Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan
Awal Februari ini PBB mengeluarkan himbauan, meminta dunia untuk ikut menyelamatkan orangutan di Indonesia. Program Lingkungan Hidup PBB(UNEP) meminta dunia internasional segera mengambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan orangutan yang terancam punah di hutan-hutan Indonesia, akibat tingginya tingkat pembalakan liar. Menurut UNEP, tanpa adanya campur tangan langsung di lapangan, orangutan dan margasatwa lainnya di hutan akan semakin langka hingga akhirnya dalam jangka panjang sudah tidak dapat ditemui lagi (Antara, 7/2)
Pemerintah Indonesia, memang telah berupaya keras menyelamatkan orangutan yang mereka miliki. Terbukti pada tanggal 25 November 2006 tahun lalu, Menteri Kehutanan disertai Ibu Negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono, ikut menyambut kedatangan 48 orangutan, yang tiba dari Thailand. Orangutan ini tentu saja telah menjalani test DNA untuk menentukan asal muasal mereka, dan kemana mereka harus dikembalikan. Thailand tidak mempunyai orangutan di hutan alaminya. Orangutan hanya dijumpai di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, jadi di negeri inilah sebenarnya ‘Republik Orangutan’ berada. Negara lain yang memiliki orangutan di habitat aslinya adalah Malaysia (yang hidup di negara bagian Sabah), Kalimantan Utara.
Kita jadi bertanya bagaimana Thailand mendapatkan orangutan? Ternyata ‘warga negara’ berbulu merah ini juga mengalami ‘trafficking’--seperti halnya banyak perempuan di Asia--diselundupkan melalui kapal-kapal pembawa kayu yang membawa ekspor kayu ke Thailand. Sebagian lagi memang hasil pekerjaan pedagang illegal yang sukses menyelundupkan makhluk mirip manusia ini, karena permintaan pasar yang tinggi di Thailand.
Walaupun ini peristiwa pulang kampung bagi orangutan dari Thailand, bukan pertama kali. Pengembalian orang bisa menarik banyak perhatian baik secara nasional bahkan internasional. Soalnya, kera merah berbadan besar dan hidung pesek ini, memang semakin hari semakin tergusur, karena kehidupan di alam mereka sangat tergantung dengan adanya hutan tropis yang asli dan habitat yang tidak terganggu, karena satwa ini merupakan pemakan buah-buahan dan biji-bijian hutan.
Secara morfologis, orangutan Sumatera (Pongo abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) hampir serupa. Namun demikian kedua jenis tersebut secara fisik dapat dibedakan berdasarkan warna rambutnya. Orangutan Kalimantan, bila dewasa rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan orangutan Sumatera, biasanya berwarna lebih muda. Ini bukan merupakan perbedaan hakiki, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai rambut putih pada raut wajahnya, namun orangutan Kalimantan belum pernah ditemukan.
Hidup Menyendiri
Prof. Birute Galdikas, yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1971 di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, telah lama berkesimpulan bahwa orangutan merupakan kerabat paling dekat dengan manusia secara evolusi. Birute menggambarkan --secara anekdot--bahwa orangutan merupakan “sepupu tiga” kali manusia.
Berbeda dengan dua kera besar lain—simpanze dan gorilla-- yang pada umumnya hidup berkelompok, orangutan tidak demikian. Jantan dewasa bersifat hidup menyendiri (soliter), betina dewasa tanpa pasangan atau kadang-kadang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat berdiri sendiri. Orangutan yang berusia muda hidup bebas, tetapi kadang-kadang ia hidup mengikuti induk yang melahirkannya.
Orangutan berjalan lamban menyeberang dari pohon ke pohon menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk mencari makan. Sifat seperti ini membawa banyak resiko bagi mereka. Sebab orangutan bergerak lamban, walaupun relatif tidak mempunyai musuh alami, tetapi manusialah yang menjadi ancaman bagi mereka. Selain interaksi antara jantan dan betina, kelangkaan hubungan ini membuat populasi orangutan semakin langka.
Menurut catatan terakhir, terdapat 45 – 69 ribu orangutan yang hutan-hutan Kalimantan dan tidak lebih dari 7.300 lainnya hidup di hutan Sumatera. Dalam laporannya berjudul The Last Stand of The Orangutan, UNEP (2007), menyatakan bahwa kepunahan orangutan dipicu oleh hilangnya habitat mereka yaitu hutan-hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan yang terus menerus dibabat. Diperkirakan pada tahun 2022, 98 persen luas hutan tersebut akan habis jika tidak ada tindakan segera.
Petani Biji-Bijian
Mengapa orangutan perlu dilestarikan? Penelitian jangka panjang (long term research) Birute Galdikas di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) telah membuahkan banyak temuan ilmiah yang belum diungkap sebelumnya. Menurut peneliti tersebut, orangutan di Kalimantan memakan kira-kira 200 spesies buah-buahan yang berbeda dan menjadi perantara penting bagi penyebaran –biji tumbuhan hutan--, kira-kira 70 persen jenis yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan manusia. Birute menyimpulkan bahwa orangutan merupakan pemakan primate pemakan jenis buah-buahan yang paling besar di dunia.
Jadi penelitian ini telah mengungkap tentang peran penting keberadaan orangutan yang membantu kestabilan ekosistem hutan tropis. Orangutan, dengan kata lain, ibarat petani biji-bijian—yang tentu membantu penyebaran tumbuhan di hutan. Jadi tanpa orangutan, keadaan hutan mungkin akan jauh berbeda, dan mungkin pula akan jauh lebih sedikit buah-buahan yang ada.
Dari bermacam-macam jenis buah-buahan yang ada di hutan tropis hampir semuanya mempunyai nilai ekonomi penting. Misalnya getah merah (Palaqium gutta) yang merupakan sumber karet alam yang mahal. Beberapa tahun lalu karet ini banyak dikumpulkan untuk diekspor. Selain itu ada jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat disadap untuk diambil leteksnya yang putih dan manis dan dipakai sebagai bahan pembuatan permen karet. Kemudian ada ramin (Gonystilus bancanus), merupakan tanaman hutan bergambut yang sangat besar nilainya dalam perdagangan untuk bahan meubel danbahan bangunan. Menurut catatan terakhir seorang mahasiswa yang meneliti orangutan Kalimantan masih ada 36 jenis tanaman lagi yang bijinya disebarkan baik melalui kotorannya ataupun secara langsung.
Maka, musnahnya orangutan mungkin dapat dirasakan beberapa abad kemudian, setelah hilang jenis-jenis tumbuhan yang bijinya disebarkan oleh orangutan. Memang agak terasa ‘naif’ bila ketika melihat upaya para konservasionis mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yang terkadang menghabiskan uang ratusan ribu dollar AS. Namun sesungguhnya bila kita lihat, peran orangutan sebagai penyebar biji, tidak bisa digantikan oleh manusia. Siapa yang sanggup mengembara berpuluh tahun untuk menyebar biji-biji tua dan memanjat pohon lalu tidur diatasnya? Program gerakan Indonesia menanam dan rehabilitasi lahan, tidak akan mampu menggantikan peran penting seekor orang utan yang mempunyai dedikasi –secara alami--menyebar biji-bijian. Pekerjaan tersebut tidak pula dapat digantikan oleh petugas kehutanan yang bekerja di lapangan. Dan kita dapat meramalkan apa akibatnya hutan hujan tropis yang menjadi habitat orangutan, apabila satwa penyebar biji-bijian telah mengalami kepunahan. Lambat laun punah pula tumbuhan yang mempunyai peran penting bagi manusia.***
No comments:
Post a Comment