Sunday, December 7, 2008

Obama dan Gubernur Peduli Perubahan Iklim

Fachruddin M. Mangunjaya, pencinta lingkungan*

Agaknya, pertemuan para gubernur yang peduli terhadap perubahan iklim, yang diadakan di Beverly Hills, California, 18-19 November 2008, memberi harapan akan percepatan tindakan dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Alasannya, perubahan iklim adalah suatu fakta traumatis yang menunggu sikap proaktif dan "political will" para pengambil kebijakan untuk segera bertindak.

Ilmuwan sudah memberikan fakta-fakta yang jelas tentang air laut yang sudah mulai meninggi, garis-garis pantai yang sudah mulai tenggelam, pergeseran musim yang menambah tingginya curah hujan secara ekstrem, termasuk juga catatan akan panas atau kekeringan yang lebih panjang dibanding sebelumnya. Kita juga menyaksikan beberapa kali badai yang lebih kuat menghantam beberapa negara yang kemudian menimbulkan korban tidak sedikit.

Salah satu kesepakatan penting dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang disebut “Pertemuan Gubernur Menghadapi Iklim Global” tersebut adalah kesepakatan untuk aksi pencegahan perusakan hutan dan di negara-negara bagian atau provinsi yang kaya akan hutan. Pertemuan tersebut membuahkan perjanjian kesepahaman (MOU) yang ditandatangani oleh Gubernur California Arnold Schwarzenegger dengan para gubernur dari Amazon, Pará, Mato Grosso, negara-negara Amapá dari Brasil, serta Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam dari Indonesia. >>>>Lanjut

(Dikutip dari KORAN TEMPO 5 Desember 2008)Video Obama dan Komentar Arnold Schwarzenegger dihadapan para Gubernur yang berkonferensi untuk perubahan iklim di Beverly Hills, California, 18-19 November 2008:

Sunday, November 2, 2008

Etika Islam Terhadap Lingkungan

Fachruddin M. Mangunjaya

· Pencinta lingkungan

Dalam Oktober ini, penulis dua kali diundang mengikuti pertemuan dengan topik peran dunia muslim terhadap lingkungan. Pertama, pertengahan Oktober, di Oxford Centre for Islamic Studies, yang membahas isu Islam dan lingkungan secara keseluruhan, dan kedua di Kuwait, membahas Islam dan Perubahan Iklim (Islam and Climate Change ) yang diadakan pada akhir Oktober.

Dalam kancah global yang tidak mempunyai sekat ini, kondisi planet bumi yang hanya satu ini mengundang keprihatinan semua pihak. Kekhawatiran akan melajunya gejala perubahan iklim yang lebih cepat dari prakiraan para ilmuwan, mandegnya perundingan dan gagalnya praktek-praktek penyelamatan lingkungan konvensional dalam upaya menghambat laju kerusakan lingkungan dan mencegah bencana, merupakan alasan yang kuat bahwa manusia tidak lagi mampu mendekati alam dengan cara-cara dan perlakuan yang serba mekanistis, tetapi juga harus diikuti dengan unsur yang spiritualistis.

Pasar global membuktikan dengan runtuhnya harga saham baru-baru ini dan tentu saja peristiwa tersebut membuktikan bahwa kapitalisme yang serakah dan kekayaan yang diperoleh oleh para pialang selama ini adalah sesuatu yang semu. Padahal, dampak dari keserakahan kapitalistis sangat besar dirasakan oleh lingkungan, terutama dengan melajunya investasi dan pengurasan sumber daya alam yang tidak lagi mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Lagi pula, mekanisme pasar semacam ini telah membuat kondisi lingkungan bertambah parah, bahkan menjadikan semua bangsa tertekan dan terjerumus ke lembah kenistaan ekonomi. Karena itu, di lain pihak, sesungguhnya resesi semacam ini merupakan penyegaran dan penyadaran bagi alam dan lingkungan yang laju pengurasannya akan bertambah lamban dari keadaan sebelumnya.

Kesadaran semacam ini sesungguhnya mulai dilihat dan dipertimbangkan sehingga pandangan dunia (world view) terhadap lingkungan akan beralih ke pandangan agama yang sesungguhnya menjadi fitrah manusia. Islam adalah agama 1.8 miliar penduduk bumi. Lagi pula, dalam dunia kontemporer ini, negara-negara muslim memiliki sumber daya alam yang melimpah, dari mulai sumber energi seperti minyak di negara-negara Arab di Timur Tengah hingga kekayaan alam hutan tropis dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi di Indonesia dan negara-negara di Asia Selatan.

Kekayaan yang melimpah secara finansial yang dimiliki oleh muslim di Timur Tengah ternyata tidak mendatangkan dampak yang signifikan pada muslim di belahan bumi yang lain. Sesuatu yang amat disayangkan bahwa sesungguhnya sesama mukmin adalah bersaudara seperti dinyatakan dalam Al-Quran (QS 49:10) ternyata tidak diimplementasikan secara baik di dunia muslim.

Kondisi lingkungan di dunia muslim malah sangat parah disebabkan kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan pun masih sangat rendah, sehingga dalam hal manajemen lingkungan, negara kaya minyak seperti di Timur Tengah: dalam persoalan lingkungan masih dianggap sebagaimana negara berkembang dan terbelakang (Foltz 2005).

Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya pemahaman akan nilai-nilai Islam secara praktis dalam soal perawatan lingkungan, sehingga tidak mengherankan, di dunia muslim kita menjumpai banyak sungai menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Atau, masyarakat masih menganggap bumi ini merupakan tempat yang bisa diperlakukan sekehendak hati mereka, tanpa mempedulikan masa depan dan tanggung jawab mereka sebagai khalifah.
Jelas, perilaku semacam ini sangat bertentangan dengan semangat Islam sesungguhnya yang menyuruh berbuat kebaikan dan tidak membuat kerusakan (QS 7:35;56), menghormati segala makhluk di bumi karena mereka juga umat seperti halnya manusia (QS 6:38) dan sebagai khalifah manusia telah sanggup menerima amanah, sedangkan makhluk yang lain seperti langit, bumi, dan gunung-gunung enggan menerimanya (QS 33:72).

Fenomena kerusakan lingkungan selama ini disinyalir karena selama ini muslim tidak mempedulikan ajaran lingkungan yang mereka miliki dan mematuhi ajaran universal tersebut sebagaimana tercantum dalam kitab suci dan sunah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, penggalian secara komprehensif ajaran dan etika Islam tentang lingkungan mutlak diperlukan, lalu diajarkan dan dipraktekkan sebagai nilai-nilai universal sebagaimana halnya implementasi ubudiyah yang lain, termasuk dalam hal transaksi ekonomi dan teknologi yang mempengaruhi terhadap kerusakan lingkungan.

Tidak kalah pentingnya di muka bumi ini, dunia muslim telah dikaruniai kesempatan yang besar. Pertama dari segi kekayaan alam yang melimpah, sehingga sumber daya minyak bisa memakmurkan negara muslim yang lain, jika keadilan sesama muslim dan ajarannya ditegakkan. Kedua, dunia muslim memiliki kekayaan sumber daya hayati yang terbesar (mega diversity) seperti di Indonesia. Ketiga, dunia muslim mempunyai potensi ajaran yang unik dan universal untuk kemanusiaan. Saatnya dunia muslim bangkit dengan ajaran lingkungannya yang universal pula untuk menyelamatkan planet bumi ini.*

Dikutip dari KORAN TEMPO 28 Oktober 2008

Baca Cerita Perjalanan Ke Oxford:

Islam and Environment, Ditchley Park Symposium
Orang Udik di Oxford


Thursday, October 23, 2008

Kuasa Politik Terhadap Alam

Fachruddin M. Mangunjaya

Penulis, tinggal di Jakarta

Skandal pengalihan fungsi lahan terhadap hutan lindung yang terjadi antara pejabat daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI menjadi keprihatinan yang memilukan hati. Skandal ini memperjelas rumor yang beredar--dan tampaknya menjadi rahasia publik--bahwa hutan alam Indonesia menjadi "bancakan emas" dan "mesin ATM" pejabat pemerintah serta partai-partai politik untuk mengumpulkan uang dengan mengorbankan alam sekitarnya.

Masih segar di ingatan kita tentang alam yang dikalahkan oleh kekuatan politik dengan pemberian hak penambangan pada investor di hutan lindung dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 yang akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004. Kemenangan lobi investasi ini menegaskan pada visi politik dan komitmen lingkungan yang lemah dari partai yang berkuasa saat itu. Meskipun para ahli kehutanan telah mengingatkan bahwa fungsi hutan lindung mempunyai fungsi ekologis yang tidak tergantikan, tetap saja pada akhirnya investasi yang dimenangkan.

Pertimbangan sebuah kawasan diberi status sebagai hutan lindung adalah ia mempunyai keistimewaan dari segi ekologis. Karena itulah kawasan hutan lindung diberi hak istimewa dalam perannya melindungi ekosistem. Kini, mengingat tidak banyak lagi hutan alam Indonesia yang tersisa, mengambil hutan lindung dan mengkonversi lahan tersebut untuk kepentingan ekonomi dapat dicap sebuah bentuk kezaliman penguasa terhadap penduduknya.
Betapa tidak, hutan lindung dan daerah konservasi mempunyai peran vital yang tidak tergantikan. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Maka, jelas, ketetapan yang dibuat untuk menjadikan suatu kawasan sebagai hutan lindung memang karena keistimewaan vital bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut yang notabene adalah konstituen partai dan pemilih wakil rakyat.

Departemen Kehutanan (2007), menurut catatan terakhirnya pada 2003, telah menetapkan 22,10 juta hektare hutan lindung (25,7 persen) dan 14,37 juta ha hutan konservasi (16,7 persen) dari total 85,96 juta ha kawasan yang masih berhutan di Indonesia. Secara keseluruhan--dengan memasukkan kawasan hutan dan kawasan lain--Departemen Kehutanan mencatat total kawasan lahan dan hutan di Indonesia (2003) adalah 93,92 juta hektare, yang terdiri atas 44,77 juta ha (47,7 persen) hutan primer dan 45,15 juta ha (48,1 persen) hutan sekunder. Jumlah ini jauh berkurang secara drastis dibandingkan dengan jumlah pada tahun 50-an, yang mencapai 152 juta ha, kemudian turun drastis menjadi 119 juta ha pada 1985. Dalam kurun 35 tahun luas hutan berkurang 33 juta ha, yaitu setara dengan 2,4 kali luas Pulau Jawa dan Bali.

Semangat pembukaan lahan hutan alam--apalagi hutan lindung--dengan kondisi bumi yang kian tidak seimbang mengakibatkan bangsa ini terus dirundung bencana lingkungan: tanah longsor, banjir, dan kekeringan bukanlah merupakan cara terpuji dan populer. Apa pun alasannya, di tengah kancah globalisasi dan pengetahuan tentang keterkaitan alamiah ekosistem di bumi tentang keseimbangan, pembukaan lahan--apalagi dengan menggusur paksa hutan lindung--menjadi hal yang kontraproduktif.

Tentu saja kita menyadari dilema yang dihadapi pemerintah daerah dalam membangun dan menyejahterakan penduduk di daerah mereka, di mana sumber-sumber alam dan kekayaan bumi menjadi tumpuan untuk pembangunan baik sebagai pendapatan daerah maupun sebagai income dengan niat menyejahterakan penduduk setempat. Tapi tumpuan pembangunan yang mengorbankan kawasan-kawasan lindung, yang sudah “diplot” akan menjadi cadangan masa depan--dan mempunyai risiko apabila diganggu--di kemudian hari, tentu bukanlah kebijakan yang tepat.

Keprihatinan tentang hilangnya hutan alam secara tidak terasa menjadi ancaman langsung percepatan pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini karena banyaknya kehilangan hutan, termasuk di kawasan hutan lindung. Hutan telah gagal dipelihara, dan “menghilang” tanpa dapat dikembalikan keadaannya, kemudian menjelma menjadi lahan-lahan kritis. Percepatan pembangunan perlu dilakukan di kawasan-kawasan tertentu, tapi mestinya mempertimbangkan semangat kesejahteraan jangka panjang. Keutuhan ekosistem, terutama sumber daya air, kelak akan menjadi kebutuhan yang mahal karena alam selama ini menyediakan sumber-sumber tersebut secara gratis.

Skandal perilaku politikus yang melakukan “gratifikasi”, selain melanggar etika dan mengkhianati janji politik mereka terhadap konstituennya, dapat dikatakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap janji partai politik yang berkomitmen terhadap misi-misi lingkungan hidup. Menjelang Pemilu 2004, Indonesia Forest Media Campaign (INFORM), yang merupakan wahana kampanye enam organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam penyelamatan lingkungan hidup dan konservasi alam, pernah mengadakan penjajakan dengan merujuk pada platform program kerja parpol peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kerangka kerja dan peduli terhadap lingkungan.

Menurut INFORM, saat itu (2004) hanya ada 10 partai politik yang mempunyai kebijakan kerangka kerja lingkungan dalam platform mereka. Sepuluh partai tersebut adalah PKS, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Partai Golkar, PAN, PNBK, PPP, PKB, PBB, Partai Demokrat, dan Partai Patriot Pancasila. Dari jumlah ini, artinya kurang dari separuh (42 persen) atau hanya sepuluh dari 24 parpol yang diundi sebagai peserta pemilu saat itu dianggap peduli terhadap lingkungan, setidaknya hal ini tertulis dalam platform dan agenda mereka.
Setelah mengamati fenomena keterlibatan kader-kader partai atau “oknum” yang terlibat dalam skandal gratifikasi, setidaknya ada dua pelajaran penting yang perlu diambil untuk partai yang ingin mengusung isu lingkungan dalam Pemilu 2009. Pertama, diharapkan partai mempunyai calon atau kader partai dengan komitmen kuat terhadap lingkungan dan mempunyai pengetahuan yang mumpuni terhadap kebutuhan konstituennya di daerah yang mengharapkan kondisi lingkungan yang semakin baik dan tidak mengancam kehidupan mereka serta anak-cucu mereka di masa yang akan datang.

Kedua, platform dan misi-visi partai saja ternyata bukan jaminan untuk mengusung “isu-isu lingkungan”, sehingga partai perlu mensosialisasi misinya tentang komitmen partai secara internal pada kader-kadernya sendiri. Fenomena pelanggaran komitmen partai yang mengusung tema-tema dan platform lingkungan menjadi pelajaran penting. Kita melihat, PKB, yang telah mendeklarasikan dirinya menjadi partai hijau, ternyata menjumpai kadernya menjadi tersangka gratifikasi. Begitu pula PPP, dengan skandal Al-Amin Nasution dalam pengalihan lahan hutan lindung di Pulau Bintan.

Tidak kalah pentingnya, faktor ketiga, yaitu nilai-nilai universal yang harus menjadi pertimbangan, seperti etika dan moralitas tinggi kader yang akan menjadi wakil rakyat terhormat, akan semakin dipertimbangkan untuk dipilih oleh publik. Maka, bila saja tidak terjadi ketiga hal di atas, bukan mustahil partai-partai (yang mempunyai kekuasaan) yang mengusung isu lingkungan hanya dianggap--meminjam istilah Iwan Fals--"celoteh belaka" dan akan ditinggalkan para konstituennya. *

Dikutip dari KORAN TEMPO

Wednesday, September 3, 2008

Dilema Pohon di Era Globalisasi

Harrison Ford, bintang film AS yang terkenal itu, pergi ke sebuah salon. Kali ini dia membawa kru film guna mengabadikan perbuatannya. Pemeran utama dalam film Indiana Jones ini ingin menunjukkan kepeduliannya dengan cara lain: mencukur bulu dadanya yang lebat dengan cara waxing, sekali cabut, dan memberi gambaran tentang perihnya perasaan masyarakat di Barat ketika ada hutan yang hilang: "Lost there, felt here," begitu tajuknya, yang merupakan bagian dari kampanye menentang penggundulan hutan.

Gambaran ini mungkin bisa mewakili tentang pengaruh globalisasi terhadap lingkungan, kala negara-negara maju--apabila mereka tinggal diam--akan segera terkena dampak kerusakan lingkungan yang pada ujungnya menyakitkan. Pemanasan global juga dipicu oleh hilangnya hutan alam akibat masifnya pembukaan lahan--dengan menebang jutaan pohon yang berpotensi menyerap karbon.

Topik globalisasi dan lingkungan merupakan salah satu bahasan yang dibicarakan dalam Konferensi Internasional tentang Globalisasi: Tantangan dan Peluang untuk Agama-Agama (Globalization Challenge and Opportunities for Religions), 30 Juni-4 Juli 2008 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 120 cendekiawan dari berbagai kalangan, termasuk agamawan, akademisi, aktivis lingkungan, dan cendekiawan yang datang dari berbagai disiplin ilmu di dunia, antara lain dari AS, Norwegia, Filipina, Hong Kong, Inggris, serta diundang pula beberapa tokoh agama dan aktivis keagamaan nasional seperti Ismail Yusanto (juru bicara Hizbut Tahrir), KH Imam Subakir (Rektor Bidang Akademik Pondok Pesantren Gontor), Romo Ign Sandyawan Sumardi (aktivis sosial dan relawan dari Jakarta), hingga Bill Dyrness dari Fuller Theological Seminary, AS.

Dalam kaitannya dengan agama dan lingkungan, Michael Nothcott, guru besar etika dari University of Edinburgh, yang menjadi pembicara dalam konferensi tersebut, menggambarkan bahwa peradaban manusia sekarang ini terancam akibat “menzalimi” pepohonan, sebagaimana kasus bapak manusia Nabi Adam alaihissalam dan Hawa, yang disebutkan dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Quran, telah terusir dari surga disebabkan melanggar perjanjiannya untuk tidak mendekat (mengganggu) pohon di taman surga (Qs 2:35).

Kita paham bahwa sumber energi yang diperoleh sekarang ini, yaitu minyak dan batu bara yang sekarang mulai langka, diperoleh dari fosil-fosil sel dan energi yang telah diserap dari hasil fotosintesis banyak pohon. Pohon ini telah menyerap karbon dalam menjaga keseimbangan alam dengan mengeluarkan oksigen di zaman prasejarah, kemudian disebabkan pergeseran kerak bumi, pohon tersebut terendam selama jutaan tahun. Fosil pohon inilah yang kemudian ditambang oleh manusia menjadi sumber utama bahan bakar energi minyak bumi.

Bisa dibayangkan, di zaman kita ini, dalam satu hari manusia membakar energi setara dengan hasil sekitar 10 ribu tahun fotosintesis tumbuhan. Pohon-pohon hutan yang tadinya berupa fosil, menyerap karbon dan memendamnya dalam lapisan-lapisan sel mereka. Walhasil, dengan membakar energi fosil, pesawat jet dan mobil mewah manusia (anak cucu Adam) dapat berkeliaran di muka bumi, melelehkan karbon yang tadinya beku di dalam bumi sejak zaman prasejarah.

Dilema pohon ini sekarang tergambar dengan kebutuhan energi yang bersumber dari fossil fuel, yang boleh jadi merupakan suatu teguran Gusti Allah. Pohon-pohon alam pun yang masih hidup berseri sekarang menjadi ibarat buah simalakama: negara-negara berkembang masih harus menggantungkan ekonominya pada penebangan pohon dan pembukaan lahan baru, sementara negara maju berkepentingan dengan pohon guna menetralkan emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan.

Secara global, dampak dari pembukaan lahan dan kehilangan hutan (pohon) berkontribusi pada 30 persen emisi karbon global, sehingga upaya menurunkan emisi akan sangat sia-sia bila tidak dibarengi usaha mencegah penggundulan hutan. Maka, menurut Bank Dunia (2007), jika emisi dari penggundulan hutan dimasukkan dalam inventarisasi emisi gas rumah kaca, Indonesia berkontribusi sebagai produsen gas rumah kaca nomor tiga di dunia setelah AS dan Cina. Penggundulan hutan dan kebakaran hutan berkontribusi pada 2.563 megaton CO2, setara dengan 4 persen emisi global dan dihitung mampu menutupi 0,1 persen permukaan planet bumi.

Dilema lain dalam sikap manusia adalah kesalahan global yang terus dikecam oleh agama-agama, yaitu manusia telah menciptakan suplai keuangan global dengan menciptakan jumlah uang tanpa batas. Bumi dan sumber daya alam sangat terbatas, sementara uang terus diproduksi oleh manusia tanpa batas. Keadaan ini, ditambah lagi dengan implementasi ribawi yang telah dikutuk oleh Taurat, Injil, dan Quran, yang rupanya menyebabkan krisis lingkungan bertambah parah. Pertumbuhan gas-gas rumah kaca meningkat secara eksponensial sejak AS mencabut standar emas (sebagai nilai intrinsik) pada 1969. Adikuasa uang merupakan cerminan domain hegemoni politik. Negara-negara berlomba memperkuat mata uang, mereka kemudian menggunakan sumber daya alam tanpa batas.

Lantas, bila kita becermin pada kasus lingkungan Indonesia kini, skandal-skandal pohon dan uang memang ternyata benar-benar membawa fitnah. Ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (terhormat) yang terlibat riswah (suap) gara-gara menggusur pohon-pohon di hutan lindung. Di lain pihak, banyak banjir dan tanah longsor terjadi akibat “kutukan” pohon yang telah musnah di kawasan tersebut. Banyak spesies makhluk yang tadinya bertasbih memuja-muji sang Pencipta, kemudian punah untuk selamanya dari permukaan bumi seiring dengan hilangnya pohon dan kerakusan manusia.

Bagi para politisi dan pialang pertumbuhan ekonomi, perlombaan menebang pohon menjadi cara yang menarik karena pohon-pohon dapat menghasilkan uang secara mudah, apalagi hutan alam yang tanpa susah payah menanamnya. Banyak pemimpin daerah, yang berdalih dengan berbagai cara, melegalkan penebangan pohon, mengharapkan uang dari pohon-pohon yang mereka kuasai di wilayah mereka untuk membiayai pemenangan dalam pemilihan mereka. Kasus-kasus pohon memang berujung pada eksploitasi. Akibat uang yang tanpa batas, daun fulus ini dapat menjungkirkan adagium tentang keadilan dan hukum menjadi: "kuasa hukum telah ditaklukkan oleh kuasa uang".

Tanggal : 15 Jul 2008
Sumber : Koran Tempo

Sunday, July 6, 2008

Menyikapi Krisis Energi

Oleh

Fachruddin M. Mangunjaya

Krisis energi dan naiknya bahan bakar minyak (BBM), yang ketiga kalinya dalam kurun waktu satu periode pemerintahan, menjadi pelajaran penting untuk kita semua. Kenaikan harga BBM adalah dampak langsung dari semakin sulitnya kita menemukan sumber daya alam—dalam hal ini energi minyak—yang semakin lama ternyata kian menipis.

Realitas ini terbukti untuk Indonesia, yang telah empat puluh tahun menjadi eksportir minyak, kemudian menjadi net importir, karena produksi minyak Indonesia dibawah 1 juta barrel per hari. Saat ini, produksi minyak Indonesia menurun dari 1.1 juta barrel dan diperkirakan menjadi 995 ribu barrel tahun 2007 dan diperkirakan menjadi 971 ribu barrel tahun 2009. Kepahitan ini, menjadi terbukti ketika pemerintah menyatakan sikapnya keluar dari Organisasi Negara Negera Pengeksor Minyak (OPEC).

Ketika terjadi penipisan sumber daya sementara kebutuhan tetap tinggi, maka kelangkaan akan terjadi sehingga hukum ekonomi tentang pasokan (suplay) dan permintaan (demand) berlaku dalam skala ini.

Secara global, selain sumber daya (minyak) yang semakin menipis, pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk bumi yang semakin pesat juga akan memicu krisis energi dunia. Sebab, fakta yang berlaku, ketika pertumbuhan ekonomi maju, maka hal ini akan segera merubah perilaku manusia dalam peningkatan konsumsi energi dan gaya hidup. Setelah puluhan tahun bekerja, misalnya, semua orang cenderung ingin hidup lebih nyaman: mereka membeli mobil, kendaraan bermotor, memasak menggunakan minyak tanah dan gas, menggunakan AC (pendingin) atau pemanas udara (untuk kawasan temperate) yang semuanya menggunakan energi yang nota bene tidak terperbarukan –karena berbasis fossil--seperti bahan bakar minyak mentah. Efek negatif dari energi ini—seperti kita semua tahu—akan menghasilkan pencemaran lingkungan berupa emisi karbon dioksida (CO2), yang memicu perubahan iklim dan pemanasan global.
Sementara di peringkat pertama, konsumsi energi tertinggi berada di negara adidaya Amerika Serikat (AS), namun dengan laju percepatan ekonomi, semua negara dan bangsa menuju pada gaya hidup yang cenderung sama.

Di Asia: Cina, misalnya, dengan pertumbuhan ekonomi pesat dan populasi yang besar, akan menggantikan AS dalam menyedot konsumsi sumberdaya dasar semisal minyak. Brown (2007) meramalkan pada tahun 2030, penduduk negeri tirai bambu ini akan berjumlah 1.46 milyar. Jika setiap tiga dari empat orang memiliki mobil, maka di Cina saja, akan terdapat 1.1 juta mobil. Dan jumlah tersebut akan menyedot pemakaian 98 juta barrel minyak per hari, seribu kali lipat dari jumlah produksi minyak harian Indonesia sekarang ini.

Artinya, produksi seribu hari (3 tahun) produksi minyak Indonesia, hanya dihabiskan dalam satu hari oleh masyarakat di Cina!

Di Indonesia, trend pemakaian mobil tidak berkurang. Ketika harga minyak naik, masyarakat kelas menengah berlomba-lomba membeli mobil, karena khawatir minyak yang naik, harga mobil pun akan melonjak. Jadi, perilaku manusia modern yang cenderung dengan kenyamanan dan gaya hidup ‘lebih baik’ dengan menggunakan kendaraan bermotor, semakin melaju pesat. Peningkatan ekonomi, berdampak pada kemampuan daya beli dan trend konsumen modern adalah: mengikuti jejak negara-negara maju dan semakin gandrung menggunakan energi. Sementara perilaku yang tidak berubah ini, akan terus menjebak kita semua pada persoalan krisis energi dan lingkungan yang berkelanjutan.

Minimalkan Jejak Karbon (JK)
Jadi, krisis energi dan lingkungan adalah dua sisi dari satu mata uang. Di lain pihak, perubahan perilaku (behavioral change) tercermin dari gaya hidup: bahwa setiap individu manusia di muka bumi ikut berkontribusi mencemari bumi dan membuat penipisan atas sumber daya alam.
Salah satu tolok ukur yang dapat memberikan penyadaran pada kita (secara individu), keluarga maupau maupun kolektif adalah mengukur jekak karbon (JK). Kita bisa pula menghitung JK dengan mengkalkulasi perjalanan sebuah produk mulai dari pabrik yang mengolahnya dengan energi (mengeluarkan emisi karbon) sehingga produk tersebut sampai di etalase pasar.

JK biasanya dihitung dalam jumlah ton karbon atau ton karbon dioksida yang dikeluarkan dalam satu tahun. Banyak versi dalam cara menghitung jejak karbon ini. Yang jelas cara ini akan memberikan gambaran berapa sesungguhnya jumlah sumber daya alam yang langsung digunakan, mengkonversikannya dengan emisi karbon yang terlepas dan dengan demikian diharapkan manusia bisa membatasi diri untuk tidak berperilaku boros dan konsumtif.

Seseorang yang hidup dan tergantung dengan mesin, seperti menggunakan mobil, kendaraan bermotor, AC, membangun rumah yang lebih besar dan mewah, tentu akan berkontribusi terhadap emisi karbon yang lebih besar. Sebaliknya, perilaku sederhana, tidak boros dan konsumtif serta hemat energi: tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar fossil, akan meminimalkan emisi dan pencemaran terhadap lingkungan, sekaligus menghemat sumber daya.
Standar yang digunakan untuk pengukuran karbon dilakukan untuk mengukur gaya hidup dan konsumsi langsung individual terhadap barang dan jasa. Misalnya ada organisasi lingkungan yang menghitung dengan empat stándar: 1) energi, 2) perjalanan dengan menggunakan motor/mobil, 3) perjalanan dengan menggunakan pesawat, dan 4) pola konsumsi (diet). Perhitungan dimulai dengan berapa keluarga yang ada di rumah anda, lalu apakah anda tinggal bersama keluarga atau hanya merupakan keluarga inti, lalu berapa jumlah kamar tidur di rumah atau apartemen anda tinggal. Pengukuran juga dilakukan untuk menghitung pengeluaran karbon yang anda gunakan dalam setahun yang dinilai dari jumlah frekwensi anda bepergian baik dengan kendaraan bermotor maupun naik pesawat udara.

Mereka yang hanya memakan sayur-sayuran (vegetarian) dipastikan mempunyai emisi karbon lebih rendah dari pemakan segala (omnivora), sebab dengan hanya mengkonsumsi sayur dan buah mempunyai nilai buang karbon lebih rendah dibandingkan bila seseorang memakan segala karena diperlukan akomodasi dan buangan karbon yang lebih besar untuk mencukupi gaya hidup seseorang dengan pola pemakan segalanya.

JK juga dapat mendorong konsumen suatu produk ke arah kesadaran pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ramah lingkungan. Dengan melihat JK yang tertera pada bungkus kemasan, maka konsumen dapat berperan dalam menentukan pilihan. Oleh sebab itu, trend yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya pula inisiatif label karbon – seperti halnya green label untuk pertanian organik--dimana sebuah produk memaparkan tentang riwayat penghitungan berapa karbon yang pakai selama proses yang dalam pembuatan produk, penggunaan transportasi hingga kemudian barang tersebut berada di rak sebuah super market. ***
Sumber: Koran Tempo 28 Juni 2008

Sunday, June 29, 2008

Biofuel Vs Hutan Alam

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya

Pendiri Borneo Lestari FoundationSebagai bangsa, mungkin kita kerap tersinggung dan merasa ada ketidakadilan atas tuduhan negara maju dalam memperlakukan hutan alam kita. Pengambil kebijakan tentu saja merasa gerah karena terkadang, sebagai pemimpin bangsa, harus berhadapan dengan kenyataan: antara mengejar target ekonomi (yang memaksa harus mengorbankan hutan alam) dan menghadapi gencarnya para aktivis lingkungan dalam mengkampanyekan pencegahan penggundulan hutan (Koran Tempo, 28 Maret).

Satu fokus penting, dalam upaya menekan laju perubahan iklim adalah upaya menghindarkan kehilangan hutan (avoiding deforestation) guna menurunkan jumlah emisi. Bank Dunia mencatat Indonesia sebagai negara yang menempati urutan ketiga dalam emisi karbon dioksida (CO2), setelah Amerika Serikat dan Cina, ketika emisi akibat pembukaan lahan dan hutan ini dimasukkan.

Secara global, pembukaan hutan dan lahan berkontribusi 20 persen atas emisi global.Ada dua hal yang menyebabkan Indonesia termasuk negara yang serius sebagai penyumbang emisi. Pertama, maraknya illegal logging, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan perkebunan akibat tidak teraturnya penataan tata ruang di tingkat daerah yang diakibatkan masifnya kepentingan ekonomi yang mendorong pada pembukaan lahan. Kedua, banyaknya perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah--terutama dengan pengembangan wilayah, kabupaten, atau provinsi baru--untuk memberikan legalisasi pembukaan lahan berdasarkan wewenang mereka.

Dari sudut pandang pembangunan ekonomi di daerah, semangat pembukaan hutan berjalan paralel dengan kehendak otonomi yang menginginkan peningkatan pendapatan asli daerah. Menghadapi realitas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan minimnya ladang sumur-sumur baru penghasil minyak, Indonesia mencanangkan dukungan untuk memasok sebagian bahan bakarnya dari minyak nabati (biofuel), yang kebanyakan berasal dari kelapa sawit. Di lain pihak, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa kebun sawit dapat menjadi ancaman permanen yang akan terus merambah hutan alam yang ada di Indonesia dan Malaysia.

Alasannya, 90 persen produk sawit dunia dipasok dari kedua negara ini. Dari jumlah tersebut, 6 juta hektare (54 persen) kebun kelapa sawit dari 11 juta hektare yang ada di dunia berada di Indonesia, yang diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit nomor satu dunia menggantikan Malaysia di masa depan. Produksi minyak sawit diperkirakan akan meningkat pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan dunia. Lebih dari 100 juta ton minyak sayur yang dihasilkan oleh dunia setiap tahun setidaknya 30 persen berasal dari minyak kelapa sawit.

Peningkatan juga akan dipicu oleh upaya konversi bahan bakar minyak berbasis fosil (fosil fuel) menjadi minyak hayati (biofuel) sebagai pengganti BBM. Sejak 2000, tantangan pasokan crude palm oil (CPO) kian bertambah dan prospek yang besar di pasar dunia atas kebutuhan sawit semakin meningkat. Sambutan untuk pembukaan lahan dan kebun di daerah pun meningkat pesat. Misalnya, sebagai daerah yang menginginkan pendapatan yang tinggi, pemerintah Kalimantan Tengah sejak 2004 telah mencanangkan proses monokultur berupa pembuatan kebun-kebun sawit seluas jutaan hektare.

Adapun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mencanangkan 1,5 juta hektare, tapi--mendahului pemerintah provinsi--pemerintah kabupaten telah mengeluarkan perizinan seluas 4,2 juta hektare. Maka kebun-kebun sawit tumbuh menghijau sejauh mata memandang. Dari sudut lingkungan, akibat dari lajunya kerusakan hutan dan pembukaan lahan, banyak spesies eksotik Indonesia akan segera mengalami kepunahan. Orang utan, misalnya, menurut Centre for Orangutan Protection, diperkirakan terbunuh 1.500 ekor pada 2006 dan penghilangan spesies tersebut masih berlanjut hingga kini. Penyebabnya tentu karena kebun-kebun sawit tidak lagi menggunakan lahan yang telantar dan tidak berhutan--atau secara legal di kawasan pengembangan produksi atau kawasan permukiman dan penggunaan lain--tapi justru di dalam kawasan hutan yang menjadi habitat satwa.

Apabila keadaan ini terus berlangsung--tanpa adanya komitmen pembatasan--tentu sangat bertentangan dengan semangat pertemuan Bali yang mengusung cara menghindari pengalihan lahan hutan dan perusakan keanekaragaman hayati. Hal lain yang dikhawatirkan oleh para pencinta lingkungan adalah, ketika sebuah kebun monokultur ini berdiri, lingkungan akan mengalami proses "racunisasi", yang berasal dari pestisida, herbisida, dan fertilizer, yang ditebarkan untuk mendukung tumbuhan yang luasannya jutaan hektare tersebut.

Proses ini tentu saja akan menghantui kesehatan ekosistem dan mengancam daerah aliran sungai, seperti di Kalimantan yang memiliki sungai-sungai besar tempat sebagian besar kehidupan rakyat bergantung pada air sungai. Rahman (2007) memperkirakan sebatang sawit dapat menghabiskan 8 kilogram pupuk per tahun. Jadi, apabila 1 juta hektare kebun sawit--yang mempunyai jumlah 140 pohon--dikalikan dengan jumlah itu, dapat dibayangkan ada 1.120 ton pupuk yang dipasok. Dan dampak dari residu pupuk organik tersebut akan ditumpahkan di tanah, yang boleh jadi akan mencemari anak sungai yang ada di kawasan sekitarnya.

Proses racunisasi juga akan berlangsung dengan pestisida dan herbisida, yang sudah pasti digunakan dalam mengatasi gangguan terhadap hama perkebunan tersebut.Melihat permintaan CPO yang kian meningkat, ditambah target untuk memasok biofuel sebagai substitusi mengatasi harga BBM yang kian menanjak, tentu saja menahan laju sektor ini akan menjadi tidak bermakna. Di lain pihak, semangat pencegahan pemanasan global sangat bergantung pada kebijakan dan upaya menghindarkan pembukaan hutan (untuk mencegah pelepasan emisi). Jadi adakah jalan untuk menghindari paradoks yang sebenarnya kontraproduktif tersebut?

Mengamati animo pasar dan tren peningkatan pembukaan perkebunan sawit yang agresif, setidaknya ada beberapa alternatif dalam menyikapi hal ini.Pertama, semangat pembukaan lahan untuk kelapa sawit perlu diimbangi dengan perencanaan yang strategis, menghindari pembukaan lahan baru (dengan hutan alam yang mempunyai potensi penyerap emisi), dan menyesuaikan tata ruang daerah dengan meminimalkan dampak lingkungan. Kedua, dalam upaya menghindari pembukaan lahan agar perkembangan kebun sawit menjadi ideal, diperlukan kesadaran bersama dunia usaha (investor) untuk menghindarkan kerusakan yang berkepanjangan guna mempertahankan bisnis mereka supaya berkelanjutan dan mendapatkan keuntungan jangka panjang, baik dalam profit (bisnis) maupun keuntungan ekosistem.

Karena itu, pemerintah tidak seharusnya menghindar dari upaya para aktivis lingkungan dalam mengoreksi pemanfaatan lahan. Sebaliknya, jembatan kemitraan harus diupayakan untuk memuluskan jalan dunia usaha antara pemerintah (pemberi izin) dan pendampingan dari lembaga-lembaga independen, yang dapat meneliti serta memberikan rekomendasi terbaik untuk menghindarkan kerusakan lingkungan. Semangat kemitraan ini diharapkan akan sangat membantu dunia usaha karena persoalan perubahan iklim telah menjadi kepedulian semua pihak.

Kinerja usaha multinasional yang baik bagi lingkungan akan mempengaruhi bursa saham karena "sertifikasi lingkungan" akan semakin dipertimbangkan dalam gerakan global aksi menghindarkan pemanasan globalKetiga, belajar pada pengalaman pahit--dalam ketidakmampuan--memproses minyak mentah. Secara bertahap, Indonesia harus membangun pabrik-pabrik pengolahan CPO-nya dan memproduksi nilai tambah yang dimulai dari hulu, seperti memproduksi CPO menjadi produk kosmetik, mentega, sabun, dan barang jadi yang lain untuk kemudian--mendapatkan nilai tambah ekspor--menjadi bukan sekadar minyak mentah.

Sektor ini akan membantu menyerap banyak tenaga kerja, terutama mereka yang kehilangan mata pencaharian karena pabrik-pabrik hak pengusahaan hutan di daerah telah ditutup.***
(KORAN TEMPO 25 April 2008).

Friday, March 28, 2008

Harga Hutan Alam

Ketetapan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Penggunaan Kawasan Hutan, Nomor 2 Tahun 2008, dianggap terlampau murah.

Pemerintah memutuskan harga hutan dengan mengizinkan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif hanya Rp 1,2-2,4 juta per hektare. Tentu saja harga ini terlalu murah jika dibuat per meter, yaitu hanya Rp 102 dan Rp 240 per tahun, lebih murah dari harga pisang goreng yang sekarang berkisar Rp 300-500 per potong.

Bandingkan pula murahnya harga 1 hektare lahan hutan, sama dengan harga 1 meter persegi tanah di kawasan menengah di Jakarta. Andaikan lahan itu di Jakarta--walaupun di bawahnya tidak ada lahan tambang--satu hektarenya akan berharga Rp 1,2 miliar hingga Rp 2,4 miliar. Selanjutnya baca dan berikan komentar >>>>

Monday, March 3, 2008

Nilai Ekonomi Alam Sekitar

Seperti lagu Bengawan Solo: “Akhirnya ke laut...” itulah keputusan terakhir dalam keadaan ‘darurat’ yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi luapan Lumpur Sidoarjo (Lusi). Tentu saja para nelayan yang selama ini telah menikmati produktifitas ekosistem laut dan bakau di Selat Madura keberatan dengan adanya kebijakan ini (Koran Tempo, 7/5/07).

Kasus Lusi semestinya membawa banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia, sehingga keputusan ini juga yang mendasari Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam pernyataanya Koran Tempo (23/9/06), akan membuat undang –undang untuk tidak lagi memberikan ijin Amdal pengeboran dan pertambangan di kawasan yang mempunyai banyak penghuni dan berpenduduk.

Sesungguhnya kehati-hatian pemberian ijin untuk menyelamatkan lingkungan, tidak saja untuk penambangan, tetapi secara lebih luas –perlu perhatian—untuk tidak memberikan ijin pada kawasan mana pun di negeri ini yang mempunyai ‘ekosistem yang rentan (fragile ecosystems). Oleh sebab itu, komitmen ini tentunya harus disertai dengan sebuah keputusan peraturan dan perundang-undangan yang jelas, sebab selama ini masih banyak ketetapan yang tidak konsisten terutama bila berhadapan dengan ‘permohonan usaha’ untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sesaat, tetapi akhirnya mengorbankan ekosistem yang lebih bernilai: misalnya pemberian ijin untuk pembalakan kayu, pembuatan fasilitas umum dan penambangan di hutan lindung, akhirnya –karena alasan politik—dan desakan ‘ekonomi’ keputusan yang diambil adalah mengorbankan lingkungan.

Setelah kejadian Lusi, dan banyak sekali bencana alam, mestilah membuat lebih banyak pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan yang sadar, bahwa seluruh kejadian ini membawa dampak pada ketidak pastian iklim investasi yang akan membawa kelambanan pemulihan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu terakhir ini, para ahli lingkungan dan konservasionis, selalu mengadakan pengkajian dengan pendekatan perhitungan ekonomi dan valuasi untung rugi (cost dan benefit) atas berapa sesungguhnya ‘harga’ sebuah ekosistem alami –semula jadi-- atau apa adanya. Perhitungan ini sering disebut pula dengan ‘nilai jasa’ ekosistem yang kelihatannya sangat sepele, seperti: air, kesuburan tanah, ikan, satwa, udara, hutan alami sebagai pencegah erosi, nilai-nilai estetika, hasil hutan non kayu atau non timber forest product –NTFP, serta hutan bakau yang tentu lebih tinggi nilainya bila dibiarkan dalam keadaan alami, dibandingkan bila ditebang atau dijual kayunya.

Kerugian yang sesungguhnya dapat dinilai, apabila kemudian negara pada akhirnya harus berkorban yang nota bene: pengorbanan negara merupakan cost yang ditanggung bersama oleh rakyat dan uang rakyat yang harus di subsidi kepada pengusaha yang berbasis pada keuntungan kelompok dan individu. Pada akhirnya bangsa secara keseluruhan akan sangat dirugikan akibat kebijakan yang tidak memperhatikan keuntungan jangka panjang. Padahal pemungutan pajak –dari perusahaan dan investor—kepada pemerintah tentu saja dikeluarkan dengan niat agar kualitas kesejahteraan rakyat semakin meningkat dan ekosistem alam sebagai penyangga dapat mempertahankan kapasitasnya.

Belajar dari pengalaman dan banyak riset terakhir, para ilmuwan bersepakat bahwa dengan menjaga ekosistem secara keseluruhan, maka kemanusiaan akan dapat terhindar dari berbagai ancaman: penyakit, pemanasan global, penggundulan hutan, polusi udara, pencemaran air hingga perambahan spesies baru pada pada bukan habitat alaminya (aliens spesies).
Constanza dkk, menulis dalam Nature (1997) menyimpulkan bahwa ekosistem utuh yang ada di planet bumi ini secara keseluruhan mempunyai nilai AS$ 33 triliun (Rp297.000 triliun) dua kali Gross National Product (GNP) dunia. Sebuah nilai dengan angka yang tentu saja tidak dapat kita bayangkan banyaknya. Oleh karena itu para ekonom sudah sejak lama menghitung nilai-nilai ekonomi harga tag price untuk lahan rawa, gurun, gunung es, terumbu karang atau hutan alami untuk mengetahui tolok ukur untung rugi apabila kawasan-kawsan ini dibangun untuk keperluan konsumtif misalnya perumahan atau pendirian pabrik, penebangan hutan dan konversi lahan bakau untuk dijadikan tambak. Dalam sebuah laporannya, World Bank (1996) menaksir rata-rata terumbu karang mempunya nilai AS$ 15.000 (Rp138 juta)/km2/tahun. Sedangkan untuk kawasan yang mempunyai nilai aset wisata dan menjadi tumpuan penghasilan ekonomi masayarakat pantai terumbu karang Indonesia ditaksir dapat menghasilkan AS$3.000 (Rp 27,6 juta) hingga AS$ 5 juta (Rp46 milyar)/km2 pertahun.

Terumbu karang merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan berfungsi sebagai pemecah gelombang dan pencegah adanya penggerusan yang mengakibatkan abrasi pada pantai. Kawasan produktif ini akan terganggu dan menurun nilainya jika karangnya diambil, ikannya ditangkap dengan menggunakan racun, bahkan dibom seperti yang dilakukan beberapa nelayan di kawasan perairan Sulawesi dan Papua. Penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan tersebut, misalnya akan memberikan keuntungan sesaat pada sebagian orang, yaitu AS$ 33.000 (Rp303,6 juta)/km2,dalam jangka waktu tertentu, akan tetapi kerugian akibat kehilangan fungsi dan nilai terumbu karang mencapai AS$ 761 ribu (Rp7 milyar)/km2.

Hal terpenting dalam prinsip menghargai sumber daya alam dan ekosistem adalah, bahwa segala yang ada di bumi ini sesungguhnya merupakan tumpuan agar manusia dapat mempunyai ketahanan hidup. Artinya, jika bangsa Indonesia ingin bertahan sebagai bangsa yang tetap eksis, dan manusia secara keseluruhan ingin dapat mendapatkan kenikmatan kehidupan, sudah harusnyalah kita mempertahankan ketahanan ekosistem alami tersebut. Ada tiga alasan utama, mengapa pertimbangan terhadap ekosistem perlu dilihat: Pertama, kerusakan ekosistem berpotensi mengubah ketahanan fungsi alami yand ada pada ekosistem tertentu yang akan berdampak pada ekosistem yang lain (multiple effect) yang boleh jadi mengakibatkan kehilangan produktifitas biologi, yang pada ujungnya akan berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan yang sangat dibutuhkan manusia. Misalnya, hutan bakau akan diperlukan untuk tempat pemijahan, demikian pula salinitas air laut sangat penting bagi pertumbuhan plankton sebagai asupan pakan benih udang dan ikan yang menjadi produsen utama mata rantai dalam ekosistem mangrove. Kedua, boleh jadi sebuah ekploitasi terhadap alam tersebut tidak lagi dapat memberikan opsi bagi generasi yang akan datang untuk mendapatkan daya dukung ekosistem yang optimal (misalnya dengan terjadinya erosi, pengurangan sumber daya air, penggurunan dan kepunahan keanekaragaman hayati). Ketiga, terjadi perubahan yang mengakibatkan ketidak pastian. Fungsi ekosistem yang rusak juga akan mempengaruhi iklim makro yang menjadikan masalah perekonomian menjadi tidak pasti, misalnya, kekeringan yang berkepanjangan –akibat perubahan iklim—yang mengakibatkan gagal panen dan kerugian pertanian akibat lahan puso.

Dengan mempelajari nilai ekonomi ‘jasa ekosistem’ alam, maka apabila terjadi pembuangan lumpur di Pantai Sidoarjo, seharusnya bisa dinilai pula—dan perlu dihitung—kerugian yang ditimpakan pada kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau yang ada disana. Begitu pula kerugian produktifitas saluran drainase dan jaringan air minum yang rusak, saluran irigasi, sawah dan lahan perkebunan yang rusak ratusan hektar. Lalu perhitungan harus ditambah lagi dengan dampak pembuangan ke laut, yang menimbulkan kekhawatiran penurunan produktifitas tangkapan ikan hingga selat madura (karena dampak pembuangan biasanya berakibat menyebar (broad spectrum). Sekarang ini kompensasi yang harus ditanggung oleh Lapindo Brantas saja telah menyedot dana adalah Rp26,04 miliar. Tentu yang paling sulit dinilai adalah hilangnya opsi jangka panjang ketika generasi yang akan datang, tidak akan pernah lagi mendapatkan kesempatan yang sama –dengan kita hari ini (sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan)—untuk menikmati keindahan pantai dan produktifitas lahan yang seharusnya mereka dapatkan, karena kawasan tersebut telah berubah dan tercemar.

Salah satu contoh paling terkini tentang kawasan ekosistem yang rentan adalah Pulau Siberut, yang merupakan pulau kecil yang menurut penelitian LIPI (1995), digolongkan sebagai mintakat sensitivitas I dan II . Kawasan ini memiliki kelerengan lebih dari 25% dan curah hujan yang tinggi (3000-4000mm/th) sehingga mempunyai laju erodebitas yang tinggi. Kesimpulannya pulau ini sangatlah tidak cocok untuk ekploitasi, dan sebaiknya hanyalah untuk kawasan konservasi.

Akan tetapi sesungguhnya, berapa pun harga yang diberikan untuk jasa ekosistem kita, pada hakikatnya tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ekonomi saja, melainkan lebih dari itu, karena hanya pada bumi dan ekosistem yang sehatlah bangsa ini dapat hidup dan mempertahankan eksistensinya.***

Tuesday, February 19, 2008

Republik Orangutan

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan

Awal Februari ini PBB mengeluarkan himbauan, meminta dunia untuk ikut menyelamatkan orangutan di Indonesia. Program Lingkungan Hidup PBB(UNEP) meminta dunia internasional segera mengambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan orangutan yang terancam punah di hutan-hutan Indonesia, akibat tingginya tingkat pembalakan liar. Menurut UNEP, tanpa adanya campur tangan langsung di lapangan, orangutan dan margasatwa lainnya di hutan akan semakin langka hingga akhirnya dalam jangka panjang sudah tidak dapat ditemui lagi (Antara, 7/2)

Pemerintah Indonesia, memang telah berupaya keras menyelamatkan orangutan yang mereka miliki. Terbukti pada tanggal 25 November 2006 tahun lalu, Menteri Kehutanan disertai Ibu Negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono, ikut menyambut kedatangan 48 orangutan, yang tiba dari Thailand. Orangutan ini tentu saja telah menjalani test DNA untuk menentukan asal muasal mereka, dan kemana mereka harus dikembalikan. Thailand tidak mempunyai orangutan di hutan alaminya. Orangutan hanya dijumpai di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, jadi di negeri inilah sebenarnya ‘Republik Orangutan’ berada. Negara lain yang memiliki orangutan di habitat aslinya adalah Malaysia (yang hidup di negara bagian Sabah), Kalimantan Utara.
Kita jadi bertanya bagaimana Thailand mendapatkan orangutan? Ternyata ‘warga negara’ berbulu merah ini juga mengalami ‘trafficking’--seperti halnya banyak perempuan di Asia--diselundupkan melalui kapal-kapal pembawa kayu yang membawa ekspor kayu ke Thailand. Sebagian lagi memang hasil pekerjaan pedagang illegal yang sukses menyelundupkan makhluk mirip manusia ini, karena permintaan pasar yang tinggi di Thailand.

Walaupun ini peristiwa pulang kampung bagi orangutan dari Thailand, bukan pertama kali. Pengembalian orang bisa menarik banyak perhatian baik secara nasional bahkan internasional. Soalnya, kera merah berbadan besar dan hidung pesek ini, memang semakin hari semakin tergusur, karena kehidupan di alam mereka sangat tergantung dengan adanya hutan tropis yang asli dan habitat yang tidak terganggu, karena satwa ini merupakan pemakan buah-buahan dan biji-bijian hutan.

Secara morfologis, orangutan Sumatera (Pongo abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) hampir serupa. Namun demikian kedua jenis tersebut secara fisik dapat dibedakan berdasarkan warna rambutnya. Orangutan Kalimantan, bila dewasa rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan orangutan Sumatera, biasanya berwarna lebih muda. Ini bukan merupakan perbedaan hakiki, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai rambut putih pada raut wajahnya, namun orangutan Kalimantan belum pernah ditemukan.

Hidup Menyendiri
Prof. Birute Galdikas, yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1971 di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, telah lama berkesimpulan bahwa orangutan merupakan kerabat paling dekat dengan manusia secara evolusi. Birute menggambarkan --secara anekdot--bahwa orangutan merupakan “sepupu tiga” kali manusia.

Berbeda dengan dua kera besar lain—simpanze dan gorilla-- yang pada umumnya hidup berkelompok, orangutan tidak demikian. Jantan dewasa bersifat hidup menyendiri (soliter), betina dewasa tanpa pasangan atau kadang-kadang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat berdiri sendiri. Orangutan yang berusia muda hidup bebas, tetapi kadang-kadang ia hidup mengikuti induk yang melahirkannya.

Orangutan berjalan lamban menyeberang dari pohon ke pohon menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk mencari makan. Sifat seperti ini membawa banyak resiko bagi mereka. Sebab orangutan bergerak lamban, walaupun relatif tidak mempunyai musuh alami, tetapi manusialah yang menjadi ancaman bagi mereka. Selain interaksi antara jantan dan betina, kelangkaan hubungan ini membuat populasi orangutan semakin langka.
Menurut catatan terakhir, terdapat 45 – 69 ribu orangutan yang hutan-hutan Kalimantan dan tidak lebih dari 7.300 lainnya hidup di hutan Sumatera. Dalam laporannya berjudul The Last Stand of The Orangutan, UNEP (2007), menyatakan bahwa kepunahan orangutan dipicu oleh hilangnya habitat mereka yaitu hutan-hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan yang terus menerus dibabat. Diperkirakan pada tahun 2022, 98 persen luas hutan tersebut akan habis jika tidak ada tindakan segera.

Petani Biji-Bijian
Mengapa orangutan perlu dilestarikan? Penelitian jangka panjang (long term research) Birute Galdikas di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) telah membuahkan banyak temuan ilmiah yang belum diungkap sebelumnya. Menurut peneliti tersebut, orangutan di Kalimantan memakan kira-kira 200 spesies buah-buahan yang berbeda dan menjadi perantara penting bagi penyebaran –biji tumbuhan hutan--, kira-kira 70 persen jenis yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan manusia. Birute menyimpulkan bahwa orangutan merupakan pemakan primate pemakan jenis buah-buahan yang paling besar di dunia.

Jadi penelitian ini telah mengungkap tentang peran penting keberadaan orangutan yang membantu kestabilan ekosistem hutan tropis. Orangutan, dengan kata lain, ibarat petani biji-bijian—yang tentu membantu penyebaran tumbuhan di hutan. Jadi tanpa orangutan, keadaan hutan mungkin akan jauh berbeda, dan mungkin pula akan jauh lebih sedikit buah-buahan yang ada.

Dari bermacam-macam jenis buah-buahan yang ada di hutan tropis hampir semuanya mempunyai nilai ekonomi penting. Misalnya getah merah (Palaqium gutta) yang merupakan sumber karet alam yang mahal. Beberapa tahun lalu karet ini banyak dikumpulkan untuk diekspor. Selain itu ada jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat disadap untuk diambil leteksnya yang putih dan manis dan dipakai sebagai bahan pembuatan permen karet. Kemudian ada ramin (Gonystilus bancanus), merupakan tanaman hutan bergambut yang sangat besar nilainya dalam perdagangan untuk bahan meubel danbahan bangunan. Menurut catatan terakhir seorang mahasiswa yang meneliti orangutan Kalimantan masih ada 36 jenis tanaman lagi yang bijinya disebarkan baik melalui kotorannya ataupun secara langsung.

Maka, musnahnya orangutan mungkin dapat dirasakan beberapa abad kemudian, setelah hilang jenis-jenis tumbuhan yang bijinya disebarkan oleh orangutan. Memang agak terasa ‘naif’ bila ketika melihat upaya para konservasionis mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yang terkadang menghabiskan uang ratusan ribu dollar AS. Namun sesungguhnya bila kita lihat, peran orangutan sebagai penyebar biji, tidak bisa digantikan oleh manusia. Siapa yang sanggup mengembara berpuluh tahun untuk menyebar biji-biji tua dan memanjat pohon lalu tidur diatasnya? Program gerakan Indonesia menanam dan rehabilitasi lahan, tidak akan mampu menggantikan peran penting seekor orang utan yang mempunyai dedikasi –secara alami--menyebar biji-bijian. Pekerjaan tersebut tidak pula dapat digantikan oleh petugas kehutanan yang bekerja di lapangan. Dan kita dapat meramalkan apa akibatnya hutan hujan tropis yang menjadi habitat orangutan, apabila satwa penyebar biji-bijian telah mengalami kepunahan. Lambat laun punah pula tumbuhan yang mempunyai peran penting bagi manusia.***
Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim
Fachruddin M. Mangunjaya, PENCINTA LINGKUNGAN

Sekali lagi, mengutip Sir Nicholas Stern, apabila dalam jangka waktu 50 tahun mendatang (2050) gaya hidup manusia tidak berubah dalam bersikap terhadap alam dan lingkungan, bencana pemanasan global akan benar-benar terjadi. Intergovernmental Panel on Climate Change memperkirakan kenaikan suhu global akan berkisar 1,6-4,2 derajat Celsius pada 2050 atau 2070. Karena itulah, segera diperlukan perubahan gaya hidup untuk menanggulangi bahaya perubahan iklim.

Penyebab utama persoalan yang dihadapi manusia dan mengakibatkan kekhawatiran adalah terlampau tingginya pengurasan sumber daya alam, tingginya kebutuhan dan gaya hidup, serta pelepasan gas-gas rumah kaca, termasuk di antaranya karbon dioksida (CO2), diiringi dengan lajunya pertumbuhan penduduk dunia yang semakin masif, yang menghendaki pengurasan terhadap sumber daya alam yang lebih tinggi lagi.

Para pencinta lingkungan berupaya meyakinkan dampak kerusakan ini dengan memberikan tolok ukur dan alasan dasar agar gaya hidup dan konsumsi terhadap sumber daya alam ini dapat dikurangi. Salah satu caranya, dengan cara mengukur jejak ekologi. Analisis jejeak ekologi ini berupaya menjelaskan gambaran bahwa dampak gaya hidup manusia akan mempengaruhi dan mereduksi langsung kemampuan serta ketersediaan sumber daya alam, baik di darat maupun laut, yang mempunyai ekosistem produktif. Satuan yang diberikan untuk menghitung sumber daya alam yang produktif ini dikonversi dalam bentuk global hektare (gha). Jejak atau footprint di sini merupakan penjumlahan total lahan yang diperlukan untuk menyediakan makanan, perumahan, transportasi, bahan-bahan konsumsi yang lain, serta pelayanan yang diperlukan.
Sepertiga lebih cepat

Di bumi yang hijau-biru ini, ternyata tidak banyak ekosistem produktif yang dapat menunjang kehidupan, misalnya manusia tidak bisa memanfaatkan padang pasir yang tandus untuk bercocok tanam atau memperoleh penghasilan dari kawasan kutub es yang beriklim dingin. Karena itu, dalam menyediakan daya dukung pada kehidupan, hanya ekosistem produktif tertentu yang dianggap dapat memberikan dukungan. Jadi, dari ekosistem yang produktif inilah sesungguhnya lahan dan perairan yang ada mampu menyokong keberlanjutan suatu populasi--termasuk manusia serta berbagai jenis flora dan fauna---yang menyediakan bahan baku agar pabrik dapat berjalan serta berbagai kegiatan kehidupan dapat terus berlangsung.

Pada 2001 kapasitas lahan kehidupan (biocapacity) bumi hanyalah 11.3 miliar global hektare, yang hanya merupakan seperempat permukaan bumi atau hanya memberi jatah paling tinggi 1,8 gha per orang. Adapun WWF (2005) pernah menghitung bahwa rata-rata per kapita jejak ekologi per orang di bumi adalah 2,2 gha, artinya selama ini, secara rata-rata penduduk bumi mengalami defisit 0,4 gha.

Rata-rata jejak ekologi tertinggi per kapita: penduduk Amerika Serikat (9,5 gha), Inggris (5,45 gha), dan (Swiss 4 gha), sedangkan Indonesia diperkirakan rata-rata 1,2 gha. Adapun jejak ekologi terendah adalah Bangladesh, dengan rata-rata 0,5 gha. Pendekatan ini menunjukkan bahwa semakin kaya suatu negara dan bangsa, semakin besar jejak ekologi mereka dalam menguras sumber daya di bumi. Dengan demikian, kapasitas yang diperlukan dengan gaya hidup negara-negara maju jauh lebih boros, sehingga untuk bangsa Amerika--guna memenuhi gaya hidup mereka--diperlukan 9,5 planet setara dengan bumi, sedangkan warga Inggris memerlukan lima planet dan pola jejak ekologi rakyat Swiss memerlukan empat planet lagi. Jadi gaya hidup mereka di negara-negara kayalah yang menjadi penekan kemampuan bumi--dalam menyediakan suplai sumber daya alam.

Diperkirakan pengurasan terhadap sumber daya alam sekarang ini melaju hingga menjadi 25 persen. Artinya, pengurasan sumber daya akan sepertiga lebih cepat daripada kemampuan bumi sebenarnya dalam mendukung keberadaan manusia. Ibaratnya, bila dihitung sumber daya bumi secara keseluruhan mampu bertahan 24 jam, dalam waktu 16 jam, sumber daya kita sudah habis dan tidak lagi dapat menyokong kehidupan. Dengan mempertunjukkan penghitungan jejak ekologi kepada pengambil kebijakan, perusahaan, kelompok masyarakat, hingga individu, diharapkan mereka dapat becermin, untuk segara melakukan perubahan sikap.
Perilaku konsumen

Jika manusia (secara keseluruhan, kaya ataupun miskin) menjadi tertuduh atas penyebab kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, apa yang bisa dilakukan? Sekarang ini target yang dilakukan oleh para pembela lingkungan adalah bagaimana sesegera mungkin orang dapat mengubah pola gaya hidup dan perilaku. Ada empat faktor yang diperkirakan dapat menentukan perubahan bagi perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif.

Pertama, nilai-nilai moral dan budaya, di dalamnya termasuk nilai keagamaan yang mengkristal. Dengan keyakinan, seseorang akan terdorong untuk tidak cenderung merusak atau melakukan sesuatu berlebih-lebihan. Misalnya agama sangat menganjurkan manusia tidak berlaku boros dan bertindak mubazir. Di lain pihak, budaya pula yang dapat mendorong atau menahan seseorang berperilaku konsumtif dan hedonis.

Kedua, pendidikan, yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas seseorang, baik individu maupun kolektif, dalam menyikapi dan mengubah diri untuk mendukung gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Ketiga, perundang-undangan atau aturan dan tata kerja yang jelas, yang mendorong manusia tidak akan secara sembrono menguras sumber daya alam. Kealpaan dalam menerapkan sistem legal ini sangat krusial dan pernah terjadi di Indonesia, sehingga tidak ada ketentuan dan pembatasan kepemilikan hak pengusahaan hutan. Seorang taipan pernah diperbolehkan menguasai konsesi hingga 5 juta hektare dan berhasil mempercepat pengurasan sumber daya kemudian menimbulkan kerugian negara.

Keempat, harga pasar, yang mendorong seseorang bergerak mengeksploitasi sumber daya guna mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Contoh yang baik sekarang ini tengah terjadi. Ketika crude palm oilmeninggi, animo dan nafsu para investor serta pelaku bisnis akan lebih agresif guna membuka kebun-kebun sawit baru, sehingga mereka harus menggusur hutan-hutan alam yang mempunyai nilai ekonomi dan ekologi jangka panjang serta bermanfaat di masa yang akan datang.

Lebih dari itu, sesungguhnya pasar juga bisa memberikan peluang dan dapat mendorong perilaku konsumennya agar bertindak ramah lingkungan. Gerakan inilah yang dilakukan oleh Wal Mart, misalnya, dengan cara hanya menjual bola listrik hemat energi. Retailer yang memiliki 100 juta pelanggan ini mendorong konsumennya agar mengganti bola lampu berkekuatan 60 watt dengan lampu fluorescent yang berkekuatan 13 watt (karena daya terang yang sama). Walaupun lampu ini lebih mahal (Rp 20-30 ribu per buah), bola ini mampu bertahan 8-12 lebih lama dibanding lampu biasa.

Jika dihitung, lampu hemat energi ini mampu menghemat sekitar Rp 300 ribu sepanjang pemakaian dibanding bila menggunakan lampu biasa. Retail raksasa Amerika ini juga menghitung, satu bola lampu fluorescent akan menghemat setengah ton gas rumah kaca yang akan dilepaskan ke udara. Perhitungan lebih lanjut adalah perubahan perilaku konsumen tersebut dapat mengefisienkan 10 juta ton batu bara yang dibakar dari pembangkit listrik dan mencegah 20,5 juta ton gas rumah kaca yang terbuang atau sama dengan pencegahan penggunaan 700 ribu mobil yang membuang gas rumah kaca ke udara.

Koran Tempo, 05 September 2007

Gelombang Pasang dan Pemanasan Global

Oleh: Fachruddin M. Mangunjaya, Pemerhati Lingkungan

Dalam minggu ini kembali kita dikejutkan oleh perubahan gejala alam yang ekstrim yang merupakan fenomena yang tidak biasa yaitu gelombang pasang. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan, gelombang pasang yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia merupakan gejala aneh. Gelombang semacam itu baru kali ini terjadi (Metro TV (18/5).

Bila kita lihat, fenomena yang terjadi hampir di setiap titik Samudera Indonesia (pantai Selatan di Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Pantai Barat Ujung Sumatera dari Nangroe Aceh Darussalam hingga Sumatera Barat) maka, gejalah ini tentu saja merupakan peristiwa alam yang seharusnya diperhatikan. Para ahli metereologi telah menuturkan gejala ini merupakan fenomena gelombang yang terjadi akibat hembusan angin monsoón timur yang berinteraksi dengan lautan dan terjadi gesekan kemudian menghasilkan gelombang yang merambat di sepanjang pantai.

Keterangan lain menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan gajala tarikan atmosfer (atmospheric tides), yaitu pergerakan gelombang yang diakibatkan atmosfer yang sama dengan sistem yang ada di laut yang dipengaruhi oleh kekuatan gravitasi bulan dan matahari.
Apakah pemanasan global mempunyai peran dalam gejala gelombang pasang ini? Sepengetahuan penulis belum ada penelitian tentang ini. Namun, pergeseran pola cuaca yang ektrim bisa memenuhi logika, bahwa gejala ini merupakan rangkaian perubahan yang terjadi akibat adanya pemanasan global.

Perkiraan akan terjadinya peningkatan volume air laut karena mencairnya glatsier es di kutub utara dan selatan—akibat pengaruh pemanasan global-- merupakan salah satu skenario yang paling sering disinggung sebagai gejala adanya pemanasan global. Pola angin yang tidak terduga dan pergeseran musim yang mengakibatkan perubahan iklim, dapat dipastikan merupakan akibat pemanasan global yang sedang terjadi.

Sebagaimana dipaparkan oleh Sir Nicholas Stern, apabila sikap manusia dalam mempengaruhi bumi masih seperti sekarang (tanpa perubahan) dan trend konsumsi energi dan penggunaan bahan bakar, perubahan fungsi lahan, penggundulan hutan serta industri tidak berubah --business as usual-- maka dalam tahun 2100—sekitar 93 tahun mendatang—akan terjadi kenaikan suhu bumi, yang berakibat kenaikan terhadap permukaan laut.
Apabila hal tersebut terjadi maka yang paling menderita adalah negara-negara yang berkembang dan negara kepulauan seperti Indonesi, kepulaua Pasifik termasuk Jepang dan negara negara kepulaun kecil seperti Vanuatu dan Micronesia.

Oleh karena itu, sebagai negara kepulauan sekaligus juga negara berkembang, kita harus segera mengadakan proses adaptasi. Anggap saja gelombang pasang yang terjadi dalam beberapa minggu ini, kiranya hanya merupakan “uji coba” bila terjadi dampak terhadap gejala perubahan iklim dan pemanasan global.

Gelombang pasang, walaupun tidak membawa korban jiwa, dapat menimbulkan penderitaan dan kehilangan harti. Oleh karena itu sebaiknya gejala ini langsung dijadikan momentum dan merupakan peringatan dini pada mereka yang berada di kawasan pinggiran pantai untuk mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan mereka susungguhnya.

Jadi apa yang harus dilakukan? Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai memanjang ribuan kilometer, dengan banyak penghuni dan rakyat berada di pinggiran pantai, ada beberapa hal yang perlu dilakukan: Pertama, kita harus mengadakan adaptasi terhadap lingkungan dimana kita tinggal. Garis pantai yang mempunyai sejarah terkena gelombang pasang, sehingga rumah dan tempat tinggal menjadi hancur, merupakan kawasan yang sudah pasti tidak layak untuk tempat tinggal. Resikonya adalah harus ada relokasi dari tempat yang terkena dampak bencana dan radius sekitarnya ke kawasan yang lebih aman. Berapa jarak yang harus dihindari, harus dilakukan penelitian yang serius. Sebab, penetapan yang tidak semestinya antara jarak pantai dan bangunan hanya akan mengakibatkan bencana kemanusiaan akan berulang.

Proses adaptasi ini memang bukan kegiatan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga menjadi kewajiban pemerintah karena hal ini adalah merupakan upaya meminimalkan (mitigation) terhadap resiko bencana, tinimbang pemerintah menanggulangi dan memberikan bantuan bencana setelah terjadi. Upaya mitigasi ini merupakan suatu yang dianjurkan oleh Protokol Kyoto, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada November 2005. Sebagai contoh, negara-negara Micronesia, melalui Program Lingkungan Pasifik telah membiayai program adaptasi sebesar 34 juta dollar AS dalam upaya adaptasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mempersiapkan jalan jika terjadi banjir, membuat dinding atau membuat penahan gelombang, dan memperbaiki system drainase, memindahkan kebun, menanam tanaman yang tahan terhadap kondisi asin dan memperbaiki sistem industri perikanan mereka.

Sebagian pantai Indonesia seperti Parang Tritis, Sanur, Nusa Tenggara dan Pantai Barat Sumatera seperti Padang, merupakan pantai-pantai yang indah yang kerap dikunjungi wisatawan (domestik dan mancanegara) bahkan menjadi sumber pendapatan ekonomi. Upaya penyesuaian yang harus dilakukan di tempat ini adalah: menyediakan papan-papan peringatan termasuk skema tempat-tempat evakuasi apabila terjadi bencana. Di kawasan yang merupakan obyek wisata padat dan intensif, harus disiapkan para bay watch yang terlatih dan menyediakan tenaga relawan atau pegawai tanggap darurat yang terlatih sehingga apabila terjadi bencana tidak memakan korban jiwa.

Upaya kedua, adalah secara terus menerus memsosialisasikan ramalan cuaca dan iklim yang bisa didapat oleh publik dengan mudah. Badan Metereologi dan Goefisika (BMG) sudah menyediakan jaringan ramalan cuaca online berbasis internet, tetapi ini tidak dapat dijangkau oleh publik biasa misalnya nelayan. BMG memang sudah aktif ditanya ketika terjadi bencana dan memberikan keterangan yang banyak. Sudah tentu keterangan setelah terjadi bencana dan kerugian merupakan hal yang sia-sia. Agak dilematis bagi pemerintah yang tidak mempunyai wewenang untuk mengendalikan informasi, tetapi setidaknya pemerintah perlu mensubsidi penyiaran ramalan cuaca dan iklim (forecasting climate and weather) secara terus menerus untuk kepentigan publik. Beberapa hari menjelang banjir besar di Jakarta dan beberapa kawasan lain beberapa awal Februari lalu, beberapa stasiun televisi sangat rajin menayangkan ramalan cuaca. Tetapi karena kegiatan ini –mungkin tidak menguntungkan—kalah oleh desakan tayangan iklan yang menghasilkan pendapatan, maka tayangan itu pun lalu menghilang.

Ketiga, mengupayakan negosiasi tingkat internasional untuk memperoleh dukungan dalam mendapatkan dana adaptasi. Sebagaimana diketahui Negara-negara industri lah yang menjadi pemicu utama pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya insentif dan konpensasi untuk negara berkembang –seperti Indonesia untuk mempertahankan daya serap karbon (carbon sequestration) karena terpaksa—untuk memenuhi kebutuhan ekonomi—terus menebang hutan alamnya. Momentum Konvensi PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan didakan di Bali bulan Desember mendatang merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memperjuangkan hak mempertahankan hutan alamnya dan bernegosiasi agar upaya pencegahan kerusakan hutan (avoided deforestration) yang dilakukan oleh berbagai daerah untuk mempertahankan hutan alamnya memperoleh kompensasi dan diakui medapatkan kredit carbón yang diakui dalam peraturan Protocol Kyoto.***

KORAN TEMPO 21 Mei 2007

Menantang Kodrat Alam

Fachruddin M. Mangunjaya, pencinta lingkungan

Banjir yang mengakibatkan kerugian di Jakarta bukan pertama kali ini terjadi. Awal Februari 2007, kerugian menurut Bappenas mencapai Rp 8,8 triliun. Adapun tahun ini banjir diasumsikan mengakibatkan kerugian paling tidak Rp 7,2 miliar (Koran Tempo, 3 Februari). Februari tahun lalu warga di perumahan kelas menengah, seperti di Kelapa Gading Jakarta dan beberapa kompleks perumahan yang dipromosikan oleh pengembangnya tidak banjir, ternyata tergenang air limpahan. Sedangkan tahun ini ruas jalan tol Sedyatmo menuju Bandar Udara Soekarno Hatta pada kilometer 26-27 digenangi air setinggi lebih dari 1 meter.

Pelajaran yang bisa diambil adalah, meskipun tinggal di apartemen mewah, ternyata masyarakat tidak terhindar dari kejaran air. Banjir menggenangi ruas jalan km 26-28 menuju bandar udara--seperti dilaporkan media--akibat banyaknya lahan alami di sekitarnya yang telah berubah fungsi, dari rawa-rata tempat penyerapan air menjadi gedung yang menutup jalur limpahan air. Banjir terjadi akibat keberanian pengembang dan pemerintah menantang kodrat alam, membangun dan memberikan izin pembangunan di kawasan yang sesungguhnya menjadi tempat penampungan air, sehingga mengakibatkan bencana.

Kalau mau menyadari, peristiwa banjir ini memberikan pelajaran kepada banyak pihak tentang karakter alam di mana manusia harus menyelaraskan diri (adaptasi). Sifat air, misalnya, akan menuju ke kawasan yang lebih rendah. Dan bila satu tempat penampung air ditimbun oleh sebuah bangunan, misalnya mal atau apartemen, air yang mestinya terserap di kawasan tersebut akan tetap mencoba kembali ke sana. Bila tidak, karena di kawasan itu ternyata telah dibangun dan direkayasa cukup tinggi, wilayah lainlah yang akan menjadi korban.
Mengamati akselerasi bencana banjir yang tidak pernah selesai, saya melihat ada faktor utama yang bisa jadi semakin memperparah kondisi Jakarta. Pertama, laju arus urbanisasi. Kedua, masalah komitmen dan penegakan aturan terhadap tata ruang. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir sejak 1996, Jakarta tetap berkembang pesat dan tetap menjadi tujuan utama arus urbanisasi. Penduduk kota ini terus bertambah 300-400 ribu jiwa per tahun. Pada 2006, jumlah penduduk Jakarta, menurut Dinas Badan Pelestarian Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 11 juta jiwa pada siang hari dan 8,9 juta jiwa pada malam hari.

Konsekuensinya, pemolaan tata ruang Jakarta pastilah sangat overload dengan jumlah penduduk yang luar biasa ini. Kita akan terus menyaksikan apartemen tetap dibangun, dan bangunan-bangunan baru tetap berdiri untuk memenuhi standar kebutuhan penduduk yang terus bertambah.

Sayangnya, pembangunan ini terkadang tidak mempertimbangkan unsur yang ramah terhadap lingkungan dan bahkan tanpa analisis lingkungan yang memadai. Kerap kita saksikan pembangunan sarana publik yang akhirnya mengabaikan kepentingan sosial, mengambil badan jalan dan pedestrian, serta menyulap kawasan resapan air dan lahan terbuka hijau (LTH) menjadi gedung-gedung beton yang perkasa.

Pembangunan di Jakarta pun kerap tidak konsisten dengan konsep tata ruangnya sendiri. Padahal Jakarta mentargetkan LTH sebesar 13,94 persen (Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010). Tapi kini diperkirakan sisa di lapangan hanya 9,12 persen (2006), masih jauh dari standar ideal kota sehat sebesar 30 persen (Joga, 2006). Dalam hal ini, pengambil kebijakan perlu konsisten dalam mempertahankan ruang terbuka hijau dan menghentikan pemberian izin bangunan kepada kawasan-kawasan yang berpotensi menyerap air.

Melihat pelajaran di atas, sangatlah tidak arif bila manusia modern mencoba melawan kodratnya untuk menantang alam. Sebaliknya, yang harus diingat adalah manusia mesti berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan (mitigasi). Kita tentu saja boleh membangun gedung-gedung bertingkat memenuhi permukaan bumi dengan berbagai karya manusia. Tapi alam tempat karya tersebut ditanam mempunyai keterbatasan di mana unsur-unsurnya bisa saja berubah apabila kita tidak cukup bijak memanfaatkannya. Misalnya, ketika semua bangunan tidak menyisakan lahan untuk resapan, sementara air tanah terus-menerus diisap dipompa ke atas untuk keperluan manusia, persediaan air tanah akan terkuras. Di kawasan industri di Kabupaten dan Kota Bandung, permukaan air tanah menurun drastis mencapai 40-80 meter di bawah permukaan tanah. Kecenderungan ini semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya akibat banyaknya air yang disedot melalui sumur-sumur bor (KLH, 2006).

Kellert dalam Building for Life (2005) mengistilahkan sebuah bangunan yang mampu menyelaraskan kepentingan alam dan manusia dengan definisi biofilic design. Menurut dia, ada dua hal yang harus dipenuhi. Pertama, kita harus meminimalkan dan memitigasi efek lingkungan dari sebuah konstruksi bangunan yang modern. Kedua, kita juga harus mendesain dan menyediakan lingkungan agar manusia senantiasa mempunyai kontak yang cukup dengan alam.

Dalam tahun terakhir, tren pendekatan pengembangan pembangunan desain alternatif yang berkelanjutan dan hijau akan terus digandrungi, karena terbukti tak hanya ramah terhadap alam dan lingkungan, tapi juga memiliki dampak pada kesehatan penghuninya. Pembangunan biofilik dirancang mengikuti dimensi dasar, yaitu bangunan yang organik (organic design). Ini pembangunan yang mengikuti pola-pola alamiah, mengikuti kontur lanskap yang ada, yang secara simbolis juga menandakan bahwa manusia cukup beradaptasi dengan lingkungannya tanpa intervensi yang merusak bahkan menantang alam. Pola pembangunan seperti ini, misalnya, bisa secara kreatif memanfaatkan penerangan alamiah serta memanfaatkan ventilasi dan materi bangunan dengan memanfaatkan lingkungan: tidak menebang vegetasi pohon-pohon di sekelilingnya, berdiri dan mempunyai dekorasi dan ornamen yang menyesuaikan dengan alam sekitarnya ***

KORAN TEMPO 16 FEBRUARI 2008

Sunday, January 20, 2008

Masa Depan Hijau Untuk Agama dan Bumi

Ketika Menteri Kehutanan MS. Kaban, bertanya kepada penyandang gelar haji yang menjadi pelaku illegal loging: mengapa dia melakukannya?Dijawab, bahwa hutan yang Dia tebang merupakan karunia Tuhan, dan manusia harus dapat memanfaatkannya (The Jakarta Post 9/4/06)

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya


Kita tidak berdebat mengenai aspek pidana, bahwa Pak Haji memang melanggar undang-undang sehingga Dia dikenai hukuman sesuai UU yang berlaku di negara RI. Tetapi, dari sudut pandang agama –Islam sic—sebenarya ada kedangkalan pengetahuan yang diperoleh Pak Haji dalam menafsirkan ‘kekuasaannya’ sebagai khalifah di muka bumi. Realitas inilah yang ingin diungkap oleh pakar agama dan lingkungan. Bahwasanya, agama-agama (termasuk Islam) sangat tertinggal dalam memberikan tafsir atas kekuasaan manusia terhadap alam. Hal yang sama terjadi pada agama samawi yang lain, baik Yahudi maupun Kristiani.

Agama-agama samawi menjadi tertuduh atas warisan dan cara pandang terhadap krisis lingkungan yang ada di bumi, karena memberikan tafsir antroposentris terhadap alam dan ciptaan Tuhan di bumi. Tesis inilah yang diangkat oleh Lynn White, Jr. dalam esai pendek bertajuk: The historical root of our ecologic crises, di jurnal Science pada tahun 1967, yang masih diingat betul oleh para aktifis hingga filosof yang terlibat memikirkan tentang lingkungan hidup. Kata White: krisis ekologi yang tengah terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahan manusia menanggapi persoalan lingkungannya. Apa yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungannya bergantung dengan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sediri dalam hubungannya dengan apa yang ada di sekitar mereka. Lebih lengkap dikatakannya, bahwa akar dari sumber krisis lingkugan ini dipengauhi oleh keyakinan tentang alam kita dan takdirnya—yaitu oleh agama.

Pertengahan April 2006 yang lalu, sekitar seratus empat puluh lima orang yang terdiri dari akademisi, ilmuwan dan agamawan berkumpul dalam konferensi inagurasi University of Florida bertajuk: Religion and Nature Conference. Bron Taylor, guru besar agama dari Departement of Religion University of Florida yang punya hajat atas konferensi yang mengundang pakar lingkungan dan agama di seluruh dunia itu, mengemukakan pendapat mengenai perkembangan dan prospek untuk "menghijaukan agama" yang sering sekali digembar gemborkan sebagai prasyarat bagi masyarakat dengan lingkungan berkelanjutan. Taylor mensinyalir bahwa gerakan kembali melihat agama sebagai prasyarat untuk memelihara lingkungan dan bumi merupakan salah satu kekuatan yang dapat membuahkan hasil disamping adanya etika biosentris yang mempengaruhi sub kultur serta budaya pop sebagaimana yang disuguhkan dalam banyak kegiatan atraksi budaya dan lingkungan.

Tentu saja ada harapan besar, agar para pemimpin agama untuk ikut terjun memikirkan kembali posisi agama dalam melihat ciptaan Tuhan. Kini kita melihat adanya kepunahan makhluk hidup dan ketergusuran ekosistem mereka akibat kerakusan manusia. Padahal kitab suci agama –khususnya al-Qur’an— mengajarkan bahwa semua makhluk hidup dilangit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada Ilahi (Q.s: 62:1). Bahwasanya, Tuhan telah menganggap burung yang terbang dengan kedua sayapnya serta binatang yang ada di bumi semuanya itu adalah umat juga, seperti halnya manusia (Q.s. 6:38). Lalu Bagaimana kemudian manusia dapat mempunyai hak, dengan arogannya memperluas kebun, mengeruk bumi, mencemari udara, menebang pohon-pohon alam (yang tidak pernah ditanam oleh tangannya), untuk keperluan hidupnya. Bahwa disanalah ada makhluk Tuhan, burung-burung dan sungai-sungai –dimana ikan dan kodok bertasbih kepada Tuhan setiap saat?

Pengaruh Terhadap Kebijakan
Gregory Hitzhusen dan James Skillen peserta dari Cornell University, mensinyalir bahwa tesis yang dikemukakan oleh White sebenarnya masih bergaung hingga kini. Ilmuwan Cornel itu menunjuk contoh pemikiran yang mengklaim bahwa administrasi Bush dan Reagen yang beroposisi kepada lingkungan –termasuk tidak mau menandatangani Protocol Kyoto, pen—sebagiannya adalah karena pengaruh penafsiran terhadap wahyu Kristiani tentang alam akhir dan berkesimpulan bahwa kiamat sudah dekat. Pengetahuan tentang hari akhir yang sempit ini ujungnya membuat usaha menyokong perlindungan lingkungan, semakin terpinggirkan dari arus kebijakan. Namun ini semuanya pada esensinya terdorong karena miskinnya sikap spiritual untuk mempunyai niat menyelamatkan bumi dan isinya. David Orr dalam Journal Conservation Biology (April 2005), memandang realitas diatas pula yang mengakibatkan sikap para politisi sayap kanan yang dikuasai oleh kaum Republikan dikongres Amerika—termasuk diantaranya pimpinan Kristen konservatif— yang kemudian cuek terhadap penyelamatan keanekaragaman hayati.

Tetapi menurut pendapat Jay MC Daniel, pihak Kristiani menganggap dampak yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sifat ambigu barat. Secara historis, kata Mc Daniel, pendekatan Kristen Barat terhadap alam sangatlah ambigu. Sementara pernyataan bahwa Kristianitas paling bertanggungjawab terhadap sikap-sikap negatif terhadap alam merupakan tuduhan yang berlebihan, juga berlebihan untuk menyatakan bahwa Kristianitas sangat tidak terlibat.

Perdebatan tentang pengaruh spiritualitas yang melingkari pikiran dan persepsi manusia dalam mengambil kebijakan, sesungguhnya juga terjadi di dunia Muslim. Keinginan dan kajian terhadap lingkungan, penyelamatan makhluk hidup yang ada disisi manusia sangat sulit ditemukan. Banyak sekali kajian agama yang hanya memberikan pengaruh kepada moralitas antara sesama manusia, namun tidak banyak pengkajian dalam memberikan keputusan terhadap ciptaan Ilahi yang lain. Hingga sekarang sangat sulit mencari dana-dana filantropi di dunia muslim yang kaya raya untuk keperluan konservasi dan penyelamatan ciptaan Tuhan dimuka bumi. Hal ini barangkali karena kesadaran yang sedikit akibat ajaran moral dan penghormatan terhadap makhluk bukan manusia menjadi bukan prioritas.

Maka tidaklah asing apabila kita menjumpai keputusan yang menomor duakan persoalan penyelamatan satwa dan alam yang diambil oleh penguasa di Republik Indonesia—negara muslim terbesar di dunia—baik di pusat maupun di daerah. Kita menyaksikan ada puluhan makhluk hidup yang mati diracun, dijerat dan dibunuh beramai-ramai oleh penduduk, tanpa merasa berdosa atas tindakan yang ‘konyol’ bahwasanya, manusia dapat memusnahkan spesies langka yang tidak akan kembali lagi ke bumi apabila mereka musnah.

Pandangan Biologi Konservasi
Studi agama dan ekologi kini menjadi muncul sebagai kajian menarik dikalangan akademisi. Beberapa pakar seperti Mary Evelyn Tucker dari Forum on Religion and Ecology, Graduate Theological Union, David Barnhill University of Wisconsin Oshkosh, Mark Wallace Swarthmore College dan David Haberman Indiana University, membahas mengenai fenomena munculnya studi agama dan alam sebagai pembahasan akademis. Akademisi adalah ‘akademisi’ yang cenderung membahas segala sesuatunya secara teoritis. Tetapi kajian akademis tentu saja sangat penting untuk memberikan pemahaman yang luas tentang pandangan agama terhadap bumi dan ciptaan lainnya. Dalam hal ini studi agama mendapatkan suatu ruh baru guna meyakinkan pengambil keputusan: dengan memberikan tafsir rasional terhadap agama yang akan memperkuat argumen agar kebijakan mereka tidak bias dan mengorbankan lingkungan dan planet bumi tempat satu-satunya manusia dapat hidup beribu generasi.

Mark Wallace, mengingatkan akan wahyu yang terlampau kaku diterjemahkan kedalam bahasa teks yang terkadang tidak dapat diterima dan tidak rasional, misalnya dalam mendapatkan pemahaman tentang kitab Kejadian (1:1-30). Teks ini, kata Marks perlu dirumuskan dalam konteks biologi konservasi. Misalnya Tuhan menciptakan tanam-tanaman dengan begitu saja, difahami secara tekstual tetapi yang dimaksud tanam-tanam dalam teks, dapat dibaca oleh para ahli biologi konservasi yaitu dengan terbentuk adanya suatu keseimbangan sedemikian rupa, bahwa balance yang terjadi di bumi merupakan khasanah yang diciptakan berupa tumbuhan yang memberikan kemakmuran bagi semua makhluk di bumi. Maka teks harus dijelaskan bahwa makanan tersedia bila terciptanya rantai makanan yang utuh karena adanya jaminan terhadap ekosistem yang sehat sehingga mata rantai makanan bagi semua makhluk hidup tidak putus.

Itulah jaminan Tuhan, dan manusia bisa mengintervensi, merusak rantai makanan tersebut misalnya, dengan memutus salah satu komponen ekosistem: merusak hutan atau memburu makhluk hidup tersebut tanpa pertimbangan keberlanjutan. Padahal fungsi universal ekosistem adalah menjaga keseimbangan –termasuk menyediakan makanan —rejeki pada makhluk lain: baik manusia dan makhluk bukan manusia. Proses inilah yang diistilahkan dalam disiplin ilmu ekologi dangan menyerap dan mentransfer energi atau menyediakan dan menyerap nutrisi. Selain itu kesatuan ekosistem yang asli juga mampu menjadi penjaga –baik tangkapan—maupun pelepasan air, dan tentu saja sebagai pengikat karbon yang dibuang oleh makhluk lain di bumi dan mengeluarkan oksigen untuk semua makhuk bernafas.

Surga yang Hilang
Masih ingat, ketika media menyebarkan sebuah "trik berita" untuk menarik perhatian masyarakat dunia, ketika mengekspose penemuan spesies baru oleh para ilmuwan Conservation International dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Papua, beberapa bulan yang lalu? Media menyungguhkan judul kawasan Papua sebagai surga yang hilang, atau dunia yang hilang (the lost world) yang ditemukan kembali. Image, mencari sebagian dunia yang hilang, masih terpatri di benak manusia, yang nenek moyangnya—Adam dan Hawa — terusir dari surga. Dampak dari judul yang menarik tersebut, berbulan-bulan media barat mengekspos tentang kekayaan dan keindahan alam Mamberamo, Papua yang terkuak seperti sebuah misteri sehingga mendapatkan liputan ribuan media di seluruh dunia dan "memancing" kapal Green Peace, Rainbow Warrior, untuk singgah di dermaga Papua.

Mark Stoll dari Texas Tech University, mengungkapkan tentang tradisi Teologi Kristen Puritan dalam memandang Taman Nasional, sebagai "penggalan surga" yang hilang. Tradisi penghargaan dan kerinduan pada taman surga ini rupanya berpengaruh dalam nostalgia dan pikiran para seniman abad delapan belas, sehingga hasil lukisan para seniman – yang melukiskan kekaguman terhadap keindahan Taman Nasional Yosemite tahun 1890, dan Taman Nasional Sierra Nevada –mendorong berdirinya Sierra Club tahun 1892 dan pembentukan pelayanan Taman Nasional tahun 1916.

Pengaruh religiusitas dan keterkaitan manusia dan alam dibahas oleh Stephen Kellert, guru besar kehutanan dan lingkungan dari Yale University yang menjadi pembicara kunci untuk mengangkat tentang nostalgia agama dan sains dalam memberikan pencerahan akan adanya kekekalan hubungan antara manusia dengan alam atau ciptaan.

Kellert bersama E.O. Wilson adalah guru besar yang sangat terkenal dengan risetnya tentang biophilia: yang meneliti tentang hubungan ikatan manusia dan alam, mengemukakan tentang hubungan antara ciptaan dan kesatuan antara: agama, sains dan budaya.

Bahwasanya dasar universal manusia yang terwariskan secara genetis (secara pribadi saya mengatakah ini adalah fitrah manusia-pen), adalah: keinginan manusia menghargai sains dan agama sebagai wahana untuk menghubungkannya dengan alam sebagai ciptaan. Namun, ada realitas yang mempengaruhi kehendak ini yaitu: variasi individual dan kontruksi budaya. Akal manusia memberikan peluang untuk melatih kecenderungan ini, apakah kita akan memupuk kebebasan berkehendak dalam merespon sifat genetis yang buruk yang bertendensi merusak, atau sebaliknya. Dalam arti, budaya manusia, kata Kellert juga berkontribusi mendorong kapasitas manusia untuk sekaligus menjadi bangsa religius dan saintifik. Namun dapat pula mendorong pada ekspresi untuk memilih pada hal yang merusak.

Kellert mengatakan, bahwa kehendak tersebut merupakan sifat universal biologi manusia yang merupakan produk evolusi: variabilitas berkait dengan ekspresi fungsional makhluk hidup. Implikasinya, berdasarkan persfektif ini, —yang sering membawa pada perdebatan— bahwa tidak semua kontruksi individual dan budaya sains dan agama adalah absah: bahwasanya hubungan keduanya ini tidak berfungsi dan merusak. Oleh karena itu, implikasi ini memang akan sangat berpengaruh hanya bila sains, agama, budaya dan alam dianggap sebagai landasan etika untuk merawat, menghargai dan melestarikan ciptaan tersebut.***

*)Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil diskusi dan sebagian makalah Inaugural Conference on Religion and Nature, University of Florida 6-9 April 2006, yang dihadiri oleh penulis.

Menghapus Utang Melestarikan Alam

Forum APEC 8-9 September 2007, di Sydney Australia membawa berita baik untuk Indonesia. Pemerintah AS, melalui Presiden George Bush menawarkan bantuan 20 juta dolar AS untuk mendanai program yang terkait dengan pencegahan penggundulan hutan melalui skema debt for nature swap. Apabila skema ini benar-benar terjadi, bantuan tersebut sesungguhnya merupakan suatu kewajaran yang seharusnya sudah diperoleh Indonesia sejak lama. Upaya memperjuangkan debt fot nature swap (DNS) di Indonesia, sudah bergulir tahun 1990an. Beberapa LSM internasional, terutama yang berbasis di Eropa dan Amerika yang bergerak di bidang konservasi telah lama ‘membujuk’ dan meyakinkan pemimpin negara mereka akan pentingnya skema ini.

DNS digunakah untuk memperoleh pelunasan dengan cara pertukaran utang luar negeri suatu
negara dan mengalihkan pembanyaran cicilan pada kegiatan pengelolaan kawasan-kawasan hutan lindung dan taman nasional. Sayang, karena mekanisme ini memelukan negosiasi panjang, maka banyak kesempatan Indonesia dalam membangun dan menjaga hutannya telah hilang. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan Indonesia dalam memperoleh pendanaan dan kapasitas sumber daya manusia yang layak untuk menjaga kelestarian hutannya.

Alasan ketiadaan dana dan kekurangan sumber daya yang kompeten juga menyebabkan parahnya pengawalan kawasan-kawasan taman nasional yang ada di Indonesia. Dalam dekade terakhir, kita sangat sering membaca berita perambahan terjadi di hutan lindung dan taman nasional. Bahkan, di tempat yang sudah menjadi aset negara dan dunia tersebut, terjadi kebakaran hampir setiap tahun. Lemahnya manajemen kawasan ini menyebabkan sumbangan emisi rumah kaca (CO2) dari Indonesia menjadi terpuruk pada peringkat ketiga setelah AS dan Cina. Penyebab utamanya adalah perubahan hutan alam menjadi perkebunan, pertanian, dan masalah manajemen kehutanan termasuk perambahan hutan alam dan kebakaran hutan.
Perubahan iklimKetika perubahan iklim menjadi isu global, maka menghapus utang dan mengalihkan pendanaan cicilan utang untuk pelestarian hutan adalah menjadi suatu keniscayaan yang harus diberikan oleh negara-negara kaya. Berdasarkan catatan dari Bank Indonesia posisi utang luar negeri Indonesia Desember 2006 tercatat 125,25 miliar dolar AS. Sedangkan untuk utang swasta tercatat 51,13 miliar dolar AS pada Desember 2006. Jepang merupakan kreditur terbesar yang meminjamkan 15,58 miliar dolar AS.

Sejak tahun 1987, telah lebih dari 1 miliar dolar AS telah dihasilkan dari kegiatan DNS di lebih dari 30 negara. Pengalaman pertama di dunia mengenai DNS diterapkan di Bolivia yang kesulitan membayar utang mereka pada tahun 1987. Negara ini merupakan salah satu pemilik hutan tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Bolivia awalnya mempunyai utang sebesar 650 ribu dolar AS dan melalui mekanisme DNS, utang tersebut ‘ditebus’ seharga 100 ribu dolar AS oleh Conservation International, sebuah NGO internasional yang bergerak dalam konservasi alam.

Sejalan dengan upaya itu, pemerintah Bolivia berkomitmen untuk mengonservasi tiga kawasan hutan mereka dan membantu manajemen Beni Biosphere Reserve, dengan mengeluarkan uang nasional mereka senilai 250 ribu dolar AS. Dengan cara itu, utang Bolivia dianggap lunas oleh kreditor dan positifnya, kegiatan konservasi serta upaya perlindungan hutan semakin bertambah.

Pada tahun 2006, Conservation International dan The Nature Conservancy (TNC) juga telah menyokong pemerintah AS dan Guatemala dalam menjembatani penghapusan utang melalui pelestarian alam yang menghasilkan dana 24 juta dolar AS untuk melestarikan alam dan hutan tropis yang ada di Amerika Tengah. Melalui perjajian itu pemerintah Guatemala, memberikan dana segarnya dalam bentuk uang nasional mereka senilai 24 juta dolar AS dalam waktu 15 tahun untuk membiayai kawasan konservasi yang telah ditetapkan.

Indonesia telah melakukan realisiasi program DNS dan rintisan untuk ini telah dimulai sejak bulan Oktober 2002 yang dilakukan antara pemerintah Jerman dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Hanya, program utama dari DNS ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan di Indonesia melalui bantuan pendanaan bagi usaha mikro dan kecil yang memiliki akses yang terbatas terhadap jasa perbankan dalam penyediaan pendanaan bagi teknologi berwawasan lingkungan.

Sikap AS merupakan langkah positif dalam upaya membantu Indonesia mempertahankan hutan alamnya. Dan pemerintah AS pun telah lama menggarap kebijakan ini melalui Kongres dalam Undang-undang Kon­servasi Hutan Tropis (Tropical Forest Conservation Act). Tidak lebih, sesungguhnya dunia memerlukan peran hutan tropis dalam mencegah terjadinya pe­rubahan iklim. Oleh sebab itu, tentu saja negara pemilik hutan tersebut perlu dana yang lebih banyak untuk menghadapi gangguan dan tekanan terhadap keberlanjutan hutan mereka.

Tentu saja komiten pemerintah AS perlu disambut baik. Dan Indonesia perlu membuktikan bahwa penghapusan utang ini bisa mempunyai bukti keberhasilan yang terukur: mengurangi penggundulan hutan. Kita berharap, cara ini bukan saja harus dilakukan oleh pemerintah AS tetapi juga negara-negara donor yang lain seperti Jepang. Jepang merupakan negara yang seharusnya sangat bertanggun jawab dengan kehancuran hutan di Indonesia. Negara ini 'sagat rakus' dengan kayu log yang mereka impor dari negarat-negara Asia pada tahun 1970-an. Oleh karena itulah negeri matahari ini, hingga sekarang masih memiliki tutupan hutan 70 persen bagi negerinya. Ingatan penulis masih segar, sewaktu banjir kayu di Kalimantan, kapal-kapal Jepang hampir setiap hari bersandar untuk mengangkut kayu log ke negara itu. Sekarang, dengan adanya perubahan iklim, negara pulau seperti Jepang, tentu tidak terlepas dari ancaman pemanasan global. Jadi solusinya adalah, berbagi atau tenggelam bersama-sama.
(Republika, 06 Oktober 2007)