Raja Ampat di Papua adalah sebuah kabupaten baru yang alamnya masih asli. Lautnya bersih, pantainya indah, hutan di pulau-pulau yang ada di bagian leher “Kepala Burung” Papua ini masih relatif belum terjamah. Masyarakatnya hidup tenang. Karena alamnya kaya dengan ikan, jika ingin mendapatkan lauk untuk makan siang, penduduk cukup pergi ke dermaga memancing tanpa umpan, yang mereka sebut mencigi. Ribuan ikan berenang di dermaga seperti di kolam kaca. Saking banyaknya ikan, orang tidak lagi perlu menunggu umpan digigit ikan, melainkan cukup menjerat salah satu dari tumpukan ribuan ikan yang berkeliaran itu dengan menarik kail secara mendadak.
Inilah modal
alam (natural capital) yang memberikan ketersediaan pangan bagi mereka.
Keberadaan modal alam ini tersedia berkat dukungan jasa ekosistem yang lain:
terumbu karang yang sehat, hutan bakau yang sehat sebagai tempat pemijahan,
aliran nutrisi laut yang tidak tercemar, dan suhu laut yang mendukung segala
jenis dan daur produksi yang ada di laut. Dengan alam yang kaya ini tidak
mungkin masyarakat di sana kelaparan dan kekurangan gizi.
Alam yang asli
dan terjaga dapat menjadi sebuah kapital yang terkadang lepas dari perhitungan.
Keanekaragaman hayati merupakan aset alami, termasuk di antaranya jasa
ekosistem seperti air tawar, tempat pemijahan ikan, penangkal gelombang, regulasi
iklim, suplai oksigen, dan pengganti fisik penanggulangan badai, obat-obatan,
zat pewarna, dan seterusnya. Ahli keanekaragaman hayati, E.O. Wilson,
mengatakan, bangunan alami mempunyai kelebihan yang sangat banyak dibanding
dengan bangunan fisik yang dibuat oleh manusia. Bangunan fisik tidak akan mampu
menandingi jasa alam yang bangunannya terdiri atas makhluk hidup (organik) yang
mempunyai banyak kelebihan dan harganya sangat murah. Tetapi bangunan fisik,
selain tidak mampu berbuat banyak, pembangunannya menelan biaya dan investasi
tidak sedikit.
Hutan bakau,
jika dipertahankan, dapat berfungsi untuk banyak hal: penyedia nutrisi,
pencegah abrasi, tempat pemijahan ikan dan udang, serta penyerap oksigen
sebagai regulasi iklim dan buah-buahnya dapat dibudidayakan sebagai pendapatan
alternatif masyarakat. Sebaliknya, jika hutan bakau diubah menjadi bangunan
fisik, keuntungan ekonomi hanya dapat dihitung sebagai kepentingan sesaat dan
hanya untuk fungsi bangunan itu saja. Penanggulangan abrasi di pantai utara
Jakarta menggunakan biaya ratusan miliar rupiah akibat hilangnya ekosistem
hutan bakau dan ekosistem bakau, yang mengakibatkan kestabilan tanah terganggu
dan intrusi terjadi, air tanah tidak bisa digunakan untuk mandi karena asin.
Hal ini juga mengakibatkan permukaan tanah beberapa kawasan di Jakarta turun
lebih rendah dari permukaan laut. Ujungnya, pemerintah lalu harus mengeluarkan
anggaran dengan melakukan adaptasi. Sama halnya dengan upaya membuat jalan
layang untuk menghindari intrusi dan rob masuk, melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Rawan Konflik
Fenomena
konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam menjadi marak akhir-akhir ini
disebabkan oleh dua hal: pertama, masyarakat yang telah lama dekat dengan
sumber daya alam, seperti masyarakat adat, merasa sangat kehilangan hak atas
sumber daya yang mereka miliki secara turun-temurun, terutama yang mereka
peroleh secara cuma-cuma dan disediakan oleh alam. Mereka pun telah merawat
alam atas kearifan turun-temurun untuk menghargai dengan tidak merusak alam. Konversi
lahan--seperti perubahan menjadi lahan perkebunan sawit, tambang, dan konsesi
kayu--memperparah keadaan dan rasa kehilangan hak tersebut.
Masyarakat yang
biasa subsisten menerima keberkahan alam dengan memungut hasil hutan dan
ketersediaan yang gratis dari alam sebagai sumber kehidupan mendadak merasa
kehilangan apa yang semestinya mereka dapatkan dengan mudah. Hipotesisnya
adalah, masyarakat pinggiran hutan, yang berbasis pembuka lahan dan perkebunan
serta pengumpul, tidak siap, tanpa ada perubahan gradual keterlibatan
pemberdayaan yang berarti dalam kehidupan mereka, untuk menerima perubahan
fungsi lahan.
Kedua,
masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi dan desentralisasi, tetap
merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam mereka sendiri. Hal tersebut
terjadi karena proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak
dilakukan secara partisipatif dari bawah. Ketika banyak sumber daya alam dan
habitat yang sifatnya vital, seperti penyedia air, keragaman plasma nutfah, pencarian
bahan makanan, dan kesuburan tanah, telah terenggut dari sisi masyarakat awam
yang masih hidup subsisten, dan telah tidak dapat lagi mereka peroleh di alam
karena fungsi lahan yang telah berubah maka mereka merebut, dengan segala
risiko, hidup atau mati, untuk mengambil kembali lahan mereka sebagai sumber
penghidupan.
Mengentaskan
Masyarakat Miskin
Target
pengentasan masyarakat dari kemiskinan dalam Millennium Development Goal’s
(MDGs) hanya menghitung tingkat nilai finansial standar kemiskinan yang setara
dengan perolehan tidak kurang dari US$ 1 per hari. Indikator ini semestinya
tidak menilai alam hanya secara fisik. Merujuk pada studi terbaru yang
dipublikasikan oleh Turner dkk (2012) dalam jurnal Bioscience yang
mengatakan bahwa natural capital sangat penting sebagai upaya kompensasi
pada masyarakat miskin dan upaya melindungi habitat yang bersifat vital yang
dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Laporan tersebut mencatat dua solusi
persoalan dunia yang dapat diatasi sekaligus: keanekaragaman hayati dan
kemiskinan.
Masyarakat di
pinggiran hutan yang subur, apalagi jika diperkenankan mengelola sendiri haknya
secara berkelanjutan, niscaya akan mampu terangkat dari kemiskinan dengan
pemberdayaan tanpa merusak alam. Kawasan hot spots keanekaragaman
hayati, menurut laporan tersebut, dapat bernilai lebih dari US$ 500 miliar per
tahun atau mampu menyediakan kebutuhan bagi 330 juta penduduk miskin dunia. Di
Indonesia, konversi lahan mengubah banyak habitat--yang berfungsi sebagai jasa
ekosistem--yang lalu tidak menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat
sekitarnya. Sebab, keuntungan hanya diperoleh para pemegang modal yang bersifat
kapitalistik untuk melanggengkan usahanya.
Kawasan yang
mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti Indonesia, sesungguhnya
menyediakan sumber-sumber modal alam yang dibutuhkan untuk kehidupan atau
mereka yang dianggap miskin. Maka, memberikan hak sekaligus melakukan
perlindungan pada kawasan-kawasan produktif sesungguhnya tidak hanya melindungi
keanekaragaman hayati, namun juga dapat dihitung sebagai upaya mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan, sebagaimana yang ditargetkan oleh MDG Perserikatan
Bangsa Bangsa. *
Sumber: KORAN TEMPO, 10 Februari 2012