Saturday, December 12, 2009

Perubahan Iklim, Menuju Kopenhagen

OLEH: FACHRUDDIN M MANGUNJAYA

Perubahan iklim men­jadi momok ter­ha­dap kelangsu­ngan peradaban ma­­nu­sia di bumi.

Meng­ha­dapi hal itu, bulan-bu­lan ini, se­mua ancang-an­cang dan me­lakukan dialog dalam rangka merespons ancaman perubahan iklim dan me­nuju arena nego­siasi di Kopenhagen, awal De­sember 2009.

Perubahan iklim sudah men­jadi fakta dan ancaman. Buk­­ti terakhir adalah badai Per­­ma di Filipina yang mene­was­kan lebih dari 600 orang dan setengah juta orang kehila­ngan tempat tinggal akibat ban­jir dan tanah longsor yang me­rusak tempat rumah mereka (Koran Tempo, 12/10). Sebe­lum­nya, banjir bandang—bencana akibat curah hujan tinggi, yang merupakan dampak pe­rubahan iklim—terjadi di Man­dailing Natal, Sumatera Utara sehingga menelan korban 12 orang tewas, 25 hilang dan 4.300 orang mengungsi.

Ancaman lain masih mung­kin terjadi. Laporan Asian De­ve­lopment Bank, ADB (2009) bertajuk “Economic of Climate Change in South East Asia”, menganalisis hal yang paling buruk bakal terjadi, bila skena­rio emisi tahunan global masih tidak berubah. Mengutip data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), laporan itu berkesimpulan tempe­ratur rata-rata di negara Asia Tenggara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—dipro­yek­sikan akan mencapai 4,8 derajat Celsius pada 2100 dari level tahun 1990, dan rata-rata permukaan laut akan mencapai 70 cm pada periode yang sama di kawasan ini. Belum lagi ancaman akan kekeringan dalam dua hingga tiga dekade yang akan datang.

ADB mengatakan, kawasan Asia Tenggara akan lebih ba­nyak menderita akibat perubahan iklim global. Dalam arti, jika “business-as-usual” masih berlaku maka dampak bukan pasar dan risiko bencana akan menggerus setara dengan 6,7% produk domestik bruto (PDB) bangsa ini setiap tahun pada tahun 2100. Angka ini setara dengan dua kali lipat rata-rata kerugian global.
Beberapa kali pertemuan se­belum Kopenhagen telah diadakan pertemuan oleh se­mua negara untuk merumus­kan kesepakatan yang akan diambil di arena bersejarah tentang perubahan iklim, tanggal 28 September - 9 Oktober di Bangkok, dan pertemuan mendatang 2-6 No­vem­ber di Bar­celona. Pertemuan ini merupakan negosiasi dan persiapan untuk menghadapi COP 15 Kopenhagen.

Pertemuan Bangkok, misalnya, merumuskan diskusi dan kesepakatan sebagai patokan, para pemimpin dunia untuk setuju pada standar emisi yang lebih ketat—atau lebih di­ka­takan ambisius—terutama target pembatasan emisi yang harus dikeluarkan di negara-ne­gara industri dan standar na­sional oleh masing-masing ne­gara di negara berkembang da-lam menurunkan angka emisi mereka.

Patokan diskusi Bangkok, da­lam upaya pengurangan emi­si (mitigasi) ini adalah ber­dasarkan temuan IPCC bahwa penurunan yang harus dila­kukan oleh negara industri bisa mencapai target minus 25% hingga 40% di bawah level emisi 1990 dan harus dipenuhi pada tahun 2020. Dengan de­mikian, target berikutnya emisi global harus menurun setidaknya 50% pada 2050, untuk mencegah keburukan yang berlanjut akibat dampak pe­ru­bahan iklim. Indonesia se­cara berani, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan pada pertemuan G20 dua pekan lalu, akan ber­kontribusi menurunkan emisi hingga 26% pada 2020.

Hal penting lain dari pertemuan Bangkok adalah identifikasi untuk mengarahkan ke­sepakatan kepala negara dan pemerintah tentang sumber pen­danaan dan sumber daya tek­nologi, dengan mekanisme me­nempatkan dana yang diha­silkan secara otomatis dari wak­tu ke waktu. Akhirnya, me­reka sepakat bahwa perundi­ngan Kopenhagen perlu menciptakan struktur pemerintahan yang adil untuk mengelola da­na adaptasi dan mitigasi yang membahas kebutuhan ne­gara-negara berkembang.

Penyadaran Perubahan Iklim
COP Kopenhagen menjadi ajang penting dan bersejarah, ka­rena arena ini diharapkan membuahkan kesepakatan da­lam menahan laju emisi gas-gas rumah kaca dalam jangka sepuluh atau 20 tahun mendatang. Desakan-desakan publik dan kampanye penyadaran terus dilakukan untuk mendorong para pengambil keputusan mengambil tindakan signifikan guna memangkas (me­ngurangi) emisi gas-gas rumah kaca yang mengancam bumi dan memberikan sarana untuk beradaptasi pada perubahan iklim. Al Gore melalui The Cli­mate Project-nya terus ber­kampanye tentang pentingnya semua orang peduli terhadap perubahan iklim dan berupaya mengubah segala jenis kebijakan menjadi pro lingkungan dengan memanfaatkan energi terbarukan sehingga ancaman gas-gas rumah kaca dapat di­kurangi dan planet bumi dapat kita wariskan untuk anak-cucu kita dengan keadaan yang lebih baik. Gore telah melatih langsung 3.000 relawan di seluruh du­nia—termasuk 54 berada di Indonesia—yang akan berkampanye memberikan penyadaran – presentasi secara gratis — tentang perubahan iklim ke berbagai lembaga dari elite po­litik hingga masyarakat awam.

Adapun Bill Mac Kibben, penulis buku The End of Nature, menetapkan target 350 ppm CO2 dengan kampanye www.350.org untuk mengejar batas paling aman—menurut para ilmuwan—konsentrasi yang bisa ditoleransi agar bumi tetap dalam keseimbangan. Se­karang ini, kondisi kita sudah mengkhawatirkan karena su­dah di atas zona aman yaitu 386 ppm.
Setidaknya secepatnya kita kembali pada zona aman segera pada 350 ppm pa­da abad ini, maka mungkin kita melewati batas bahaya (tipping points), kondisi di mana keadaan tidak dapat dikembalikan, ketika selimut di Green­land mencair dan gas metana dilepaskan dari gundukan raksasa es yang meleleh.

Penulis adalah The Climate Project Fellow dan Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor.

SINAR HARAPAN,Sabtu, 28 November 2009 11:46

No comments: