Tuesday, February 19, 2008

Gelombang Pasang dan Pemanasan Global

Oleh: Fachruddin M. Mangunjaya, Pemerhati Lingkungan

Dalam minggu ini kembali kita dikejutkan oleh perubahan gejala alam yang ekstrim yang merupakan fenomena yang tidak biasa yaitu gelombang pasang. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan, gelombang pasang yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia merupakan gejala aneh. Gelombang semacam itu baru kali ini terjadi (Metro TV (18/5).

Bila kita lihat, fenomena yang terjadi hampir di setiap titik Samudera Indonesia (pantai Selatan di Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Pantai Barat Ujung Sumatera dari Nangroe Aceh Darussalam hingga Sumatera Barat) maka, gejalah ini tentu saja merupakan peristiwa alam yang seharusnya diperhatikan. Para ahli metereologi telah menuturkan gejala ini merupakan fenomena gelombang yang terjadi akibat hembusan angin monsoón timur yang berinteraksi dengan lautan dan terjadi gesekan kemudian menghasilkan gelombang yang merambat di sepanjang pantai.

Keterangan lain menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan gajala tarikan atmosfer (atmospheric tides), yaitu pergerakan gelombang yang diakibatkan atmosfer yang sama dengan sistem yang ada di laut yang dipengaruhi oleh kekuatan gravitasi bulan dan matahari.
Apakah pemanasan global mempunyai peran dalam gejala gelombang pasang ini? Sepengetahuan penulis belum ada penelitian tentang ini. Namun, pergeseran pola cuaca yang ektrim bisa memenuhi logika, bahwa gejala ini merupakan rangkaian perubahan yang terjadi akibat adanya pemanasan global.

Perkiraan akan terjadinya peningkatan volume air laut karena mencairnya glatsier es di kutub utara dan selatan—akibat pengaruh pemanasan global-- merupakan salah satu skenario yang paling sering disinggung sebagai gejala adanya pemanasan global. Pola angin yang tidak terduga dan pergeseran musim yang mengakibatkan perubahan iklim, dapat dipastikan merupakan akibat pemanasan global yang sedang terjadi.

Sebagaimana dipaparkan oleh Sir Nicholas Stern, apabila sikap manusia dalam mempengaruhi bumi masih seperti sekarang (tanpa perubahan) dan trend konsumsi energi dan penggunaan bahan bakar, perubahan fungsi lahan, penggundulan hutan serta industri tidak berubah --business as usual-- maka dalam tahun 2100—sekitar 93 tahun mendatang—akan terjadi kenaikan suhu bumi, yang berakibat kenaikan terhadap permukaan laut.
Apabila hal tersebut terjadi maka yang paling menderita adalah negara-negara yang berkembang dan negara kepulauan seperti Indonesi, kepulaua Pasifik termasuk Jepang dan negara negara kepulaun kecil seperti Vanuatu dan Micronesia.

Oleh karena itu, sebagai negara kepulauan sekaligus juga negara berkembang, kita harus segera mengadakan proses adaptasi. Anggap saja gelombang pasang yang terjadi dalam beberapa minggu ini, kiranya hanya merupakan “uji coba” bila terjadi dampak terhadap gejala perubahan iklim dan pemanasan global.

Gelombang pasang, walaupun tidak membawa korban jiwa, dapat menimbulkan penderitaan dan kehilangan harti. Oleh karena itu sebaiknya gejala ini langsung dijadikan momentum dan merupakan peringatan dini pada mereka yang berada di kawasan pinggiran pantai untuk mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan mereka susungguhnya.

Jadi apa yang harus dilakukan? Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai memanjang ribuan kilometer, dengan banyak penghuni dan rakyat berada di pinggiran pantai, ada beberapa hal yang perlu dilakukan: Pertama, kita harus mengadakan adaptasi terhadap lingkungan dimana kita tinggal. Garis pantai yang mempunyai sejarah terkena gelombang pasang, sehingga rumah dan tempat tinggal menjadi hancur, merupakan kawasan yang sudah pasti tidak layak untuk tempat tinggal. Resikonya adalah harus ada relokasi dari tempat yang terkena dampak bencana dan radius sekitarnya ke kawasan yang lebih aman. Berapa jarak yang harus dihindari, harus dilakukan penelitian yang serius. Sebab, penetapan yang tidak semestinya antara jarak pantai dan bangunan hanya akan mengakibatkan bencana kemanusiaan akan berulang.

Proses adaptasi ini memang bukan kegiatan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga menjadi kewajiban pemerintah karena hal ini adalah merupakan upaya meminimalkan (mitigation) terhadap resiko bencana, tinimbang pemerintah menanggulangi dan memberikan bantuan bencana setelah terjadi. Upaya mitigasi ini merupakan suatu yang dianjurkan oleh Protokol Kyoto, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada November 2005. Sebagai contoh, negara-negara Micronesia, melalui Program Lingkungan Pasifik telah membiayai program adaptasi sebesar 34 juta dollar AS dalam upaya adaptasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mempersiapkan jalan jika terjadi banjir, membuat dinding atau membuat penahan gelombang, dan memperbaiki system drainase, memindahkan kebun, menanam tanaman yang tahan terhadap kondisi asin dan memperbaiki sistem industri perikanan mereka.

Sebagian pantai Indonesia seperti Parang Tritis, Sanur, Nusa Tenggara dan Pantai Barat Sumatera seperti Padang, merupakan pantai-pantai yang indah yang kerap dikunjungi wisatawan (domestik dan mancanegara) bahkan menjadi sumber pendapatan ekonomi. Upaya penyesuaian yang harus dilakukan di tempat ini adalah: menyediakan papan-papan peringatan termasuk skema tempat-tempat evakuasi apabila terjadi bencana. Di kawasan yang merupakan obyek wisata padat dan intensif, harus disiapkan para bay watch yang terlatih dan menyediakan tenaga relawan atau pegawai tanggap darurat yang terlatih sehingga apabila terjadi bencana tidak memakan korban jiwa.

Upaya kedua, adalah secara terus menerus memsosialisasikan ramalan cuaca dan iklim yang bisa didapat oleh publik dengan mudah. Badan Metereologi dan Goefisika (BMG) sudah menyediakan jaringan ramalan cuaca online berbasis internet, tetapi ini tidak dapat dijangkau oleh publik biasa misalnya nelayan. BMG memang sudah aktif ditanya ketika terjadi bencana dan memberikan keterangan yang banyak. Sudah tentu keterangan setelah terjadi bencana dan kerugian merupakan hal yang sia-sia. Agak dilematis bagi pemerintah yang tidak mempunyai wewenang untuk mengendalikan informasi, tetapi setidaknya pemerintah perlu mensubsidi penyiaran ramalan cuaca dan iklim (forecasting climate and weather) secara terus menerus untuk kepentigan publik. Beberapa hari menjelang banjir besar di Jakarta dan beberapa kawasan lain beberapa awal Februari lalu, beberapa stasiun televisi sangat rajin menayangkan ramalan cuaca. Tetapi karena kegiatan ini –mungkin tidak menguntungkan—kalah oleh desakan tayangan iklan yang menghasilkan pendapatan, maka tayangan itu pun lalu menghilang.

Ketiga, mengupayakan negosiasi tingkat internasional untuk memperoleh dukungan dalam mendapatkan dana adaptasi. Sebagaimana diketahui Negara-negara industri lah yang menjadi pemicu utama pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya insentif dan konpensasi untuk negara berkembang –seperti Indonesia untuk mempertahankan daya serap karbon (carbon sequestration) karena terpaksa—untuk memenuhi kebutuhan ekonomi—terus menebang hutan alamnya. Momentum Konvensi PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan didakan di Bali bulan Desember mendatang merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memperjuangkan hak mempertahankan hutan alamnya dan bernegosiasi agar upaya pencegahan kerusakan hutan (avoided deforestration) yang dilakukan oleh berbagai daerah untuk mempertahankan hutan alamnya memperoleh kompensasi dan diakui medapatkan kredit carbón yang diakui dalam peraturan Protocol Kyoto.***

KORAN TEMPO 21 Mei 2007

No comments: