Wednesday, June 17, 2009

Bahtera Nabi Nuh

Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya

DIKUTIP dari Harian Republika (Jum'at 27 Maret 2009)

Modernisasi dan keterbukaan informasi diiringi dengan teknologi yang canggih, ternyata tidak serta merta membawa keuntungan bagi semua makhluk hidup. Padahal para ahli dan peneliti sejarah alam sependapat: bahwa semua makhluk hidup mempunyai peran dan fungsi masing-masing, ibarat sebuah irama ensamble, atau orkestra, setiap makhluk hidup mempunyai peran penting dalam menjaga harmoni kehidupan. Misalnya, seekor lebah madu, selain bermanfaat sebagai serangga penyerbuk, sehingga benang sari bisa bertemu dengan putiknya—dan membantu perbentukan buah---serangga kecil ini juga menghasilkan madu yang berkhasiat bagi kesehatan manusia.

Di alam yang maha luas ini, makhluk sepele yang mungkin dianggap tidak mempunyai arti apa-apa, bisa jadi ternyata mempunyai fungsi dalam menghidupkan mata rantai ekologis yang terkadang sangat membawa keuntungan bagi manusia. Hingga kini telah banyak diteliti, bahwa ternyata keberadaan satwa mempunyai keterkaitan erat dalam sebuah sistem yang pada ujungnya membantu kesehatan ekosistem dan alam dimana manusia tinggal.

Maka dalam sejarah spiritualitas manusia pun, binatang dan makhluk hidup bernyawa mempunyai kaitan dan keterikatan erat dengan eksistensi manusia. Maka, dalam contoh kenabian, tentang kemuliaan binatan-dan hewan-hewan ini, Allah pun menyayangi mereka ketika terjadi kutukan banjir Nabi Nuh dan memerintahkan kepada Nuh alahissalam, penghulu para nabi dengan berfirman: “Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (Al Qur’an, 11:40).
Ibnu Katsir menguraikan dalam tafsirnya dengan mengutip para ulama salaf, yang berpendapat, bahwa Nabi Nuh as, tidak saja membawa jenis-jenis hewan, tetapi juga menyelamatkan tumbuh tumbuhan dan membawanya dalam bahteranya. Tentu saja dalam upaya agar dengan mereka dibawa kedalam bahtera, berarti tidak mengalami kepunahan terhadap spesies yang ada tersebut.

Penganut konservasi alam—semestinya—memahami bahwa pekerjaan mereka ibarat meneruskan sebuah tugas kenabian yang mulia dari ancaman ‘banjir’ lain yaitu kerakusan dan ketamakan nafsu manusia untuk menguras segala isi alam, menebang pohon, membabat tumbuh-tumbuhan, menggerus perut dan isi bumi dengan mengeluarkan bahan-bahan tambang, dan mengancam segala jenis-jenis makhluk hidup yang ada diatasnya. Alam pun menjadi berubah dan tidak seimbang yang berujung pada pemanasan global yang sangat mengancam eksistensi kehidupan.

Penelitian Pimm dkk yang dipublikasikannya di Science (1995), mengungkap bahwa 5 hingga 50 persen spesies akan mengalami kepunahan akibat kehancuran habitat mereka antar tahun 2000 hingga 2050. Sedangkan Thomas dkk dalam Nature memprediksikan pula bahwa antara 15% hingga 37% spesies akan mengalami kepunahan dalam periode yang sama akibat pemanasan global. Skenario tersebut juga memukul rata kira-kira 25% spesies akan punah pada tahun 2050. Conservation International (2008) memperkirakan, jika di muka bumi ini terdapat 5 juta spesies, maka 25% dari 5 juta spesies adalah = 1.3 juta spesies, kasarnya akibat kerusakan dan perubahan iklim sekarang ini tengah terjadi kepunahan 1 spesies per 20 menit.
Alam, menyediakan fungsi-fungsi yang banyak, dan terkadang lepas dari perhitungan manusia. Contoh yang sangat ektrim misalnya adalah terjadinya perubahan iklim yang diperkirakan akan menelan biaya ekonomi terlampau mahal yang diakibatkan--- dalam skala global--ternyata, setelah dihitung, berkurangnya hutan tropis yang hilang berbanding lurus dengan bertambahnya kandungan racun CO2 di atmosfer.

Pemanasan global misalnya, akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, mengganggu produktifitas pangan, mengakibatkan kelangkaan air bersih, peningkatan organisme pembawa penyakit, dan meningginya permukaan laut yang mengakibatkan abrasi bandang di pesisir, dan perubahan cuaca yang tidak normal.

Sayangnya, upaya melestarikan hutan, tidak semudah membalik telapak tangan, diperlukan perjuangan untuk melindungi hutan alam yang mampu menyerap CO2 yang nilai ekonominya terkadang melebihi nilai butuhkan untuk melindungi hutan itu.

Sebagai warga dunia sewajarnya, kita berbagi kekhawatiran tentang hilangnya hutan yang pada ujungnya dapat menimbulkan persoalan dan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Belum lagi harga ini harus ditanggung oleh generasi mendatang, karena ternyata populasi bumi selanjutnya tidak lagi mempunyai pilihan karena menyelamatkan keanekaragaman hayati yang ada ternyata tidak dapat diselamatkan.

Indonesia mencatat kepunahan spesies cukup signifikan di abad 20, hilangnya dua sub spesies harimau yang ada di Jawa dan Bali, punahnya burung trulek jawa, serta menyusutnya populasi badak di Jawa, ditambah terdesaknya spesies asli (endemik) di Pulau Jawa seperti owa jawa dan elang jawa yang kini hanya bertahan di puncak-puncak hutan alam pegunungan Jawa yang didesak oleh populasi manusia.

Masalahya sekarang, mampukah kita mencegah kepunahan ini? Desakan populasi manusia yang semakin membengkat, menjadi 9 miliar pada tahun 2050, tentunya akan memerlukan lahan dan penghidupan yang lebih luas. 28 ilmuwan yang menulis artikel tentang “Apakah Kita Mampu Mencegah Kepunahan (Can we Defy Nature’s End? Science (2001) bersepakat bahwa kepunahan dapat dicegah tetapi dengan cara yang inovatif salah satunya adalah dengan mengadakan perlindungan terhadap sisa-sisa habitat yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Untuk menemukan habitat seperti ini tentunya diperlukan biaya untuk survei, lalu kesepakatan ilmiah untuk menentukan kawasan tersebut sebagai ‘kawasan kunci keanekaragaman hayati’ dan tak kalah penting adalah menginvestasikan anggaran kita pada kawasan ini agar terus terjadi keberlanjutan kehidupan.

Dalam ‘jargon Nabi Nuh tadi, kawasan kunci keaneakaragaman hayati inilah yang dapat diumpamakan sebagai ‘Bahtera Nuh’ dimana banyak makhluk yang mewakili kehidupan dapat terus melanjutkan spesiesnya.

Negara atau lintas negara, perlu berbagi upaya dalam memberikan perhatian pada kawasan-kawasan konservasi sebagai investasi masa depan kehidupan. Biaya yang diupayakan ternyata tidak terlampau besar dibandingkan dengan kehilangan jangka panjang yang akan dibebankan antar generasi. Menurut Science, biaya konservasi yang dikeluarkan adalah hanya seperseribu dari keuntungan yang diperoleh dari jasa ekosistem. Jasa ekosistem adalah jasa yang selama ini dapat kita ambil manfaatnya secara langsung misalnya air bersih dan udara yang bersih yang menunjang kehidupan vitas kita.

Jadi, mempertahankan keberadaan makhluk hidup dan segara karunia Tuhan yang ada di bumi untuk generasi mendatang, alangkah mulianya manusia, jika disetiap negara, daerah, kabupten, kota dan desa-desa mempunyai kawasan konservasi sebagai bentuk replika ‘Bahtera Nuh’ dengan bentuknya, melestarikan alam, melindungi tumbuh-tumbuhan serta menyelamatkan spesies apa pun yang ada di dalamnya.**