terbarukan sehingga ancaman gas-gas rumah kaca dapat dikurangi dan planet bumi dapat kita wariskan untuk anak-cucu kita dengan keadaan yang lebih baik. Gore telah melatih langsung 3.000 relawan di seluruh dunia—termasuk 54 berada di Indonesia—yang akan berkampanye memberikan penyadaran – presentasi secara gratis — tentang perubahan iklim ke berbagai lembaga dari elite politik hingga masyarakat awam.
Adapun Bill Mac Kibben, penulis buku The End of Nature, menetapkan target 350 ppm CO2 dengan kampanye www.350.org untuk mengejar batas paling aman—menurut para ilmuwan—konsentrasi yang bisa ditoleransi agar bumi tetap dalam keseimbangan. Sekarang ini, kondisi kita sudah mengkhawatirkan karena sudah di atas zona aman yaitu 386 ppm.
Setidaknya secepatnya kita kembali pada zona aman segera pada 350 ppm pada abad ini, maka mungkin kita melewati batas bahaya (tipping points), kondisi di mana keadaan tidak dapat dikembalikan, ketika selimut di Greenland mencair dan gas metana dilepaskan dari gundukan raksasa es yang meleleh.
Penulis adalah The Climate Project Fellow dan Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor.
SINAR HARAPAN,Sabtu, 28 November 2009 11:46
No comments:
Post a Comment