Tuesday, December 29, 2009

Agama dan Perubahan Iklim

Sabtu, 26 Desember 2009 | 02:54 WIB KOMPAS

Fachruddin Mangunjaya

Sudah banyak tokoh agama di seluruh dunia kini bergiat untuk terjun ke lapangan dan ikut melestarikan lingkungan, termasuk memberikan dukungan sekaligus tekanan kepada pengambil keputusan dalam mengambil sikap dalam aksi menanggulangi perubahan iklim. Di Kopenhagen, Denmark, tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama, juga datang ke arena konferensi, bergabung dengan tokoh agama-agama yang lain untuk mengikuti Pertemuan Para Pihak Ke-15 Konferensi Perubahan Iklim PBB tersebut.

Utuk Melengkapi Ilustrasi, Film ini mungkin bisa membantu:



Mengapa agama menjadi penting dalam percaturan perubahan iklim? Ternyata sains dan perundang-undangan tidak cukup untuk mencegah berlanjutnya kerusakan. Sains memang diperlukan sebagai sebuah landasan dan justifikasi ilmiah tentang interaksi sebab dan akibat, undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah. Adapun agama adalah soal keyakinan yang sangat membantu seseorang menemukan jati diri, berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas dasar spiritualitas yang dianutnya.

Sains diusung akademia, pelaku riset, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sedangkan pemerintah dan rakyat (melalui lembaga legislasi) membuat peraturan dan perundang-undangan. Namun, semuanya itu ternyata tidak cukup, manusia memerlukan etika yang landasannya merujuk kepada agama. Kita juga melihat, agamalah yang mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradisi yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan.

Manusia di Bumi harus berterima kasih karena etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif mempertahankan eksistensi manusia di Bumi dengan adanya larangan untuk saling membunuh antarsesama manusia (homicide), membunuh diri sendiri (suicide), atau pembunuhan suku atau bangsa lain (genocide). Namun, lebih dari itu, peradaban modern manusia pada abad ini menghendaki pula rumusan agama yang mendapatkan tantangan baru berupa: pembunuhan makhluk hidup (biocide) dan penghancuran lingkungan dan ekologi (ecocide) oleh tangan manusia.

Melibatkan agama dalam mengurus lingkungan merupakan harapan besar bagi para aktivis lingkungan karena para pemimpin agama dapat memberikan arahan menggerakkan pengikutnya karena agama memiliki modal yang tidak dimiliki oleh lembaga dan institusi biasa.

Lebih dari itu, konstituen pemeluk agama adalah nyata. Di Indonesia seluruh penduduk memeluk enam agama: Islam, Kristiani (Katolik dan Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu, dengan total pemeluk 240 juta. Di Asia saja ada 3 miliar manusia memeluk tiga mayoritas agama: Hindu dan Buddha di India, Konghucu di China, serta Islam di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Sebanyak 85% dari 6,79 miliar penduduk dunia ialah penganut berbagai agama dan aliran kepercayaan: 2,1 miliar pemeluk Kristen, 1,34 miliar pemeluk Islam, lebih dari 950 juta pemeluk Hindu, 50 juta-70 juta penganut Daoisme, 24 juta penganut Sikh, 13 juta pemeluk Yahudi (Atlas of Religion, Earthscan, 2007).

Dalam konteks perubahan iklim, mereka boleh jadi mempunyai peran penting karena kaum agamawan memiliki 7%-8% lahan bagi habitat di dunia, memiliki jaringan media, penyedia terbesar lembaga kesehatan dan pendidikan, serta mengendalikan lebih dari 7% investasi keuangan internasional. Dengan alasan-alasan inilah, para pemuka agama dinilai akan lebih berpengaruh besar, terutama apabila jaringan mereka dapat diikutsertakan dalam membangun kesadaran lingkungan.

Memiliki lima landasan

Perubahan iklim memerlukan kesadaran semua pihak dan dapat melibatkan mobilisasi massa yang sadar lingkungan lebih besar pula. Penganut agama mempunyai kekuatan itu. Agama mempunyai kekuatan karena memiliki modal kuat yang penting untuk terlibat di dalam gerakan penyelamatan lingkungan.

Pertama, agama mempunyai referensi, yaitu modal berupa rujukan akan keyakinan yang diperoleh dari kitab-kitab suci yang mereka miliki. Kitab suci dan ajaran agama memiliki wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan.

Kedua, agama terbukti mempunyai modal untuk saling menghormati atau mampu memberikan penghargaan terhadap segala jenis kehidupan.

Ketiga, agama—selaras dengan gaya hidup yang ramah lingkungan—menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak boros serta mampu mengontrol pemanfaatan sesuatu agar tidak mubazir.

Keempat, agama menganjurkan kita untuk selalu berbagi kemampuan untuk membagikan kebahagiaan, baik dalam bentuk harta, amal, maupun aksi sosial lannya. Kelima, agama menganjurkan kita untuk bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.

Munculnya modernisasi menjadikan orang lupa bahwa agama mempunyai tradisi ”unggulan” yang sangat jarang dipelajari dalam kearifan lingkungan.

Kembali, kita menoleh kepada agama, justru dengan sebuah perasaan tidak cukup hanya dengan sains, teknologi, dan kebijakan. Di Indonesia, tahun 2002, telah digagas pertemuan pertama kali menggalang kesadaran agama dan lingkungan yang kemudian menghasilkan ”Piagam Kebun Raya” atau ”Kebun Raya Charter”.

Piagam ini, antara lain, berharap agar para pemeluk agama melakukan aktualisasi terhadap ajaran positif agama atau kearifan budaya yang sudah dimiliki agama.

November lalu, di London dalam acara The Windsor Celebration yang dihadiri Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, seluruh pemeluk agama-agama dunia mendeklarasikan inisiatif mereka dengan membuat rencana aksi agama dan perubahan iklim. Semoga saja, aksi agama dan perubahan iklim ini membawa perubahan yang bermakna.

FACHRUDDIN MANGUNJAYA -Fellow The Climate Project Indonesia - Staf Conservation International Indonesia untuk Conservation & Religion Initiative



Saturday, December 12, 2009

Perubahan Iklim, Menuju Kopenhagen

OLEH: FACHRUDDIN M MANGUNJAYA

Perubahan iklim men­jadi momok ter­ha­dap kelangsu­ngan peradaban ma­­nu­sia di bumi.

Meng­ha­dapi hal itu, bulan-bu­lan ini, se­mua ancang-an­cang dan me­lakukan dialog dalam rangka merespons ancaman perubahan iklim dan me­nuju arena nego­siasi di Kopenhagen, awal De­sember 2009.

Perubahan iklim sudah men­jadi fakta dan ancaman. Buk­­ti terakhir adalah badai Per­­ma di Filipina yang mene­was­kan lebih dari 600 orang dan setengah juta orang kehila­ngan tempat tinggal akibat ban­jir dan tanah longsor yang me­rusak tempat rumah mereka (Koran Tempo, 12/10). Sebe­lum­nya, banjir bandang—bencana akibat curah hujan tinggi, yang merupakan dampak pe­rubahan iklim—terjadi di Man­dailing Natal, Sumatera Utara sehingga menelan korban 12 orang tewas, 25 hilang dan 4.300 orang mengungsi.

Ancaman lain masih mung­kin terjadi. Laporan Asian De­ve­lopment Bank, ADB (2009) bertajuk “Economic of Climate Change in South East Asia”, menganalisis hal yang paling buruk bakal terjadi, bila skena­rio emisi tahunan global masih tidak berubah. Mengutip data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), laporan itu berkesimpulan tempe­ratur rata-rata di negara Asia Tenggara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—dipro­yek­sikan akan mencapai 4,8 derajat Celsius pada 2100 dari level tahun 1990, dan rata-rata permukaan laut akan mencapai 70 cm pada periode yang sama di kawasan ini. Belum lagi ancaman akan kekeringan dalam dua hingga tiga dekade yang akan datang.

ADB mengatakan, kawasan Asia Tenggara akan lebih ba­nyak menderita akibat perubahan iklim global. Dalam arti, jika “business-as-usual” masih berlaku maka dampak bukan pasar dan risiko bencana akan menggerus setara dengan 6,7% produk domestik bruto (PDB) bangsa ini setiap tahun pada tahun 2100. Angka ini setara dengan dua kali lipat rata-rata kerugian global.
Beberapa kali pertemuan se­belum Kopenhagen telah diadakan pertemuan oleh se­mua negara untuk merumus­kan kesepakatan yang akan diambil di arena bersejarah tentang perubahan iklim, tanggal 28 September - 9 Oktober di Bangkok, dan pertemuan mendatang 2-6 No­vem­ber di Bar­celona. Pertemuan ini merupakan negosiasi dan persiapan untuk menghadapi COP 15 Kopenhagen.

Pertemuan Bangkok, misalnya, merumuskan diskusi dan kesepakatan sebagai patokan, para pemimpin dunia untuk setuju pada standar emisi yang lebih ketat—atau lebih di­ka­takan ambisius—terutama target pembatasan emisi yang harus dikeluarkan di negara-ne­gara industri dan standar na­sional oleh masing-masing ne­gara di negara berkembang da-lam menurunkan angka emisi mereka.

Patokan diskusi Bangkok, da­lam upaya pengurangan emi­si (mitigasi) ini adalah ber­dasarkan temuan IPCC bahwa penurunan yang harus dila­kukan oleh negara industri bisa mencapai target minus 25% hingga 40% di bawah level emisi 1990 dan harus dipenuhi pada tahun 2020. Dengan de­mikian, target berikutnya emisi global harus menurun setidaknya 50% pada 2050, untuk mencegah keburukan yang berlanjut akibat dampak pe­ru­bahan iklim. Indonesia se­cara berani, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan pada pertemuan G20 dua pekan lalu, akan ber­kontribusi menurunkan emisi hingga 26% pada 2020.

Hal penting lain dari pertemuan Bangkok adalah identifikasi untuk mengarahkan ke­sepakatan kepala negara dan pemerintah tentang sumber pen­danaan dan sumber daya tek­nologi, dengan mekanisme me­nempatkan dana yang diha­silkan secara otomatis dari wak­tu ke waktu. Akhirnya, me­reka sepakat bahwa perundi­ngan Kopenhagen perlu menciptakan struktur pemerintahan yang adil untuk mengelola da­na adaptasi dan mitigasi yang membahas kebutuhan ne­gara-negara berkembang.

Penyadaran Perubahan Iklim
COP Kopenhagen menjadi ajang penting dan bersejarah, ka­rena arena ini diharapkan membuahkan kesepakatan da­lam menahan laju emisi gas-gas rumah kaca dalam jangka sepuluh atau 20 tahun mendatang. Desakan-desakan publik dan kampanye penyadaran terus dilakukan untuk mendorong para pengambil keputusan mengambil tindakan signifikan guna memangkas (me­ngurangi) emisi gas-gas rumah kaca yang mengancam bumi dan memberikan sarana untuk beradaptasi pada perubahan iklim. Al Gore melalui The Cli­mate Project-nya terus ber­kampanye tentang pentingnya semua orang peduli terhadap perubahan iklim dan berupaya mengubah segala jenis kebijakan menjadi pro lingkungan dengan memanfaatkan energi terbarukan sehingga ancaman gas-gas rumah kaca dapat di­kurangi dan planet bumi dapat kita wariskan untuk anak-cucu kita dengan keadaan yang lebih baik. Gore telah melatih langsung 3.000 relawan di seluruh du­nia—termasuk 54 berada di Indonesia—yang akan berkampanye memberikan penyadaran – presentasi secara gratis — tentang perubahan iklim ke berbagai lembaga dari elite po­litik hingga masyarakat awam.

Adapun Bill Mac Kibben, penulis buku The End of Nature, menetapkan target 350 ppm CO2 dengan kampanye www.350.org untuk mengejar batas paling aman—menurut para ilmuwan—konsentrasi yang bisa ditoleransi agar bumi tetap dalam keseimbangan. Se­karang ini, kondisi kita sudah mengkhawatirkan karena su­dah di atas zona aman yaitu 386 ppm.
Setidaknya secepatnya kita kembali pada zona aman segera pada 350 ppm pa­da abad ini, maka mungkin kita melewati batas bahaya (tipping points), kondisi di mana keadaan tidak dapat dikembalikan, ketika selimut di Green­land mencair dan gas metana dilepaskan dari gundukan raksasa es yang meleleh.

Penulis adalah The Climate Project Fellow dan Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor.

SINAR HARAPAN,Sabtu, 28 November 2009 11:46

Kepunahan Spesies di Tengah Perilaku Manusia

OLEH: FACHRUDDIN M MANGUNJAYA

Kondisi lingkungan kita penuh tanta­ngan, karena pe-rila­ku kita dalam memperlaku­kan bumi tempat kita tinggal belum berubah.

Penilaian ini barangkali akan dijumpai dari tahun-ke tahun dengan ter­ungkapnya fakta-fakta baru kerusakan lingkungan di Tanah Air maupun di dunia. Maka per­­soalan yang paling meng­khawatirkan semua orang di abad 21 ini, selain krisis ekonomi dan kondisi politik yang ber­ujung pada peperangan, ada­lah masalah lingkungan.
Peperangan dan politik dapat mengakibatkan kema­tian dan saling bunuh antarumat manusia (genocide). Se­dang­kan bencana lingkungan juga dapat mengakibatkan ke­rugian ekonomi dan kematian (ecocide). Contoh aktual terja­dinya musibah lingkungan ada­lah jebolnya tanggul Situ Gin­tung yang mengakibatkan kor­ban jiwa. Ditambah lagi banjir dan tanah longsor di ber­bagai daerah setiap tahun.

Sementara itu, kerugian yang sangat disesalkan secara nasional adalah banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang semakin sulit diselesaikan karena diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 45 triliun per tahun (Tempo Interaktif, 21 Agustus 2008). Lumpur Lapindo saat ini memasuki tahun keempat, tetapi belum ada penyelesaian yang memuaskan bagi semua korban.

Belum lagi gejala perubahan iklim yang semakin meng­khawatirkan. Para ahli sependapat bahwa dam­pak perubahan iklim akan sangat terasa pada negara-negara di khatulistiwa. Di Indonesia, misalnya, akibat tersebut telah di­rasakan pada 1997/1998. Tahun itu menjadi tahun dengan suhu udara terpanas dan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Terjadi kebakaran hutan terhebat sepanjang se­jarah di Indonesia. Saat itu, El Nino dan panas berkepanjangan terjadi sehingga berujung pada gagal panen dan ke­mudian memanasnya suhu po­litik yang berujung pada leng­­sernya Pemerintahan Soeharto.
Adapun soal prediksi peru­bahan iklim, Dr Armi Susandi, Wakil Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim De­wan Nasional Perubahan Iklim, memperkirakan pada 2100 sekitar 800.000 rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan 115 pulau dari 18.000 pu­lau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut.

Pada Juni lalu, banjir pa­sang air laut (rob) telah meng­genangi beberapa kelurahan ter­masuk di Kelurahan Ci­lin­cing, Jakarta Utara. Rob secara rutin masuk ke kampung itu sejak empat tahun terakhir ini dan situasinya bertambah pa­rah—dengan kedalaman hingga satu meter—pada musim hu­jan, Desember hingga Maret.

Jadi, kalau Anda ditunjuk se­bagai Menteri Negara Ling­kungan Hidup, itu ibarat mene­rima “buah simalakama”, tidak di­makan mati ibu, dimakan mati anak. Memang, masalah lingkungan harus merupakan ke­pedulian semua orang. Tetapi ke­nyataannya, para sopir ang­kot masih seenaknya membuang sampah ke jalan raya, ibu rumah tangga membuang sampah tanpa mengolah dan mereduksi limbahnya, hingga daerah yang tidak berhasil mendapatkan Adipura.
Sementara itu, pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya secara langgeng kalau usahanya mencemari alam sekitar. Dampak lingkungan se­cara perlahan tapi pasti akan “menampar” perusahaannya se­cara alami. Ongkos sosial, eko­nomi dan lingkungan terlihat tinggi apabila mereka me­ng­abaikan dampak lingkungan. Maka amdal tidak dapat ha­nya sebagai formalitas belaka, karena pada akhirnya hu­kum alam yang merupakan tu­runan dari “Hukum Tuhan” pas­ti akan berlaku.

Lindungi Alam Asli
Jadi, apa yang dapat dila­kukan? Tom Friedman, kolumnis the New York Time, menu­liskan upaya-upaya pelestarian alam yang dilakukan di berbagai belahan dunia, dan terkesan akan upaya yang dilakukan oleh para konservasionis untuk melindungi alam asli. Friedman dalam buku Hot, Flate and Crowded (2008), menyebutkan upaya pelestarian alam ibarat memerlukan Nabi Nuh dalam menyelamatkan kapalnya di tengah badai kerakusan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam. Dia menuturkan bah­wa bumi memerlukan “se­juta Nuh” dan sejuta pula “ka­pal” (a million Noahs, a million arks).

Indonesia belum memiliki “sejuta Nabi Nuh”, namun ba­ru beberapa ratus orang. Me-reka itulah yang diberi penghargaan Kalpataru oleh Men­teri Lingkungan Hidup. Me­reka dapat berupa perorangan atau kelompok yang menjadi pelopor penyelamatan lingkungan. Sejak tahun 1980 hingga 2009, jumlah penerima Kal-pataru baru 264 orang atau ke­lompok, termasuk tahun 2009 ini 12 orang.

Apa bentuk “Kapal Nabi Nuh” mereka? Tahun ini Lem­baga Adat Dayak Wehea dari Desa Nehas Liah Bing, Keca­matan Muara Wahau, Kabu­paten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menerima penghargaan Kalpataru karena para pe­mang­ku adat berhasil meles­ta­rikan hutan lindung adat seluas 38.000 hektare yang menjadi habitat yang aman bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan langka dengan cara menerapkan hukum adat.

Di tingkat RT dan RW, orang banyak mengenal Ibu Bambang, seorang janda pensiunan yang menjadi penggerak di tingkat RT di Jakarta untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Nenek ini memulai dari ru­mahnya, dengan arisan po­hon lalu mengolah sampah ru­mah tangga menjadi sampah or­­ganik dan mendapatkan peng­hargaan sebagai pelopor ling­kungan. Di tingkat ini, Ibu Bambang memberikan opti­mis­me bahwa perawatan ling­ku­ngan dapat dilakukan di per­kotaan.

Tentu saja yang paling be­sar dampaknya adalah upaya para pengusaha. Dalam kondisi seperti sekarang ini, slogan “Go Green” tidak akan cukup hanya ditempelkan sebagai tema tan­pa ada aksi. Pegawai perusaha­an akan mempunyai kebanggaan moral jika mereka dapat terlibat dalam aksi sebagai pe­nyelamat lingkungan, misalnya mengadopsi pohon, menanamnya dan merawatnya langsung di lapangan, sehingga mereka dapat merasakan betapa sulit me­nanam dan merawat ling­kungan.

Upaya masif gerakan ling­kungan mestilah menjadi ke­sa­daran semua orang, selain me­rupakan tugas Menteri Negara Ling­kungan Hidup dan Men­teri Kehutanan. Kalangan me­dia massa, aktivis, jaksa, hakim, DPR, presiden hingga Mah­kamah Konstitusi sebenarnya dapat menjadi “Nuh”, jika da­pat membela kelestarian ling-ku­ngan. Sebagai makhluk bu­mi, semua orang dapat memi-liki perasaan yang sama bahwa kita berada pada satu bumi dan sebuah perahu yang sama.

Penulis adalah Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor/ Staff di Conservation International Indonesia (CII).

Sumber SINAR HARAPAN Jumat, 20 November 2009 13:30

Thursday, August 6, 2009

Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim

Dikutip dari KORAN TEMPO 4 Agustus 2009

Oleh Fachruddin M. MangunjayaPencinta Lingkungan

Fenomena perubahan iklim memang menjadi keperdulian semua pihak tidak terkecuali para pemimpin agama. Kita semua telah tahu, keburukan yang terjadi sehingga bumi menjadi tidak seimbang dan perubahan yang ada di alam dapat mengakibatkan bencana, adalah akibat perilaku manusia.

Jadi untuk mengelola bumi yang sehat dan lebih baik kedepan diperlukan perubahan perilaku manusia dalam mengelola, mengayomi dan melindungi bumi dari kerusakan.

Tanggal 6-7 Juli lalu, di Istanbul, Turki, telah diadakan Konferensi Islam dan Lingkungan dan dilengkapi response negara negara muslim dengan deklarasi rencana aksi Muslim untuk Perubahan Iklim Global selama tujuh tahun (Muslim Seven Year Action Plan (M7YAP) to Deal with Global Climate Change).
Mereka yang hadir dalam konferensi ini, adalah dari berbagai kalangan termasuk para akademisi, aktifis lingkungan, ahli syariah Islam, perwakilan pemerintah, LSM, media muslim, dari negara-negara muslim, seperti Kuwait, Uni Emirat, Qatar, Bahrain, Saudi Arabia, Maroko, Malaysia, Algeria, Tunisia, India, Indonesia, Mesir, Senegal, Turki, serta jaringan pimpinan muslim Eropa dan Amerika dan juga ulama terkemuka dan mufti seperti Dr Ali Juma’a, Mufti Agung Mesir, Dr Ekrema Sabri, Mufti Palestina, Dr Salman Alouda (ulama Saudi Arabia) Ali Mohamad Hussein Fadlallah, (ulama syiah Lebanon), termasuk juga faqih terkemuka Dr Yusuf Qardhawi yang menyampaikan makalahnya tentang Islam dan penataan lingkungan.

Agama (keyakinan), menjadi salah satu faktor yang dapat merubah perilaku manusia dalam bersikap dan memberikan penghargaan terhadap lingkungan. Selain itu faktor yang lain yang dianggap dapat mempengaruhi perilaku adalah: pendidikan, kekuatan hukum (law enforcement), dan kekuatan pasar.Negara-negara muslim termasuk negara yang harus siaga terhadap perubahan iklim dan kini tengah merasakan perubahan tersebut. Kawasan yang paling banyak terkena dampak tentunya negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Bangladesh dan negara sub Sahara di Afrika. Beberapa negara di Afrika tengah mengalami dampak perubahan iklim karena panjangya waktu kekeringan sehingga mengakibatkan kelangkaan air dan peperangan karena perebutan sumber-sumber air seperti yang terjadi di Sudan dan Somalia. Dalam tahun terakhir ini saja ada 25 juta penduduk di sub Sahara Afrika telah mengalami krisis pangan. Dengan adanya pemanasan global ini, artinya akan lebih banyak lagi kawasan kering akan semakin tandus dan akan semakin memburuk. Pemanasan global bermakna kawasan yang kering akan bertambah kering dan kawasan yang basah akan semakin bertambah kuyup. Bulan November 2007, terjadi banjir di Somalia, Kenya dan Ethiopia yang menghayutkan 1.8 juta orang.

Menghadapi perubahan iklim, diperlukan aksi aksi nyata yang harus dilakukan dengan berbagai pendekatan termasuk dalam pendekatan Islam. Sebagaimana Islam telah mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberikan amanah untuk merawat dan memelihara bumi. Juga didalam al Qur’an disebutkan bahwa Allah menata matahari dan bulan yang beredar menurut perhitungan. Tumbuh tumbuhan dan pohon pohonan tunduk kepadaa Nya dan Allah meninggikan langit dan Dia meletakkannya secara seimbang (mizan) (Qs 55: 4-7) dan Dia menciptakan sesuatu menurut ukuran (Qs 54:49). Oleh sebab itu manusia (yang beriman) diperintahkan selalu memohon doa dengan rendah hati dan rasa takut, dan tidak membuat kerusakan di bumi (Qs 7:55-56)


Green Hajj
Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim merupakan rencana yang terintegrasi dan bersinergi dengan aktifitas lingkungan lain, tentunya dapat dilakukan di masing-masing negara muslim, khususnya dengan penekanan pada kegiatan muslim dalam keseharian praktis. Namun yang paling menarik lagi adalah dalam kegiatan religious yang paling kolosal dan tidak ada tandingannya di dunia adalah mobilisasi ibadah haji yang dilakukan oleh tiga juta kaum mulimin sedunia setiap tahun.
Maka, dalam rencana itu disebutkan tentang recana menerapkan berhaji yang ramah lingkungan (green hajj), dengan cara mendorong agar pelaksanaan haji dapat lebih efisien, baik dalam penyelenggaraan, penghematan bahan bakar, hingga penataan kemasan yang dibawa jamaah haji. Di segi lain, green hajj juga dapat dikembangkan pada upaya standar Islami atau kodifikasi pemanfaatan energi secara efisien (rendah karbon).

Hal lain yang mungkin dikembangkan juga di dunia Muslim adalah pengembangan model kota-kota besar Muslim sebagai kota yang ramah lingkungan (green cities) sebagai model bagi kawasan urban Islam yang lain. Pengembangan label untuk standar barang yang ramah lingkungan dengan standar Islam, serta penerapan praktis--best practice—dengan membuat pedoman ramah lingkungan untuk bisnis yang berasaskan syariat Islam.Pendidikan Islam baik formal maupun non formal seperti madrasah dan masjid dapat menjadi sarana yang sangat baik untuk memberikan bekal penyadaran dan juga aksi terhadap perubahan iklim. Tentu saja para aktifis masjid, madrasah, ustadz perlu diberikan pelatihan dan pengkaderan untuk memahami tentang perubahan iklim juga tingkat aksi yang dapat dilakukan.

Pendanaan merupakan hal yang sangat penting untuk diletakkan. Rencana aksi ini juga memasukkan rencana pendirian yayasan wakaf dan penunjukan dewan pengawas (board of trust) untuk implementasi rencana aksi ini. Sedang dicari jalan untuk pendiriannya dan juga himbauan untuk memberikan pendanaan. Untuk keperluan jangka panjang, studi Islam dan ekologi akan diperkuat. Dalam matrik rencana aksi disebutkan target-target untuk membiayai mahasiswa dunia muslim memperdalam bidang studi Islam dan perubahan iklim termasuk studi ekologi yang luas diangkat dalam perspektif Islam. ***

Wednesday, June 17, 2009

Bahtera Nabi Nuh

Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya

DIKUTIP dari Harian Republika (Jum'at 27 Maret 2009)

Modernisasi dan keterbukaan informasi diiringi dengan teknologi yang canggih, ternyata tidak serta merta membawa keuntungan bagi semua makhluk hidup. Padahal para ahli dan peneliti sejarah alam sependapat: bahwa semua makhluk hidup mempunyai peran dan fungsi masing-masing, ibarat sebuah irama ensamble, atau orkestra, setiap makhluk hidup mempunyai peran penting dalam menjaga harmoni kehidupan. Misalnya, seekor lebah madu, selain bermanfaat sebagai serangga penyerbuk, sehingga benang sari bisa bertemu dengan putiknya—dan membantu perbentukan buah---serangga kecil ini juga menghasilkan madu yang berkhasiat bagi kesehatan manusia.

Di alam yang maha luas ini, makhluk sepele yang mungkin dianggap tidak mempunyai arti apa-apa, bisa jadi ternyata mempunyai fungsi dalam menghidupkan mata rantai ekologis yang terkadang sangat membawa keuntungan bagi manusia. Hingga kini telah banyak diteliti, bahwa ternyata keberadaan satwa mempunyai keterkaitan erat dalam sebuah sistem yang pada ujungnya membantu kesehatan ekosistem dan alam dimana manusia tinggal.

Maka dalam sejarah spiritualitas manusia pun, binatang dan makhluk hidup bernyawa mempunyai kaitan dan keterikatan erat dengan eksistensi manusia. Maka, dalam contoh kenabian, tentang kemuliaan binatan-dan hewan-hewan ini, Allah pun menyayangi mereka ketika terjadi kutukan banjir Nabi Nuh dan memerintahkan kepada Nuh alahissalam, penghulu para nabi dengan berfirman: “Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (Al Qur’an, 11:40).
Ibnu Katsir menguraikan dalam tafsirnya dengan mengutip para ulama salaf, yang berpendapat, bahwa Nabi Nuh as, tidak saja membawa jenis-jenis hewan, tetapi juga menyelamatkan tumbuh tumbuhan dan membawanya dalam bahteranya. Tentu saja dalam upaya agar dengan mereka dibawa kedalam bahtera, berarti tidak mengalami kepunahan terhadap spesies yang ada tersebut.

Penganut konservasi alam—semestinya—memahami bahwa pekerjaan mereka ibarat meneruskan sebuah tugas kenabian yang mulia dari ancaman ‘banjir’ lain yaitu kerakusan dan ketamakan nafsu manusia untuk menguras segala isi alam, menebang pohon, membabat tumbuh-tumbuhan, menggerus perut dan isi bumi dengan mengeluarkan bahan-bahan tambang, dan mengancam segala jenis-jenis makhluk hidup yang ada diatasnya. Alam pun menjadi berubah dan tidak seimbang yang berujung pada pemanasan global yang sangat mengancam eksistensi kehidupan.

Penelitian Pimm dkk yang dipublikasikannya di Science (1995), mengungkap bahwa 5 hingga 50 persen spesies akan mengalami kepunahan akibat kehancuran habitat mereka antar tahun 2000 hingga 2050. Sedangkan Thomas dkk dalam Nature memprediksikan pula bahwa antara 15% hingga 37% spesies akan mengalami kepunahan dalam periode yang sama akibat pemanasan global. Skenario tersebut juga memukul rata kira-kira 25% spesies akan punah pada tahun 2050. Conservation International (2008) memperkirakan, jika di muka bumi ini terdapat 5 juta spesies, maka 25% dari 5 juta spesies adalah = 1.3 juta spesies, kasarnya akibat kerusakan dan perubahan iklim sekarang ini tengah terjadi kepunahan 1 spesies per 20 menit.
Alam, menyediakan fungsi-fungsi yang banyak, dan terkadang lepas dari perhitungan manusia. Contoh yang sangat ektrim misalnya adalah terjadinya perubahan iklim yang diperkirakan akan menelan biaya ekonomi terlampau mahal yang diakibatkan--- dalam skala global--ternyata, setelah dihitung, berkurangnya hutan tropis yang hilang berbanding lurus dengan bertambahnya kandungan racun CO2 di atmosfer.

Pemanasan global misalnya, akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, mengganggu produktifitas pangan, mengakibatkan kelangkaan air bersih, peningkatan organisme pembawa penyakit, dan meningginya permukaan laut yang mengakibatkan abrasi bandang di pesisir, dan perubahan cuaca yang tidak normal.

Sayangnya, upaya melestarikan hutan, tidak semudah membalik telapak tangan, diperlukan perjuangan untuk melindungi hutan alam yang mampu menyerap CO2 yang nilai ekonominya terkadang melebihi nilai butuhkan untuk melindungi hutan itu.

Sebagai warga dunia sewajarnya, kita berbagi kekhawatiran tentang hilangnya hutan yang pada ujungnya dapat menimbulkan persoalan dan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Belum lagi harga ini harus ditanggung oleh generasi mendatang, karena ternyata populasi bumi selanjutnya tidak lagi mempunyai pilihan karena menyelamatkan keanekaragaman hayati yang ada ternyata tidak dapat diselamatkan.

Indonesia mencatat kepunahan spesies cukup signifikan di abad 20, hilangnya dua sub spesies harimau yang ada di Jawa dan Bali, punahnya burung trulek jawa, serta menyusutnya populasi badak di Jawa, ditambah terdesaknya spesies asli (endemik) di Pulau Jawa seperti owa jawa dan elang jawa yang kini hanya bertahan di puncak-puncak hutan alam pegunungan Jawa yang didesak oleh populasi manusia.

Masalahya sekarang, mampukah kita mencegah kepunahan ini? Desakan populasi manusia yang semakin membengkat, menjadi 9 miliar pada tahun 2050, tentunya akan memerlukan lahan dan penghidupan yang lebih luas. 28 ilmuwan yang menulis artikel tentang “Apakah Kita Mampu Mencegah Kepunahan (Can we Defy Nature’s End? Science (2001) bersepakat bahwa kepunahan dapat dicegah tetapi dengan cara yang inovatif salah satunya adalah dengan mengadakan perlindungan terhadap sisa-sisa habitat yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Untuk menemukan habitat seperti ini tentunya diperlukan biaya untuk survei, lalu kesepakatan ilmiah untuk menentukan kawasan tersebut sebagai ‘kawasan kunci keanekaragaman hayati’ dan tak kalah penting adalah menginvestasikan anggaran kita pada kawasan ini agar terus terjadi keberlanjutan kehidupan.

Dalam ‘jargon Nabi Nuh tadi, kawasan kunci keaneakaragaman hayati inilah yang dapat diumpamakan sebagai ‘Bahtera Nuh’ dimana banyak makhluk yang mewakili kehidupan dapat terus melanjutkan spesiesnya.

Negara atau lintas negara, perlu berbagi upaya dalam memberikan perhatian pada kawasan-kawasan konservasi sebagai investasi masa depan kehidupan. Biaya yang diupayakan ternyata tidak terlampau besar dibandingkan dengan kehilangan jangka panjang yang akan dibebankan antar generasi. Menurut Science, biaya konservasi yang dikeluarkan adalah hanya seperseribu dari keuntungan yang diperoleh dari jasa ekosistem. Jasa ekosistem adalah jasa yang selama ini dapat kita ambil manfaatnya secara langsung misalnya air bersih dan udara yang bersih yang menunjang kehidupan vitas kita.

Jadi, mempertahankan keberadaan makhluk hidup dan segara karunia Tuhan yang ada di bumi untuk generasi mendatang, alangkah mulianya manusia, jika disetiap negara, daerah, kabupten, kota dan desa-desa mempunyai kawasan konservasi sebagai bentuk replika ‘Bahtera Nuh’ dengan bentuknya, melestarikan alam, melindungi tumbuh-tumbuhan serta menyelamatkan spesies apa pun yang ada di dalamnya.**

Friday, April 24, 2009

Keberpihakan Pengelolaan Kekayaan Bumi

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan
EDISI LENGKAP yang dipublikasikan KORAN TEMPO, 22 April 2009

“Bumi akan cukup memenuhi kebutuhan setiap manusia, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan manusia..”—Mahatma Gandhi

Peringatan Hari Bumi, telah berusia 39 tahun. Hampir empat dekade bagi kita belajar mensyukuri karunia Tuhan yang ada di bumi ini dengan segala kelengkapan dan keasrian yang harus terus dipertahankan. Ketika beberapa waktu yang lalu, dalam kunjungan ke Desa Aek Nabara di Sumatera, saya tertegun: menyaksikan seorang petani yang bersahaja di suatu sore yang terang, sambil memikul cangkul pulang kerumah. Petani tersebut berpakaian kotor dan sederhana, tapi dibalik punggungnya saya menyaksikan sawah dengan padi menguning dan kebun-kebun yang menghampar.

Sebentar lagi kelihatannya petani itu akan panen dan berbahagia dapat makan dengan padi baru yang lezat dari sumber daya alam lokal. Kehidupannya yang sederhana, memang tidak dapat diukur dengan berapa jumlah uang yang harus diperolehnya sehari-hari—sama halnya dengan manusia di belahan bumi manapun –sesungguhnya bukan uang yang akan masuk ke mulutnya, tetapi hasil panen dan segala sumber daya yang alam sehat itulah yang akan mencukupinya.

Gambaran tadi melukiskan keharmonisan alam yang masih asri dimana bumi dalam keadaan seimbang: air yang tidak tercemar, dimana pak tani sangat bergantung dengan jasa lingkungan (ekosistem) yang ada di sekitarnya. Kesehatan alam sekitar dapat membantu masyarakat di pedesaan terutama yang bergantung dengan kondisi hutan, dengan air bersih gratis mengalir deras. Ikan segar dapat dipancing dan dijala di empang atau di danau, dan keperluan dasar kehidupan dapat dipenuhi dari waktu-kewaktu. Bila panen pun tiba, beras dan hasil sawah ladang dapat dijual dan petani dapat hidup berkecukupan. Mereka memiliki masa depan, menuai hasil cerih payah dari hasil dukungan alam dan terhindar dari kemiskinan.

Alam dan Kemiskinan
Kemiskinan, sewajarnya menjadi momok yang menakutkan sebuah bangsa dan peradaban. Wikipedia mendefinisikan, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum. Hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan seseorang adalah absolut jika orang --dalam hidupnya —berpenghasilan dibawah satu dollar AS sehari, dan termasuk setengah miskin jika mereka memperoleh pendapatan dibawah $2 per hari.

Tahun 2001, Bank Dunia mencatat masih ada 1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Itu artinya hampir separoh dari 6,3 miliar penduduk bumi masih berada dibawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu target pemerintah memberantas kemiskinanan melalui skema Millenium Development Goals (MDG) yang merupakan program PBB, adalah guna mengurangi separuh jumlah penduduk miskin pada 2015.

Sayang sekali, ternyata pemberantasan kemiskinan terkadang tidak dibarengi dengan strategi pembangunan yang jitu dan berpijak pada realitas sosial dan berupaya mempertahankan ekosistem serta daya dukung alam yang baik. Sebab, kenyataannya memberikan prioritas pada investasi besar belum tentu dapat mengentaskan kemiskinan yang ada di kawasan dan daerah sekitarnya. Kita masih menyaksikan dengan kasat mata, di berbagai daerah dimana perusahaan tambang atau daerah penghasil kayu alam telah lama beroperasi, namun tidak memberikan kontribusi dan turut memberantas kemiskinan masyarakat di sekitarnya.

Pertambangan miyak dan gas di Riau mampu menghasilkan Rp64 triliun per tahun untuk negara, sayangnya Propinsi Minyak ini masih mencatat 40,2 persen penduduknya (dari 4,8 juta jiwa) masih berada di bawah garis kemiskinan. Begitu pula Kalimantan Timur yang mempunyai Produk Domestik Regional Bruto Rp88 triliun per tahun, masih menyisakan 12 persen penduduk Kaltim (dari 2,7juta jiwa penduduknya), masih berada dibawah garis kemiskinan (JATAM, 2003).

Ironi lain, terjadi untuk masyarakat yang hutan alamnya telah ditebang oleh pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), berpuluh tahun berlalu, masyarakat di sekitar hutan nasibnya tidak bertambah baik, melainkan hanya menuai bencana: tanah longsor, banjir dan kekeringan yang pada ujungnya memperburuk kemiskinan. Data Departemen Kehutanan mencatat, hingga 2004 terdapat 48,8 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah itu, 10,2 juta penduduk masuk kategori miskin. Hubies (2004) mensinyalir kemiskinan moral juga terjadi seiring dengan pembukaan industri kayu karena disana akan marak tempat-tempat hiburan, penjualan vcd porno dan berkembangnya tempat-tempat pelacuran.

Paradoks Penghancuran Alam
Indonesia, sering disebut sebagai negara yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan basis pertanian. Banyak kebun diperluas, tetapi telah banyak menghilangkan kawasan-kawasan yang menjadi pendukung pokok ekosistem dan keseimbangan alam. Oleh karena itu diperlukan keseriusan untuk memperhitungkan keseimbangan ekosistem supaya tidak labil. Hutan lindung dan kawasan konservasi perlu tetap dipertahankan. Daerah-daerah perlu mentargetkan minimal 30-40 persen, bahkan –seperti halnya negara Jepang, 70 persen-- wilayah mereka dilingkupi dengan daya dukung alami. Sebab, semakin hari karena terlanjur banyak lahan yang telah dikonversi, ekosistem alami sudah tidak dapat lagi menjamin eksistensi sumber daya dan jasa lingkungan yang mereka miliki. Sungai segera kering di musim panas yang pendek dan kawasan desa dan kota lalu menjadi banjir pada musim hujan.

Studi tentang keberadaan ekosistem bumi yang dilakukan oleh The Millenium Ecosystem Assasement (MA), mengungkapkan, bahwa jasa-jasa lingkungan dan sumber daya alam di bumi perlahan-lahan semakin rusak dan menyusut. Pada tahun 2005, para ilmuwan yang terlibat dalam studi empat tahun tentang penyusutan sumber daya alam yang ada di permukaan bumi berkesimpulan, bahwa: akibat dari penghancuran (yang dilakukan oleh manusia), sumber alam ini akan terus memburuk dalam 50 tahun lagi.

Indonesia, merupakan salah satu negara dengan potensi hutan alam dan kekayaan alam yang luar biasa. Oleh sebab itu, investasi dan pengelolaan sektor pembukaan hutan dan lahan yang tidak diikuti studi dampak lingkungan yang baik, dapat juga menyebabkan rusaknya mata rantai jasa lingkungan.

Studi yang tidak memadai tentang interaksi ekosistem dan keterkaitan dengan alam sekitar dapat menyebabkan masyarakat menjadi terjebak dan terjatuh di lembah kemiskinan bahkan kesengsaraan yang berkepanjangan. Sebagai contoh, akhir-akhir ini, ketika perkebunan sawit marak, banyak petani berganti profesi menanam pohon kelapa sawit: menjadi petani plasma, atau bekerja sebagai buruh-- berhenti menjadi petani-- malangnya mereka sangat tergantung dengan para investor.

Ketika investor yang sangat bergantung pada keadaan pasar yang collapse (karena anjloknya ekspor minyak mentah sawit, CPO), petani sawit pun ikut miskin. Mereka tidak dapat lagi hidup layak, bahkan makan sehari-haripun mereka menjadi kesulitan. Ditengah kebun sawit yang monokultur sejauh mata memandang, tak ada lagi lahan pertanian, jangankan untuk membuat empang ikan, air pun kering karena berebut dengan rakusnya sawit yang menyedot banyak air.

Fenomena diatas, menjadi pelajaran penting, dimana keberpihakan sebenarnya harus dilakukan, apakah untuk semua orang, atau kah hanya untuk “manusia-manusia yang serakah”, seperti kata Mahatma Gandhi.

Sunday, March 22, 2009

Banjir dan Ironi Kesadaran Lingkungan

Oleh
Fachruddin M Mangunjaya (dikutip dari SINAR HARAPAN, Jumat 06 Maret 2009)

Rekor bencana ekologis yang seolah menjadi agenda tetap dari tahun ke tahun menjadi catatan penting: bahwa lingkungan kita memang tengah berubah. Pengambil kebijakan dan masyarakat awam banyak mengutip alasan bahwa ini diakibatkan oleh adanya perubahan iklim dan pemanasan global. Jadi, hampir semua orang telah sadar akan keadaan, lalu mempunyai apologia sama, namun tidak dapat melepaskan kondisi dan keburukan lingkungan yang semakin biasa.

Pada tahun 2008 terjadi perubahan menarik yakni semakin banyak kesadaran tentang pentingnya hidup harmonis dengan alam dan berperilaku ramah terhadap lingkungan. Banyak perusahaan, kantor, perumahan, sekolah dan sektor publik lainnya yang mengubah visinya dan mencantumkan “tagline” go green sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. “Wabah Go Green” ini memang menggembirakan aktivis lingkungan. Maka dari toilet yang hemat air atau tidak lagi menggunakan tisu, hingga komputer bisa mendapatkan sertifikasi “hijau” apabila mau berkontribusi menjaga lingkungan.

Sebuah supermarket terkenal mulai menganjurkan konsumennya supaya tidak lagi menggunakan plastik dengan menyediakan tas yang bisa dipakai beberapa kali. Sayangnya, tidak ada bukti - setidaknya belum ditemukan-riset adanya perubahan perilaku konsumen - secara kolektif (massal) untuk berubah perilaku menjadi lebih ramah lingkungan, termasuk tidak lagi menggunakan bahan yang sukar untuk hancur dan dapat didaur ulang.
Tahun 2009, bencana lingkungan masih menjadi perdebatan, tetapi berdebat tentunya tidak akan mengubah keadaan, dan pada bulan-bulan ini, seperti biasa, giliran - seperti arisan bencana - kondisinya tidak berubah, setelah mulai musim hujan awal Desember misalnya, kita diinformasikan banjir parah terjadi di mana-mana, yang menenggelamkan perumahan penduduk dan sawah mereka.

Bencana Ekologis
Tahun lalu (2008) Walhi mencatat peningkatan bencana ekologis di Indonesia yaitu menjadi 359 kali, dibandingkan tahun 2007 yang 205 kali. Bencana ekologis adalah bencana akibat adanya perubahan ekologi dan ekosistem yang pada umumnya oleh ulah manusia. Akumulasi bencana ekologis dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam yang tadinya secara reguler dapat memperbaiki keadaan lingkungan dengan daya dukung yang ada (homeostasis). Ketidakberdayaan manusia dan alam memulihkan ekosistem semakin jelas terlihat misalnya dengan frekuensi banjir yang semakin besar dan ketika curah hujan melimpah pada tiap pergantian musim. Kejadian seperti ini - untuk Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi - sangat mustahil terjadi ketika hutan masih mampu menjadi regulator iklim dan penyeimbang atas serapan air pada 30 atau empat puluh tahun yang lalu.

Kebijakan pemerintah yang masih bertumpu pada pengurasan sumber daya alam dan mengizinkan pembukaan lahan—baik untuk pertambangan, kehutanan atau perkebunan untuk mengonversi kawasan tutupan hutan menjadi penyebabnya. Diperparah pula dengan adanya pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pemegang izin yang sah maupun yang tidak. Pembukaan lahan dan hutan biasanya diikuti dengan kejahatan lain terhadap satwa liar. Satwa liar yang dilindungi oleh hukum banyak diperjualbelikan di masyarakat bahkan diselundupkan, sebagai hasil sampi-ngan pembalakan baik legal maupun yang ilegal.

Kepastian hukum yang masih simpang siur dan tidak sinkron menjadikan masyarakat “bingung” dengan konsensus soal perizinan penebangan hutan. Misalnya, baru-baru ini Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) telah dikeluarkan atas penyidikan di 13 perusahaan besar yang diindikasikan melakukan pembalakan liar di Riau. Padahal, Kepolisian Daerah Riau telah bersusah payah mengumpulkan data, mengeluarkan dana dan melakukan penangkapan atas pembalakan yang “kasatmata” sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa.

Jelas sekali, sebagai akibat rasio hutan semakin berkurang, dan hutan dataran rendah di kawasan pulau besar seperti di Kalimantan dan Sumatera sudah semakin menipis, mengakibatkan banyak konflik masyarakat, juga antarmanusia dan hidupan liar seperti harimau dan gajah. Di Pulau Sumatera, pada tahun 2007, menurut data deteksi perubahan tutupan hutan yang dikeluarkan oleh Wildlife Conservation Society, Conservation International dan Departemen Kehutanan, kawasan ini mengalami pembukaan hutan rata-rata 25 persen, atau diperkirakan lebih dari 5 juta hektare dalam waktu sepuluh tahun saja, 1990 hingga 2000.

Penyakit Menyebar
Sumatera mempunyai 20,6 juta hektare hutan pada tahun 1990 dan menjadi hanya 15,5 hektare pada tahun 2000. Bila tren ini berlanjut maka pulau itu bisa hanya menyisakan 10 juta ha hutan di akhir tahun 2010. Ironinya, upaya kita menghijaukan hutan, walaupun digembar-gemborkan, ternyata sangat sedikit. Misalnya, dengan pencanangan satu juta pohon saja—jika berhasil—artinya hanya mampu menghijaukan 2.500 hektare hutan (1 ha = 400 pohon).
Kondisi lingkungan (sanitasi) desa dan kota di Indonesia tidak dapat dikatakan baik. Perilaku masyarakat yang masih awam bahkan “primitif” dalam memperlakukan lingkungan dengan membuang sampah dan limbah sembarangan mengakibatkan penyakit dapat menyebar ke berbagai tempat. Banyak rumah masyarakat di perkampungan dibangun tanpa memiliki toilet dan mereka membuang hajat di sungai-sungai dan danau. Laporan Bank Dunia (2008) tentang kerugian yang diderita masyarakat Indonesia akibat buruknya sa-nitasi mencapai Rp 56 triliun.

Kerugian ekonomi ini antara lain dipicu oleh 89 juta kasus diare per tahun dan 23.000 orang mati akibat diare tersebut. Laporan sanitasi ini juga menghitung, setidaknya 120 juta kejadian penularan penyakit dan 50.000 bayi yang mati prematur setiap tahunnya. Ini akibat sanitasi dan higienitas lingkungan yang buruk. Laporan Water and Sanitation Program (WSP) tersebut menyimpulkan dampak kerugian lingkungan yang buruk mengakibatkan hilangnya material berupa biaya kesehatan Rp 29,5 triliun, biaya air Rp 13,3 triliun, lingkungan Rp 847 miliar, pariwisata Rp 1,4 triliun dan kesejahteraan lain Rp 10,7 triliun.

Krisis air dipicu juga oleh perencanaan ruang dan pembangunan perumahan yang tidak tertata disertai penggalian air tanah yang berlebihan. Keperluan air yang sangat vital memerlukan upaya terintegrasi tata ruang antarwilayah agar dapat berbagi keuntungan dalam pengelolaan ekosistem melalui skema pembayaran perawatan ekosistem (payment of ecosystem services-PES). Pencemaran air dapat berdampak pada meningkatkan beban biaya pengadaan air bersih untuk rumah tangga, di samping itu akan mengurangi produksi ikan di sungai dan danau.

Penulis bekerja di Conservation International Indonesia.