Sunday, July 6, 2008

Menyikapi Krisis Energi

Oleh

Fachruddin M. Mangunjaya

Krisis energi dan naiknya bahan bakar minyak (BBM), yang ketiga kalinya dalam kurun waktu satu periode pemerintahan, menjadi pelajaran penting untuk kita semua. Kenaikan harga BBM adalah dampak langsung dari semakin sulitnya kita menemukan sumber daya alam—dalam hal ini energi minyak—yang semakin lama ternyata kian menipis.

Realitas ini terbukti untuk Indonesia, yang telah empat puluh tahun menjadi eksportir minyak, kemudian menjadi net importir, karena produksi minyak Indonesia dibawah 1 juta barrel per hari. Saat ini, produksi minyak Indonesia menurun dari 1.1 juta barrel dan diperkirakan menjadi 995 ribu barrel tahun 2007 dan diperkirakan menjadi 971 ribu barrel tahun 2009. Kepahitan ini, menjadi terbukti ketika pemerintah menyatakan sikapnya keluar dari Organisasi Negara Negera Pengeksor Minyak (OPEC).

Ketika terjadi penipisan sumber daya sementara kebutuhan tetap tinggi, maka kelangkaan akan terjadi sehingga hukum ekonomi tentang pasokan (suplay) dan permintaan (demand) berlaku dalam skala ini.

Secara global, selain sumber daya (minyak) yang semakin menipis, pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk bumi yang semakin pesat juga akan memicu krisis energi dunia. Sebab, fakta yang berlaku, ketika pertumbuhan ekonomi maju, maka hal ini akan segera merubah perilaku manusia dalam peningkatan konsumsi energi dan gaya hidup. Setelah puluhan tahun bekerja, misalnya, semua orang cenderung ingin hidup lebih nyaman: mereka membeli mobil, kendaraan bermotor, memasak menggunakan minyak tanah dan gas, menggunakan AC (pendingin) atau pemanas udara (untuk kawasan temperate) yang semuanya menggunakan energi yang nota bene tidak terperbarukan –karena berbasis fossil--seperti bahan bakar minyak mentah. Efek negatif dari energi ini—seperti kita semua tahu—akan menghasilkan pencemaran lingkungan berupa emisi karbon dioksida (CO2), yang memicu perubahan iklim dan pemanasan global.
Sementara di peringkat pertama, konsumsi energi tertinggi berada di negara adidaya Amerika Serikat (AS), namun dengan laju percepatan ekonomi, semua negara dan bangsa menuju pada gaya hidup yang cenderung sama.

Di Asia: Cina, misalnya, dengan pertumbuhan ekonomi pesat dan populasi yang besar, akan menggantikan AS dalam menyedot konsumsi sumberdaya dasar semisal minyak. Brown (2007) meramalkan pada tahun 2030, penduduk negeri tirai bambu ini akan berjumlah 1.46 milyar. Jika setiap tiga dari empat orang memiliki mobil, maka di Cina saja, akan terdapat 1.1 juta mobil. Dan jumlah tersebut akan menyedot pemakaian 98 juta barrel minyak per hari, seribu kali lipat dari jumlah produksi minyak harian Indonesia sekarang ini.

Artinya, produksi seribu hari (3 tahun) produksi minyak Indonesia, hanya dihabiskan dalam satu hari oleh masyarakat di Cina!

Di Indonesia, trend pemakaian mobil tidak berkurang. Ketika harga minyak naik, masyarakat kelas menengah berlomba-lomba membeli mobil, karena khawatir minyak yang naik, harga mobil pun akan melonjak. Jadi, perilaku manusia modern yang cenderung dengan kenyamanan dan gaya hidup ‘lebih baik’ dengan menggunakan kendaraan bermotor, semakin melaju pesat. Peningkatan ekonomi, berdampak pada kemampuan daya beli dan trend konsumen modern adalah: mengikuti jejak negara-negara maju dan semakin gandrung menggunakan energi. Sementara perilaku yang tidak berubah ini, akan terus menjebak kita semua pada persoalan krisis energi dan lingkungan yang berkelanjutan.

Minimalkan Jejak Karbon (JK)
Jadi, krisis energi dan lingkungan adalah dua sisi dari satu mata uang. Di lain pihak, perubahan perilaku (behavioral change) tercermin dari gaya hidup: bahwa setiap individu manusia di muka bumi ikut berkontribusi mencemari bumi dan membuat penipisan atas sumber daya alam.
Salah satu tolok ukur yang dapat memberikan penyadaran pada kita (secara individu), keluarga maupau maupun kolektif adalah mengukur jekak karbon (JK). Kita bisa pula menghitung JK dengan mengkalkulasi perjalanan sebuah produk mulai dari pabrik yang mengolahnya dengan energi (mengeluarkan emisi karbon) sehingga produk tersebut sampai di etalase pasar.

JK biasanya dihitung dalam jumlah ton karbon atau ton karbon dioksida yang dikeluarkan dalam satu tahun. Banyak versi dalam cara menghitung jejak karbon ini. Yang jelas cara ini akan memberikan gambaran berapa sesungguhnya jumlah sumber daya alam yang langsung digunakan, mengkonversikannya dengan emisi karbon yang terlepas dan dengan demikian diharapkan manusia bisa membatasi diri untuk tidak berperilaku boros dan konsumtif.

Seseorang yang hidup dan tergantung dengan mesin, seperti menggunakan mobil, kendaraan bermotor, AC, membangun rumah yang lebih besar dan mewah, tentu akan berkontribusi terhadap emisi karbon yang lebih besar. Sebaliknya, perilaku sederhana, tidak boros dan konsumtif serta hemat energi: tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar fossil, akan meminimalkan emisi dan pencemaran terhadap lingkungan, sekaligus menghemat sumber daya.
Standar yang digunakan untuk pengukuran karbon dilakukan untuk mengukur gaya hidup dan konsumsi langsung individual terhadap barang dan jasa. Misalnya ada organisasi lingkungan yang menghitung dengan empat stándar: 1) energi, 2) perjalanan dengan menggunakan motor/mobil, 3) perjalanan dengan menggunakan pesawat, dan 4) pola konsumsi (diet). Perhitungan dimulai dengan berapa keluarga yang ada di rumah anda, lalu apakah anda tinggal bersama keluarga atau hanya merupakan keluarga inti, lalu berapa jumlah kamar tidur di rumah atau apartemen anda tinggal. Pengukuran juga dilakukan untuk menghitung pengeluaran karbon yang anda gunakan dalam setahun yang dinilai dari jumlah frekwensi anda bepergian baik dengan kendaraan bermotor maupun naik pesawat udara.

Mereka yang hanya memakan sayur-sayuran (vegetarian) dipastikan mempunyai emisi karbon lebih rendah dari pemakan segala (omnivora), sebab dengan hanya mengkonsumsi sayur dan buah mempunyai nilai buang karbon lebih rendah dibandingkan bila seseorang memakan segala karena diperlukan akomodasi dan buangan karbon yang lebih besar untuk mencukupi gaya hidup seseorang dengan pola pemakan segalanya.

JK juga dapat mendorong konsumen suatu produk ke arah kesadaran pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ramah lingkungan. Dengan melihat JK yang tertera pada bungkus kemasan, maka konsumen dapat berperan dalam menentukan pilihan. Oleh sebab itu, trend yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya pula inisiatif label karbon – seperti halnya green label untuk pertanian organik--dimana sebuah produk memaparkan tentang riwayat penghitungan berapa karbon yang pakai selama proses yang dalam pembuatan produk, penggunaan transportasi hingga kemudian barang tersebut berada di rak sebuah super market. ***
Sumber: Koran Tempo 28 Juni 2008