Tuesday, April 24, 2012

Keanekaragaman Hayati Melawan Kemiskinan


Raja Ampat di Papua adalah sebuah kabupaten baru yang alamnya masih asli. Lautnya bersih, pantainya indah, hutan di pulau-pulau yang ada di bagian leher “Kepala Burung” Papua ini masih relatif belum terjamah. Masyarakatnya hidup tenang. Karena alamnya kaya dengan ikan, jika ingin mendapatkan lauk untuk makan siang, penduduk cukup pergi ke dermaga memancing tanpa umpan, yang mereka sebut mencigi. Ribuan ikan berenang di dermaga seperti di kolam kaca. Saking banyaknya ikan, orang tidak lagi perlu menunggu umpan digigit ikan, melainkan cukup menjerat salah satu dari tumpukan ribuan ikan yang berkeliaran itu dengan menarik kail secara mendadak.

 

Inilah modal alam (natural capital) yang memberikan ketersediaan pangan bagi mereka. Keberadaan modal alam ini tersedia berkat dukungan jasa ekosistem yang lain: terumbu karang yang sehat, hutan bakau yang sehat sebagai tempat pemijahan, aliran nutrisi laut yang tidak tercemar, dan suhu laut yang mendukung segala jenis dan daur produksi yang ada di laut. Dengan alam yang kaya ini tidak mungkin masyarakat di sana kelaparan dan kekurangan gizi.

Alam yang asli dan terjaga dapat menjadi sebuah kapital yang terkadang lepas dari perhitungan. Keanekaragaman hayati merupakan aset alami, termasuk di antaranya jasa ekosistem seperti air tawar, tempat pemijahan ikan, penangkal gelombang, regulasi iklim, suplai oksigen, dan pengganti fisik penanggulangan badai, obat-obatan, zat pewarna, dan seterusnya. Ahli keanekaragaman hayati, E.O. Wilson, mengatakan, bangunan alami mempunyai kelebihan yang sangat banyak dibanding dengan bangunan fisik yang dibuat oleh manusia. Bangunan fisik tidak akan mampu menandingi jasa alam yang bangunannya terdiri atas makhluk hidup (organik) yang mempunyai banyak kelebihan dan harganya sangat murah. Tetapi bangunan fisik, selain tidak mampu berbuat banyak, pembangunannya menelan biaya dan investasi tidak sedikit.

Hutan bakau, jika dipertahankan, dapat berfungsi untuk banyak hal: penyedia nutrisi, pencegah abrasi, tempat pemijahan ikan dan udang, serta penyerap oksigen sebagai regulasi iklim dan buah-buahnya dapat dibudidayakan sebagai pendapatan alternatif masyarakat. Sebaliknya, jika hutan bakau diubah menjadi bangunan fisik, keuntungan ekonomi hanya dapat dihitung sebagai kepentingan sesaat dan hanya untuk fungsi bangunan itu saja. Penanggulangan abrasi di pantai utara Jakarta menggunakan biaya ratusan miliar rupiah akibat hilangnya ekosistem hutan bakau dan ekosistem bakau, yang mengakibatkan kestabilan tanah terganggu dan intrusi terjadi, air tanah tidak bisa digunakan untuk mandi karena asin. Hal ini juga mengakibatkan permukaan tanah beberapa kawasan di Jakarta turun lebih rendah dari permukaan laut. Ujungnya, pemerintah lalu harus mengeluarkan anggaran dengan melakukan adaptasi. Sama halnya dengan upaya membuat jalan layang untuk menghindari intrusi dan rob masuk, melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Rawan Konflik

Fenomena konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam menjadi marak akhir-akhir ini disebabkan oleh dua hal: pertama, masyarakat yang telah lama dekat dengan sumber daya alam, seperti masyarakat adat, merasa sangat kehilangan hak atas sumber daya yang mereka miliki secara turun-temurun, terutama yang mereka peroleh secara cuma-cuma dan disediakan oleh alam. Mereka pun telah merawat alam atas kearifan turun-temurun untuk menghargai dengan tidak merusak alam. Konversi lahan--seperti perubahan menjadi lahan perkebunan sawit, tambang, dan konsesi kayu--memperparah keadaan dan rasa kehilangan hak tersebut.

Masyarakat yang biasa subsisten menerima keberkahan alam dengan memungut hasil hutan dan ketersediaan yang gratis dari alam sebagai sumber kehidupan mendadak merasa kehilangan apa yang semestinya mereka dapatkan dengan mudah. Hipotesisnya adalah, masyarakat pinggiran hutan, yang berbasis pembuka lahan dan perkebunan serta pengumpul, tidak siap, tanpa ada perubahan gradual keterlibatan pemberdayaan yang berarti dalam kehidupan mereka, untuk menerima perubahan fungsi lahan.

Kedua, masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari bawah. Ketika banyak sumber daya alam dan habitat yang sifatnya vital, seperti penyedia air, keragaman plasma nutfah, pencarian bahan makanan, dan kesuburan tanah, telah terenggut dari sisi masyarakat awam yang masih hidup subsisten, dan telah tidak dapat lagi mereka peroleh di alam karena fungsi lahan yang telah berubah maka mereka merebut, dengan segala risiko, hidup atau mati, untuk mengambil kembali lahan mereka sebagai sumber penghidupan.

Mengentaskan Masyarakat Miskin

Target pengentasan masyarakat dari kemiskinan dalam Millennium Development Goal’s (MDGs) hanya menghitung tingkat nilai finansial standar kemiskinan yang setara dengan perolehan tidak kurang dari US$ 1 per hari. Indikator ini semestinya tidak menilai alam hanya secara fisik. Merujuk pada studi terbaru yang dipublikasikan oleh Turner dkk (2012) dalam jurnal Bioscience yang mengatakan bahwa natural capital sangat penting sebagai upaya kompensasi pada masyarakat miskin dan upaya melindungi habitat yang bersifat vital yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Laporan tersebut mencatat dua solusi persoalan dunia yang dapat diatasi sekaligus: keanekaragaman hayati dan kemiskinan.

Masyarakat di pinggiran hutan yang subur, apalagi jika diperkenankan mengelola sendiri haknya secara berkelanjutan, niscaya akan mampu terangkat dari kemiskinan dengan pemberdayaan tanpa merusak alam. Kawasan hot spots keanekaragaman hayati, menurut laporan tersebut, dapat bernilai lebih dari US$ 500 miliar per tahun atau mampu menyediakan kebutuhan bagi 330 juta penduduk miskin dunia. Di Indonesia, konversi lahan mengubah banyak habitat--yang berfungsi sebagai jasa ekosistem--yang lalu tidak menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat sekitarnya. Sebab, keuntungan hanya diperoleh para pemegang modal yang bersifat kapitalistik untuk melanggengkan usahanya.

Kawasan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti Indonesia, sesungguhnya menyediakan sumber-sumber modal alam yang dibutuhkan untuk kehidupan atau mereka yang dianggap miskin. Maka, memberikan hak sekaligus melakukan perlindungan pada kawasan-kawasan produktif sesungguhnya tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, namun juga dapat dihitung sebagai upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, sebagaimana yang ditargetkan oleh MDG Perserikatan Bangsa Bangsa. *

Masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari bawah.

Sumber: KORAN TEMPO, 10 Februari 2012

No comments: