Tuesday, December 29, 2009

Agama dan Perubahan Iklim

Sabtu, 26 Desember 2009 | 02:54 WIB KOMPAS

Fachruddin Mangunjaya

Sudah banyak tokoh agama di seluruh dunia kini bergiat untuk terjun ke lapangan dan ikut melestarikan lingkungan, termasuk memberikan dukungan sekaligus tekanan kepada pengambil keputusan dalam mengambil sikap dalam aksi menanggulangi perubahan iklim. Di Kopenhagen, Denmark, tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama, juga datang ke arena konferensi, bergabung dengan tokoh agama-agama yang lain untuk mengikuti Pertemuan Para Pihak Ke-15 Konferensi Perubahan Iklim PBB tersebut.

Utuk Melengkapi Ilustrasi, Film ini mungkin bisa membantu:



Mengapa agama menjadi penting dalam percaturan perubahan iklim? Ternyata sains dan perundang-undangan tidak cukup untuk mencegah berlanjutnya kerusakan. Sains memang diperlukan sebagai sebuah landasan dan justifikasi ilmiah tentang interaksi sebab dan akibat, undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah. Adapun agama adalah soal keyakinan yang sangat membantu seseorang menemukan jati diri, berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas dasar spiritualitas yang dianutnya.

Sains diusung akademia, pelaku riset, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sedangkan pemerintah dan rakyat (melalui lembaga legislasi) membuat peraturan dan perundang-undangan. Namun, semuanya itu ternyata tidak cukup, manusia memerlukan etika yang landasannya merujuk kepada agama. Kita juga melihat, agamalah yang mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradisi yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan.

Manusia di Bumi harus berterima kasih karena etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif mempertahankan eksistensi manusia di Bumi dengan adanya larangan untuk saling membunuh antarsesama manusia (homicide), membunuh diri sendiri (suicide), atau pembunuhan suku atau bangsa lain (genocide). Namun, lebih dari itu, peradaban modern manusia pada abad ini menghendaki pula rumusan agama yang mendapatkan tantangan baru berupa: pembunuhan makhluk hidup (biocide) dan penghancuran lingkungan dan ekologi (ecocide) oleh tangan manusia.

Melibatkan agama dalam mengurus lingkungan merupakan harapan besar bagi para aktivis lingkungan karena para pemimpin agama dapat memberikan arahan menggerakkan pengikutnya karena agama memiliki modal yang tidak dimiliki oleh lembaga dan institusi biasa.

Lebih dari itu, konstituen pemeluk agama adalah nyata. Di Indonesia seluruh penduduk memeluk enam agama: Islam, Kristiani (Katolik dan Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu, dengan total pemeluk 240 juta. Di Asia saja ada 3 miliar manusia memeluk tiga mayoritas agama: Hindu dan Buddha di India, Konghucu di China, serta Islam di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Sebanyak 85% dari 6,79 miliar penduduk dunia ialah penganut berbagai agama dan aliran kepercayaan: 2,1 miliar pemeluk Kristen, 1,34 miliar pemeluk Islam, lebih dari 950 juta pemeluk Hindu, 50 juta-70 juta penganut Daoisme, 24 juta penganut Sikh, 13 juta pemeluk Yahudi (Atlas of Religion, Earthscan, 2007).

Dalam konteks perubahan iklim, mereka boleh jadi mempunyai peran penting karena kaum agamawan memiliki 7%-8% lahan bagi habitat di dunia, memiliki jaringan media, penyedia terbesar lembaga kesehatan dan pendidikan, serta mengendalikan lebih dari 7% investasi keuangan internasional. Dengan alasan-alasan inilah, para pemuka agama dinilai akan lebih berpengaruh besar, terutama apabila jaringan mereka dapat diikutsertakan dalam membangun kesadaran lingkungan.

Memiliki lima landasan

Perubahan iklim memerlukan kesadaran semua pihak dan dapat melibatkan mobilisasi massa yang sadar lingkungan lebih besar pula. Penganut agama mempunyai kekuatan itu. Agama mempunyai kekuatan karena memiliki modal kuat yang penting untuk terlibat di dalam gerakan penyelamatan lingkungan.

Pertama, agama mempunyai referensi, yaitu modal berupa rujukan akan keyakinan yang diperoleh dari kitab-kitab suci yang mereka miliki. Kitab suci dan ajaran agama memiliki wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan.

Kedua, agama terbukti mempunyai modal untuk saling menghormati atau mampu memberikan penghargaan terhadap segala jenis kehidupan.

Ketiga, agama—selaras dengan gaya hidup yang ramah lingkungan—menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak boros serta mampu mengontrol pemanfaatan sesuatu agar tidak mubazir.

Keempat, agama menganjurkan kita untuk selalu berbagi kemampuan untuk membagikan kebahagiaan, baik dalam bentuk harta, amal, maupun aksi sosial lannya. Kelima, agama menganjurkan kita untuk bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.

Munculnya modernisasi menjadikan orang lupa bahwa agama mempunyai tradisi ”unggulan” yang sangat jarang dipelajari dalam kearifan lingkungan.

Kembali, kita menoleh kepada agama, justru dengan sebuah perasaan tidak cukup hanya dengan sains, teknologi, dan kebijakan. Di Indonesia, tahun 2002, telah digagas pertemuan pertama kali menggalang kesadaran agama dan lingkungan yang kemudian menghasilkan ”Piagam Kebun Raya” atau ”Kebun Raya Charter”.

Piagam ini, antara lain, berharap agar para pemeluk agama melakukan aktualisasi terhadap ajaran positif agama atau kearifan budaya yang sudah dimiliki agama.

November lalu, di London dalam acara The Windsor Celebration yang dihadiri Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, seluruh pemeluk agama-agama dunia mendeklarasikan inisiatif mereka dengan membuat rencana aksi agama dan perubahan iklim. Semoga saja, aksi agama dan perubahan iklim ini membawa perubahan yang bermakna.

FACHRUDDIN MANGUNJAYA -Fellow The Climate Project Indonesia - Staf Conservation International Indonesia untuk Conservation & Religion Initiative



No comments: