Friday, April 24, 2009

Keberpihakan Pengelolaan Kekayaan Bumi

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan
EDISI LENGKAP yang dipublikasikan KORAN TEMPO, 22 April 2009

“Bumi akan cukup memenuhi kebutuhan setiap manusia, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan manusia..”—Mahatma Gandhi

Peringatan Hari Bumi, telah berusia 39 tahun. Hampir empat dekade bagi kita belajar mensyukuri karunia Tuhan yang ada di bumi ini dengan segala kelengkapan dan keasrian yang harus terus dipertahankan. Ketika beberapa waktu yang lalu, dalam kunjungan ke Desa Aek Nabara di Sumatera, saya tertegun: menyaksikan seorang petani yang bersahaja di suatu sore yang terang, sambil memikul cangkul pulang kerumah. Petani tersebut berpakaian kotor dan sederhana, tapi dibalik punggungnya saya menyaksikan sawah dengan padi menguning dan kebun-kebun yang menghampar.

Sebentar lagi kelihatannya petani itu akan panen dan berbahagia dapat makan dengan padi baru yang lezat dari sumber daya alam lokal. Kehidupannya yang sederhana, memang tidak dapat diukur dengan berapa jumlah uang yang harus diperolehnya sehari-hari—sama halnya dengan manusia di belahan bumi manapun –sesungguhnya bukan uang yang akan masuk ke mulutnya, tetapi hasil panen dan segala sumber daya yang alam sehat itulah yang akan mencukupinya.

Gambaran tadi melukiskan keharmonisan alam yang masih asri dimana bumi dalam keadaan seimbang: air yang tidak tercemar, dimana pak tani sangat bergantung dengan jasa lingkungan (ekosistem) yang ada di sekitarnya. Kesehatan alam sekitar dapat membantu masyarakat di pedesaan terutama yang bergantung dengan kondisi hutan, dengan air bersih gratis mengalir deras. Ikan segar dapat dipancing dan dijala di empang atau di danau, dan keperluan dasar kehidupan dapat dipenuhi dari waktu-kewaktu. Bila panen pun tiba, beras dan hasil sawah ladang dapat dijual dan petani dapat hidup berkecukupan. Mereka memiliki masa depan, menuai hasil cerih payah dari hasil dukungan alam dan terhindar dari kemiskinan.

Alam dan Kemiskinan
Kemiskinan, sewajarnya menjadi momok yang menakutkan sebuah bangsa dan peradaban. Wikipedia mendefinisikan, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum. Hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan seseorang adalah absolut jika orang --dalam hidupnya —berpenghasilan dibawah satu dollar AS sehari, dan termasuk setengah miskin jika mereka memperoleh pendapatan dibawah $2 per hari.

Tahun 2001, Bank Dunia mencatat masih ada 1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Itu artinya hampir separoh dari 6,3 miliar penduduk bumi masih berada dibawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu target pemerintah memberantas kemiskinanan melalui skema Millenium Development Goals (MDG) yang merupakan program PBB, adalah guna mengurangi separuh jumlah penduduk miskin pada 2015.

Sayang sekali, ternyata pemberantasan kemiskinan terkadang tidak dibarengi dengan strategi pembangunan yang jitu dan berpijak pada realitas sosial dan berupaya mempertahankan ekosistem serta daya dukung alam yang baik. Sebab, kenyataannya memberikan prioritas pada investasi besar belum tentu dapat mengentaskan kemiskinan yang ada di kawasan dan daerah sekitarnya. Kita masih menyaksikan dengan kasat mata, di berbagai daerah dimana perusahaan tambang atau daerah penghasil kayu alam telah lama beroperasi, namun tidak memberikan kontribusi dan turut memberantas kemiskinan masyarakat di sekitarnya.

Pertambangan miyak dan gas di Riau mampu menghasilkan Rp64 triliun per tahun untuk negara, sayangnya Propinsi Minyak ini masih mencatat 40,2 persen penduduknya (dari 4,8 juta jiwa) masih berada di bawah garis kemiskinan. Begitu pula Kalimantan Timur yang mempunyai Produk Domestik Regional Bruto Rp88 triliun per tahun, masih menyisakan 12 persen penduduk Kaltim (dari 2,7juta jiwa penduduknya), masih berada dibawah garis kemiskinan (JATAM, 2003).

Ironi lain, terjadi untuk masyarakat yang hutan alamnya telah ditebang oleh pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), berpuluh tahun berlalu, masyarakat di sekitar hutan nasibnya tidak bertambah baik, melainkan hanya menuai bencana: tanah longsor, banjir dan kekeringan yang pada ujungnya memperburuk kemiskinan. Data Departemen Kehutanan mencatat, hingga 2004 terdapat 48,8 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah itu, 10,2 juta penduduk masuk kategori miskin. Hubies (2004) mensinyalir kemiskinan moral juga terjadi seiring dengan pembukaan industri kayu karena disana akan marak tempat-tempat hiburan, penjualan vcd porno dan berkembangnya tempat-tempat pelacuran.

Paradoks Penghancuran Alam
Indonesia, sering disebut sebagai negara yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan basis pertanian. Banyak kebun diperluas, tetapi telah banyak menghilangkan kawasan-kawasan yang menjadi pendukung pokok ekosistem dan keseimbangan alam. Oleh karena itu diperlukan keseriusan untuk memperhitungkan keseimbangan ekosistem supaya tidak labil. Hutan lindung dan kawasan konservasi perlu tetap dipertahankan. Daerah-daerah perlu mentargetkan minimal 30-40 persen, bahkan –seperti halnya negara Jepang, 70 persen-- wilayah mereka dilingkupi dengan daya dukung alami. Sebab, semakin hari karena terlanjur banyak lahan yang telah dikonversi, ekosistem alami sudah tidak dapat lagi menjamin eksistensi sumber daya dan jasa lingkungan yang mereka miliki. Sungai segera kering di musim panas yang pendek dan kawasan desa dan kota lalu menjadi banjir pada musim hujan.

Studi tentang keberadaan ekosistem bumi yang dilakukan oleh The Millenium Ecosystem Assasement (MA), mengungkapkan, bahwa jasa-jasa lingkungan dan sumber daya alam di bumi perlahan-lahan semakin rusak dan menyusut. Pada tahun 2005, para ilmuwan yang terlibat dalam studi empat tahun tentang penyusutan sumber daya alam yang ada di permukaan bumi berkesimpulan, bahwa: akibat dari penghancuran (yang dilakukan oleh manusia), sumber alam ini akan terus memburuk dalam 50 tahun lagi.

Indonesia, merupakan salah satu negara dengan potensi hutan alam dan kekayaan alam yang luar biasa. Oleh sebab itu, investasi dan pengelolaan sektor pembukaan hutan dan lahan yang tidak diikuti studi dampak lingkungan yang baik, dapat juga menyebabkan rusaknya mata rantai jasa lingkungan.

Studi yang tidak memadai tentang interaksi ekosistem dan keterkaitan dengan alam sekitar dapat menyebabkan masyarakat menjadi terjebak dan terjatuh di lembah kemiskinan bahkan kesengsaraan yang berkepanjangan. Sebagai contoh, akhir-akhir ini, ketika perkebunan sawit marak, banyak petani berganti profesi menanam pohon kelapa sawit: menjadi petani plasma, atau bekerja sebagai buruh-- berhenti menjadi petani-- malangnya mereka sangat tergantung dengan para investor.

Ketika investor yang sangat bergantung pada keadaan pasar yang collapse (karena anjloknya ekspor minyak mentah sawit, CPO), petani sawit pun ikut miskin. Mereka tidak dapat lagi hidup layak, bahkan makan sehari-haripun mereka menjadi kesulitan. Ditengah kebun sawit yang monokultur sejauh mata memandang, tak ada lagi lahan pertanian, jangankan untuk membuat empang ikan, air pun kering karena berebut dengan rakusnya sawit yang menyedot banyak air.

Fenomena diatas, menjadi pelajaran penting, dimana keberpihakan sebenarnya harus dilakukan, apakah untuk semua orang, atau kah hanya untuk “manusia-manusia yang serakah”, seperti kata Mahatma Gandhi.

No comments: