Monday, April 1, 2013

Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan?



Oleh Fachruddin Mangunjaya

Akhirnya Kementerian Kehutanan gencar membongkar vila –vila yang berdiri illegal di Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak (Koran Tempo, 12 Maret 2013).  Adapun pemilik vila, yang terdiri dari para pembesar dan orang yang mampu di Jakarta. Mereka, terlebih dahulu diminta kesadaran untuk membongkar sendiri vila tersebut. Kalau tidak, dapat diancam hukuman penjara 10 tahun karena melanggar undang-undang Kehutanan No 41 Tahun 1999 dan undang undang  No 5/1990, tentang Konservasi dan Sumber Daya  Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Taman Nasional –seperti konsep awalnya di seluruh dunia--sesungguhnya adalah sebuah kawasan warisan nasional. Walaupun jenisnya hanya hutan belantara, namun nilai pentingnya sangat tinggi, karena banyak rahasia alam yang belum terungkap dan alam –seperti kita ketahui—mempunyai sejarah panjang selama jutaan tahun. Sekali unsur alam, baik itu spesies, ekosistem, aspek estetika, dan sumber daya hidup maupun tak hidup punah, maka nilai –ekonomi, budaya, ekologi bahkan nilai estetiknya-- tidak akan tergantikan.

Hutan alam adalah ibarat gudang pengetahuan atau laboratorium yang manfaatnya belum sepenuhnya dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu sebuah taman nasional adalah ibarat monumen hidup warisan alam yang memang harus mendapatkan perhatian dan perawatan oleh sebuah bangsa. Keunikan sebuah taman nasional, kadangkala tidak ada bandingannya dengan tempat-tempat lain dimanapun. Bahkan dibelakan bumi lain.  

Pendirian sebuah taman nasional diputuskan oleh pemerintah atas dasar pertimbangan ilmiah, berbasis pengetahuan dan mempunyai visi jangka panjang. Jadi kawasan tersebut adalah milik publik dalam arti menjadi sebuah warisan alam yang seharusnya tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, atau juga dinikmati hanya masyarakat sekitar kawasan, tetapi manfaatnya harus dirasakan oleh semua bangsa, dalam arti luas mempunyai makna kemanusiaan –termasuk upaya mewariskan kepada anak cucu kita---untuk jangka panjang.  

Manfaat taman nasional bukan menjadi kegunaan yang sempit, seperti mendirikan villa atau tempat rekreasi dan ‘tetirah’ semata, tetapi taman nasional menjadi tempat abadi yang harus mendapatkan keistimewaan bagi semua makhluk Tuhan. Banyak satwa langka, kehidupan yang unik, bahkan jasad renik yang belum teridentifikasi namanya oleh pengetahuan manusia, ada didalam kawasan tersebut.  Oleh sebab itu, dalam konsep trilogi konservasi klasik, sesungguhnya taman nasional didefinisikan mempunyai tiga manfaat:  pertama manfaat perlindungan (protection), kedua manfaat pembelajaran (study) dan ketiga, manfaat untuk memanfaatkan (use).

Selama ini, banyak yang melihat kawasan hutan, apalagi tempat seperti Gunung Halimun dan Salak adalah sekedar puncak gunung tempat mencari kedamaian dan kenyamanan. Melepas penat dan kejenuhan Jakarta yang sumpek. Maka, jadilah hanya orang-orang yang memiliki uang yang dapat ke tempat itu. Sementara masyarakat lain –yang tidak punya uang—karena biaya untuk bertetirah yang mahal, tidak mempunyai kesempatan itu. Akibatnya, banyak terjadi kejenuhan tingkat stress yang tinggi diperkotaan. Dampak  lain dari tidak adanya akses untuk menyalurkan kejenuhan ini bisa berakibat akan tingginya tingkat kriminalitas dan tingginya resiko masyarakat yang sakit, baik dalam arti jiwa maupun fisiknya.

Dalam aspek manfaat, karena sejarah pendirian taman nasional—di Indonesia-- merupakan hal yang baru, maka masyarakat belum sepenuhnya memahami manfaatnya. Berbeda di Amerika, kawasan ini menyediakan tempat tetirah sementara –bukan vila—yang disediakan adalah camping ground yang luas. Akhir pekan, ribuan kepala keluarga Amerika –kaya dan miskin--dapat dengan Cuma-Cuma mendirikan tenda di tempat-tempat yang disediakan oleh taman nasional. Mereka bercengkrama kembali ke alam, merenung. Mendengarkan gemercik air, mendengar burung berkicau , mencium wangi bunga liar yang mekar, yang dapat mereduksi kepenatan dan—yang teramat penting—mendekatkan diri pada ciptaan Tuhan. John Sheil  dalam National Spectacle The World’s FirstNational Park and Protected Places (2010), mengutip, Selincot  yang menuliskan  gambaran  fungsi sebuah taman nasional sebagai: “upaya menyaksikan sebuah warisan nasional, dimana setiap orang mempunyai hak untuk merasakan, melihat dan menikmatinya.”

Seorang yang mengenal alam dengan dekat, mereka akan mendapatkan spiritualitas, penemuan  penting akan makna hidup. Manusia merupakan bagian dari alam, menyadari bentuk keterbatasan dan kedekatan dengan alam akan menjadikan jiwa yang halus dan perasaan sayang terhadap semua makhluk. Oleh karena itu E O Wilson (1993) menyebutkan, ketergantungan manusia pada alamsebagai biofilia (human bond to nature). Bahwa manusia terpatri secara genetik, sangat perlu untuk dekat dengan alam, terutama untuk mengembalikan semangat dan spiritualitas, merenungi unsur kehidupan, karena kaitan erat akan asal usul penciptaannya.

Dalam sebuah reality show, beberapa minggu yang lalu. Saya menyaksikan, Oprah Winfrey –yang populer di dunia itu-- sengaja memindahkan lokasi shootingnya ke Taman Nasional Yosemite, di California. Dia camping dan menikmati suasana alam, mamasak di tenda dan menghirup udara segar, bangun pagi. Dalam penutupnya  dia  menghimbau masyarakat –Amerika--terutama yang berkulit hitam, untuk pergi camping ke Taman Nasional Yosemite. Himbauan itu tentu bukan tanpa alasan, banyak warga kulit hitam yang tinggal diperkotaan pada umumnya terlibat pada tindak kriminal dan kekerasan. Mengunjungi taman nasional, dapat kiranya menjadi penawar, mehilangkan stress dan meninggikan kehalusan budi dan pikiran. Semoga. (*)


Dikutip dari KORAN TEMPO, Jum'at 22 Maret 2013

Tuesday, April 24, 2012

Keanekaragaman Hayati Melawan Kemiskinan


Raja Ampat di Papua adalah sebuah kabupaten baru yang alamnya masih asli. Lautnya bersih, pantainya indah, hutan di pulau-pulau yang ada di bagian leher “Kepala Burung” Papua ini masih relatif belum terjamah. Masyarakatnya hidup tenang. Karena alamnya kaya dengan ikan, jika ingin mendapatkan lauk untuk makan siang, penduduk cukup pergi ke dermaga memancing tanpa umpan, yang mereka sebut mencigi. Ribuan ikan berenang di dermaga seperti di kolam kaca. Saking banyaknya ikan, orang tidak lagi perlu menunggu umpan digigit ikan, melainkan cukup menjerat salah satu dari tumpukan ribuan ikan yang berkeliaran itu dengan menarik kail secara mendadak.

 

Inilah modal alam (natural capital) yang memberikan ketersediaan pangan bagi mereka. Keberadaan modal alam ini tersedia berkat dukungan jasa ekosistem yang lain: terumbu karang yang sehat, hutan bakau yang sehat sebagai tempat pemijahan, aliran nutrisi laut yang tidak tercemar, dan suhu laut yang mendukung segala jenis dan daur produksi yang ada di laut. Dengan alam yang kaya ini tidak mungkin masyarakat di sana kelaparan dan kekurangan gizi.

Alam yang asli dan terjaga dapat menjadi sebuah kapital yang terkadang lepas dari perhitungan. Keanekaragaman hayati merupakan aset alami, termasuk di antaranya jasa ekosistem seperti air tawar, tempat pemijahan ikan, penangkal gelombang, regulasi iklim, suplai oksigen, dan pengganti fisik penanggulangan badai, obat-obatan, zat pewarna, dan seterusnya. Ahli keanekaragaman hayati, E.O. Wilson, mengatakan, bangunan alami mempunyai kelebihan yang sangat banyak dibanding dengan bangunan fisik yang dibuat oleh manusia. Bangunan fisik tidak akan mampu menandingi jasa alam yang bangunannya terdiri atas makhluk hidup (organik) yang mempunyai banyak kelebihan dan harganya sangat murah. Tetapi bangunan fisik, selain tidak mampu berbuat banyak, pembangunannya menelan biaya dan investasi tidak sedikit.

Hutan bakau, jika dipertahankan, dapat berfungsi untuk banyak hal: penyedia nutrisi, pencegah abrasi, tempat pemijahan ikan dan udang, serta penyerap oksigen sebagai regulasi iklim dan buah-buahnya dapat dibudidayakan sebagai pendapatan alternatif masyarakat. Sebaliknya, jika hutan bakau diubah menjadi bangunan fisik, keuntungan ekonomi hanya dapat dihitung sebagai kepentingan sesaat dan hanya untuk fungsi bangunan itu saja. Penanggulangan abrasi di pantai utara Jakarta menggunakan biaya ratusan miliar rupiah akibat hilangnya ekosistem hutan bakau dan ekosistem bakau, yang mengakibatkan kestabilan tanah terganggu dan intrusi terjadi, air tanah tidak bisa digunakan untuk mandi karena asin. Hal ini juga mengakibatkan permukaan tanah beberapa kawasan di Jakarta turun lebih rendah dari permukaan laut. Ujungnya, pemerintah lalu harus mengeluarkan anggaran dengan melakukan adaptasi. Sama halnya dengan upaya membuat jalan layang untuk menghindari intrusi dan rob masuk, melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Rawan Konflik

Fenomena konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam menjadi marak akhir-akhir ini disebabkan oleh dua hal: pertama, masyarakat yang telah lama dekat dengan sumber daya alam, seperti masyarakat adat, merasa sangat kehilangan hak atas sumber daya yang mereka miliki secara turun-temurun, terutama yang mereka peroleh secara cuma-cuma dan disediakan oleh alam. Mereka pun telah merawat alam atas kearifan turun-temurun untuk menghargai dengan tidak merusak alam. Konversi lahan--seperti perubahan menjadi lahan perkebunan sawit, tambang, dan konsesi kayu--memperparah keadaan dan rasa kehilangan hak tersebut.

Masyarakat yang biasa subsisten menerima keberkahan alam dengan memungut hasil hutan dan ketersediaan yang gratis dari alam sebagai sumber kehidupan mendadak merasa kehilangan apa yang semestinya mereka dapatkan dengan mudah. Hipotesisnya adalah, masyarakat pinggiran hutan, yang berbasis pembuka lahan dan perkebunan serta pengumpul, tidak siap, tanpa ada perubahan gradual keterlibatan pemberdayaan yang berarti dalam kehidupan mereka, untuk menerima perubahan fungsi lahan.

Kedua, masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari bawah. Ketika banyak sumber daya alam dan habitat yang sifatnya vital, seperti penyedia air, keragaman plasma nutfah, pencarian bahan makanan, dan kesuburan tanah, telah terenggut dari sisi masyarakat awam yang masih hidup subsisten, dan telah tidak dapat lagi mereka peroleh di alam karena fungsi lahan yang telah berubah maka mereka merebut, dengan segala risiko, hidup atau mati, untuk mengambil kembali lahan mereka sebagai sumber penghidupan.

Mengentaskan Masyarakat Miskin

Target pengentasan masyarakat dari kemiskinan dalam Millennium Development Goal’s (MDGs) hanya menghitung tingkat nilai finansial standar kemiskinan yang setara dengan perolehan tidak kurang dari US$ 1 per hari. Indikator ini semestinya tidak menilai alam hanya secara fisik. Merujuk pada studi terbaru yang dipublikasikan oleh Turner dkk (2012) dalam jurnal Bioscience yang mengatakan bahwa natural capital sangat penting sebagai upaya kompensasi pada masyarakat miskin dan upaya melindungi habitat yang bersifat vital yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Laporan tersebut mencatat dua solusi persoalan dunia yang dapat diatasi sekaligus: keanekaragaman hayati dan kemiskinan.

Masyarakat di pinggiran hutan yang subur, apalagi jika diperkenankan mengelola sendiri haknya secara berkelanjutan, niscaya akan mampu terangkat dari kemiskinan dengan pemberdayaan tanpa merusak alam. Kawasan hot spots keanekaragaman hayati, menurut laporan tersebut, dapat bernilai lebih dari US$ 500 miliar per tahun atau mampu menyediakan kebutuhan bagi 330 juta penduduk miskin dunia. Di Indonesia, konversi lahan mengubah banyak habitat--yang berfungsi sebagai jasa ekosistem--yang lalu tidak menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat sekitarnya. Sebab, keuntungan hanya diperoleh para pemegang modal yang bersifat kapitalistik untuk melanggengkan usahanya.

Kawasan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti Indonesia, sesungguhnya menyediakan sumber-sumber modal alam yang dibutuhkan untuk kehidupan atau mereka yang dianggap miskin. Maka, memberikan hak sekaligus melakukan perlindungan pada kawasan-kawasan produktif sesungguhnya tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, namun juga dapat dihitung sebagai upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, sebagaimana yang ditargetkan oleh MDG Perserikatan Bangsa Bangsa. *

Masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari bawah.

Sumber: KORAN TEMPO, 10 Februari 2012

Thursday, November 10, 2011

Haji Ramah Lingkungan

KORAN TEMPO Thursday, 10 November 2011


oleh Fachruddin Mangunjaya, Delegasi Sacred Land and Green Pilgrimage Celebration, Assisi, Italia, bekerja di Conservation International (CI) Indonesia, Fellow of The Climate Reality Project (TCRP).

Pada 2010, dua anak muda muslim dari Afrika Selatan melakukan perjalanan ibadah haji "ramah lingkungan", yaitu dengan menggunakan sepeda, menuju Mekah. Nathim Cairncross dan Imtiyaz Ahman Haron bersepeda sejauh 11 ribu km, memakan waktu sembilan bulan.

Perjalanan ribuan kilometer dari negara asalnya menuju Mekah, dengan hanya mengayuh sepeda, tentu saja merupakan upaya yang sangat keras, menguras tenaga, dan melelahkan. Tetapi ini menjadi tanda bahwa kehidupan beragama mempunyai spirit dalam upaya berkontribusi kepada kepedulian lingkungan hidup. Perjalanan "haji hijau" ini tentu saja: zero emisi, sudah pasti ramah lingkungan karena tidak berkontribusi kepada emisi karbon individual.

Mengurangi emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan CO2, baik individual maupun kolektif, akan berkontribusi pada upaya mitigasi (mengurangi) terjadinya perubahan iklim. Sebab, apabila Anda menggunakan kendaraan yang memakai bahan bakar minyak (BBM) yang berasal dari fosil, artinya akan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan bertambahnya ketebalan atmosfer yang berdampak pada pemanasan global. Selama tiga hari, awal November ini saya menghadiri acara peluncuran Sacred Land and Green Pilgrimage Network di Assisi, Italia.

Kegiatan ini dihadiri tokoh umat beragama dan aktivis lingkungan hidup dari berbagai keyakinan: Buddha, Baha'i, Dao, Hindu, Sinto, Sikh, Kristen, Islam, dan Yahudi, dengan tujuan yang sama, yaitu berkontribusi pada perawatan satu bumi untuk dapat hidup secara berkelanjutan, baik generasi kini maupun mendatang. Hal yang menarik adalah dalam konteks perubahan iklim dan lingkungan hidup: ada upaya umat beragama untuk bersama menggerakkan masing-masing umatnya melalui keimanan yang dimilikinya guna berkontribusi pada pencegahan atau mitigasi terhadap perubahan iklim.

Menurut Alliance of Religion and Conservation (ARC), setiap tahun ada sekitar 100 juta orang melakukan perjalanan ziarah atau ibadah ritual--termasuk ibadah haji. Adapun perayaan yang dilakukan di Assisi, Italia, itu merupakan jaringan pertama di dunia untuk mereka yang mempunyai komitmen dengan tujuan menjadikan tempat suci atau upacara keagamaan mereka berwawasan lingkungan.

Jaringan ini akan bekerja guna membantu umat beriman menjadikan tempat suci dan kota suci mereka ramah lingkungan, berkelanjutan berdasarkan pada keyakinan agama dan pemahaman mereka masing masing. Umat Islam dalam acara ini turut berkomitmen meluncurkan buku The Green Guide for Hajj, atau "panduan haji hijau" yang isinya tuntunan umum bagaimana melakukan ibadah haji yang lebih ramah lingkungan, yaitu anjuran sejak dari persiapan haji, bersikap sederhana dalam pola konsumsi. Sebab, dalam ritual haji kita diingatkan akan fitrah manusia, di mana Anda harus meninggalkan kemewahan dan gaya hidup konsumtif. Panduan ini juga menganjurkan agar jemaah haji membeli produk yang ramah lingkungan serta memilih agen perjalanan yang ramah lingkungan--misalnya yang meng-offset carbon footprint penumpangnya.

Salah satu anjuran yang sangat penting adalah tidak membeli tas plastik dan botol plastik untuk dibawa pergi haji. Mengapa? Karena plastik hanya dapat hancur selama 200 tahun, dan tidak terurai dengan cepat. Pada 2010 terdapat 100 juta botol plastik yang ditinggalkan oleh jemaah haji. Jumlah tersebut sebenarnya dapat dikurangi jika jemaah sadar dengan tidak membeli air dalam botol kemasan atau membawa sendiri air dalam wadah yang permanen untuk dikonsumsi selama perjalanan haji.

"Pesan yang sangat penting dari pertemuan ini adalah bahwa umat beragama mempunyai potensi besar untuk menggerakkan serta berkontribusi mengatasi perubahan iklim dan lingkungan secara masif, karena imanlah yang mendorong mereka melakukan penghormatan kepada tempat suci."

Tahun ini, menurut Kementerian Agama, Indonesia mengirim 221 ribu anggota jemaah haji ke Mekah, bahkan setiap tahun peminat haji meningkat sehingga terdapat para calon haji yang masuk daftar tunggu. Daerah provinsi seperti Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan harus menunggu 11 tahun, sedangkan daerah lainnya rata-rata harus antre lima tahun.

Ziarah

Ziarah tidak hanya berupa mengunjungi tempat tertentu--antarnegara dan bangsa--tapi ada juga berkumpulnya massa dari sebuah kawasan (region) tertentu. Misalnya, ziarah jemaah tarekat Tasawuf Qadiriyyah di Kano, Nigeria, yang dihadiri lebih dari 1,5 juta pengikutnya setiap tahun. Sementara itu, kota suci Assisi merupakan tempat ziarah yang telah bertahan selama 800 tahun, yang dikunjungi oleh ratusan ribu penganut Katolik. Kota ini merupakan tempat kelahiran Santo yang ekologis, yaitu St Francis Assisi, di mana beliau berkhotbah tidak hanya kepada manusia, juga untuk burung dan binatang-binatang yang ada di sekitarnya.

Pertemuan acara keagamaan paling besar dalam ritual menurut catatan sepanjang sejarah adalah perayaan Maha Kumbh Mela, yang diadakan pada 2001. Acara ini hanya diadakan setiap 144 tahun di Prayag, Allahabad, India, yang menarik 60 juta pemeluk Hindu untuk berkumpul. Sedangkan pertemuan tahunan terbesar setiap tahun adalah ibadah haji di Arab Saudi, yang pengikutnya mencapai 2,5 juta orang setiap tahun.

Pesan yang sangat penting dari pertemuan ini adalah bahwa umat beragama mempunyai potensi besar untuk menggerakkan dan berkontribusi mengatasi perubahan iklim dan lingkungan secara masif, karena imanlah yang mendorong mereka melakukan penghormatan kepada tempat suci. Dan sudah tentu dengan keyakinan pula aksi peduli kepada lingkungan dapat dilakukan demi keberlanjutan ibadah umat beragama di planet bumi yang satu ini.*