Seperti lagu Bengawan Solo: “Akhirnya ke laut...” itulah keputusan terakhir dalam keadaan ‘darurat’ yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi luapan Lumpur Sidoarjo (Lusi). Tentu saja para nelayan yang selama ini telah menikmati produktifitas ekosistem laut dan bakau di Selat Madura keberatan dengan adanya kebijakan ini (Koran Tempo, 7/5/07).
Kasus Lusi semestinya membawa banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia, sehingga keputusan ini juga yang mendasari Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam pernyataanya Koran Tempo (23/9/06), akan membuat undang –undang untuk tidak lagi memberikan ijin Amdal pengeboran dan pertambangan di kawasan yang mempunyai banyak penghuni dan berpenduduk.
Sesungguhnya kehati-hatian pemberian ijin untuk menyelamatkan lingkungan, tidak saja untuk penambangan, tetapi secara lebih luas –perlu perhatian—untuk tidak memberikan ijin pada kawasan mana pun di negeri ini yang mempunyai ‘ekosistem yang rentan (fragile ecosystems). Oleh sebab itu, komitmen ini tentunya harus disertai dengan sebuah keputusan peraturan dan perundang-undangan yang jelas, sebab selama ini masih banyak ketetapan yang tidak konsisten terutama bila berhadapan dengan ‘permohonan usaha’ untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sesaat, tetapi akhirnya mengorbankan ekosistem yang lebih bernilai: misalnya pemberian ijin untuk pembalakan kayu, pembuatan fasilitas umum dan penambangan di hutan lindung, akhirnya –karena alasan politik—dan desakan ‘ekonomi’ keputusan yang diambil adalah mengorbankan lingkungan.
Setelah kejadian Lusi, dan banyak sekali bencana alam, mestilah membuat lebih banyak pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan yang sadar, bahwa seluruh kejadian ini membawa dampak pada ketidak pastian iklim investasi yang akan membawa kelambanan pemulihan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu terakhir ini, para ahli lingkungan dan konservasionis, selalu mengadakan pengkajian dengan pendekatan perhitungan ekonomi dan valuasi untung rugi (cost dan benefit) atas berapa sesungguhnya ‘harga’ sebuah ekosistem alami –semula jadi-- atau apa adanya. Perhitungan ini sering disebut pula dengan ‘nilai jasa’ ekosistem yang kelihatannya sangat sepele, seperti: air, kesuburan tanah, ikan, satwa, udara, hutan alami sebagai pencegah erosi, nilai-nilai estetika, hasil hutan non kayu atau non timber forest product –NTFP, serta hutan bakau yang tentu lebih tinggi nilainya bila dibiarkan dalam keadaan alami, dibandingkan bila ditebang atau dijual kayunya.
Kerugian yang sesungguhnya dapat dinilai, apabila kemudian negara pada akhirnya harus berkorban yang nota bene: pengorbanan negara merupakan cost yang ditanggung bersama oleh rakyat dan uang rakyat yang harus di subsidi kepada pengusaha yang berbasis pada keuntungan kelompok dan individu. Pada akhirnya bangsa secara keseluruhan akan sangat dirugikan akibat kebijakan yang tidak memperhatikan keuntungan jangka panjang. Padahal pemungutan pajak –dari perusahaan dan investor—kepada pemerintah tentu saja dikeluarkan dengan niat agar kualitas kesejahteraan rakyat semakin meningkat dan ekosistem alam sebagai penyangga dapat mempertahankan kapasitasnya.
Belajar dari pengalaman dan banyak riset terakhir, para ilmuwan bersepakat bahwa dengan menjaga ekosistem secara keseluruhan, maka kemanusiaan akan dapat terhindar dari berbagai ancaman: penyakit, pemanasan global, penggundulan hutan, polusi udara, pencemaran air hingga perambahan spesies baru pada pada bukan habitat alaminya (aliens spesies).
Constanza dkk, menulis dalam Nature (1997) menyimpulkan bahwa ekosistem utuh yang ada di planet bumi ini secara keseluruhan mempunyai nilai AS$ 33 triliun (Rp297.000 triliun) dua kali Gross National Product (GNP) dunia. Sebuah nilai dengan angka yang tentu saja tidak dapat kita bayangkan banyaknya. Oleh karena itu para ekonom sudah sejak lama menghitung nilai-nilai ekonomi harga tag price untuk lahan rawa, gurun, gunung es, terumbu karang atau hutan alami untuk mengetahui tolok ukur untung rugi apabila kawasan-kawsan ini dibangun untuk keperluan konsumtif misalnya perumahan atau pendirian pabrik, penebangan hutan dan konversi lahan bakau untuk dijadikan tambak. Dalam sebuah laporannya, World Bank (1996) menaksir rata-rata terumbu karang mempunya nilai AS$ 15.000 (Rp138 juta)/km2/tahun. Sedangkan untuk kawasan yang mempunyai nilai aset wisata dan menjadi tumpuan penghasilan ekonomi masayarakat pantai terumbu karang Indonesia ditaksir dapat menghasilkan AS$3.000 (Rp 27,6 juta) hingga AS$ 5 juta (Rp46 milyar)/km2 pertahun.
Terumbu karang merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan berfungsi sebagai pemecah gelombang dan pencegah adanya penggerusan yang mengakibatkan abrasi pada pantai. Kawasan produktif ini akan terganggu dan menurun nilainya jika karangnya diambil, ikannya ditangkap dengan menggunakan racun, bahkan dibom seperti yang dilakukan beberapa nelayan di kawasan perairan Sulawesi dan Papua. Penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan tersebut, misalnya akan memberikan keuntungan sesaat pada sebagian orang, yaitu AS$ 33.000 (Rp303,6 juta)/km2,dalam jangka waktu tertentu, akan tetapi kerugian akibat kehilangan fungsi dan nilai terumbu karang mencapai AS$ 761 ribu (Rp7 milyar)/km2.
Hal terpenting dalam prinsip menghargai sumber daya alam dan ekosistem adalah, bahwa segala yang ada di bumi ini sesungguhnya merupakan tumpuan agar manusia dapat mempunyai ketahanan hidup. Artinya, jika bangsa Indonesia ingin bertahan sebagai bangsa yang tetap eksis, dan manusia secara keseluruhan ingin dapat mendapatkan kenikmatan kehidupan, sudah harusnyalah kita mempertahankan ketahanan ekosistem alami tersebut. Ada tiga alasan utama, mengapa pertimbangan terhadap ekosistem perlu dilihat: Pertama, kerusakan ekosistem berpotensi mengubah ketahanan fungsi alami yand ada pada ekosistem tertentu yang akan berdampak pada ekosistem yang lain (multiple effect) yang boleh jadi mengakibatkan kehilangan produktifitas biologi, yang pada ujungnya akan berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan yang sangat dibutuhkan manusia. Misalnya, hutan bakau akan diperlukan untuk tempat pemijahan, demikian pula salinitas air laut sangat penting bagi pertumbuhan plankton sebagai asupan pakan benih udang dan ikan yang menjadi produsen utama mata rantai dalam ekosistem mangrove. Kedua, boleh jadi sebuah ekploitasi terhadap alam tersebut tidak lagi dapat memberikan opsi bagi generasi yang akan datang untuk mendapatkan daya dukung ekosistem yang optimal (misalnya dengan terjadinya erosi, pengurangan sumber daya air, penggurunan dan kepunahan keanekaragaman hayati). Ketiga, terjadi perubahan yang mengakibatkan ketidak pastian. Fungsi ekosistem yang rusak juga akan mempengaruhi iklim makro yang menjadikan masalah perekonomian menjadi tidak pasti, misalnya, kekeringan yang berkepanjangan –akibat perubahan iklim—yang mengakibatkan gagal panen dan kerugian pertanian akibat lahan puso.
Dengan mempelajari nilai ekonomi ‘jasa ekosistem’ alam, maka apabila terjadi pembuangan lumpur di Pantai Sidoarjo, seharusnya bisa dinilai pula—dan perlu dihitung—kerugian yang ditimpakan pada kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau yang ada disana. Begitu pula kerugian produktifitas saluran drainase dan jaringan air minum yang rusak, saluran irigasi, sawah dan lahan perkebunan yang rusak ratusan hektar. Lalu perhitungan harus ditambah lagi dengan dampak pembuangan ke laut, yang menimbulkan kekhawatiran penurunan produktifitas tangkapan ikan hingga selat madura (karena dampak pembuangan biasanya berakibat menyebar (broad spectrum). Sekarang ini kompensasi yang harus ditanggung oleh Lapindo Brantas saja telah menyedot dana adalah Rp26,04 miliar. Tentu yang paling sulit dinilai adalah hilangnya opsi jangka panjang ketika generasi yang akan datang, tidak akan pernah lagi mendapatkan kesempatan yang sama –dengan kita hari ini (sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan)—untuk menikmati keindahan pantai dan produktifitas lahan yang seharusnya mereka dapatkan, karena kawasan tersebut telah berubah dan tercemar.
Salah satu contoh paling terkini tentang kawasan ekosistem yang rentan adalah Pulau Siberut, yang merupakan pulau kecil yang menurut penelitian LIPI (1995), digolongkan sebagai mintakat sensitivitas I dan II . Kawasan ini memiliki kelerengan lebih dari 25% dan curah hujan yang tinggi (3000-4000mm/th) sehingga mempunyai laju erodebitas yang tinggi. Kesimpulannya pulau ini sangatlah tidak cocok untuk ekploitasi, dan sebaiknya hanyalah untuk kawasan konservasi.
Akan tetapi sesungguhnya, berapa pun harga yang diberikan untuk jasa ekosistem kita, pada hakikatnya tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ekonomi saja, melainkan lebih dari itu, karena hanya pada bumi dan ekosistem yang sehatlah bangsa ini dapat hidup dan mempertahankan eksistensinya.***
1 comment:
Coin Casino Review (2021) | Bonuses, Software & Games
What is the latest coin casino bonus? Learn about septcasino the latest casino bonuses and their games. Get all งานออนไลน์ the latest welcome bonus from top 인카지노 online
Post a Comment