Forum APEC 8-9 September 2007, di Sydney Australia membawa berita baik untuk Indonesia. Pemerintah AS, melalui Presiden George Bush menawarkan bantuan 20 juta dolar AS untuk mendanai program yang terkait dengan pencegahan penggundulan hutan melalui skema debt for nature swap. Apabila skema ini benar-benar terjadi, bantuan tersebut sesungguhnya merupakan suatu kewajaran yang seharusnya sudah diperoleh Indonesia sejak lama. Upaya memperjuangkan debt fot nature swap (DNS) di Indonesia, sudah bergulir tahun 1990an. Beberapa LSM internasional, terutama yang berbasis di Eropa dan Amerika yang bergerak di bidang konservasi telah lama ‘membujuk’ dan meyakinkan pemimpin negara mereka akan pentingnya skema ini.
DNS digunakah untuk memperoleh pelunasan dengan cara pertukaran utang luar negeri suatu
negara dan mengalihkan pembanyaran cicilan pada kegiatan pengelolaan kawasan-kawasan hutan lindung dan taman nasional. Sayang, karena mekanisme ini memelukan negosiasi panjang, maka banyak kesempatan Indonesia dalam membangun dan menjaga hutannya telah hilang. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan Indonesia dalam memperoleh pendanaan dan kapasitas sumber daya manusia yang layak untuk menjaga kelestarian hutannya.
Alasan ketiadaan dana dan kekurangan sumber daya yang kompeten juga menyebabkan parahnya pengawalan kawasan-kawasan taman nasional yang ada di Indonesia. Dalam dekade terakhir, kita sangat sering membaca berita perambahan terjadi di hutan lindung dan taman nasional. Bahkan, di tempat yang sudah menjadi aset negara dan dunia tersebut, terjadi kebakaran hampir setiap tahun. Lemahnya manajemen kawasan ini menyebabkan sumbangan emisi rumah kaca (CO2) dari Indonesia menjadi terpuruk pada peringkat ketiga setelah AS dan Cina. Penyebab utamanya adalah perubahan hutan alam menjadi perkebunan, pertanian, dan masalah manajemen kehutanan termasuk perambahan hutan alam dan kebakaran hutan.
Perubahan iklimKetika perubahan iklim menjadi isu global, maka menghapus utang dan mengalihkan pendanaan cicilan utang untuk pelestarian hutan adalah menjadi suatu keniscayaan yang harus diberikan oleh negara-negara kaya. Berdasarkan catatan dari Bank Indonesia posisi utang luar negeri Indonesia Desember 2006 tercatat 125,25 miliar dolar AS. Sedangkan untuk utang swasta tercatat 51,13 miliar dolar AS pada Desember 2006. Jepang merupakan kreditur terbesar yang meminjamkan 15,58 miliar dolar AS.
Sejak tahun 1987, telah lebih dari 1 miliar dolar AS telah dihasilkan dari kegiatan DNS di lebih dari 30 negara. Pengalaman pertama di dunia mengenai DNS diterapkan di Bolivia yang kesulitan membayar utang mereka pada tahun 1987. Negara ini merupakan salah satu pemilik hutan tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Bolivia awalnya mempunyai utang sebesar 650 ribu dolar AS dan melalui mekanisme DNS, utang tersebut ‘ditebus’ seharga 100 ribu dolar AS oleh Conservation International, sebuah NGO internasional yang bergerak dalam konservasi alam.
Sejalan dengan upaya itu, pemerintah Bolivia berkomitmen untuk mengonservasi tiga kawasan hutan mereka dan membantu manajemen Beni Biosphere Reserve, dengan mengeluarkan uang nasional mereka senilai 250 ribu dolar AS. Dengan cara itu, utang Bolivia dianggap lunas oleh kreditor dan positifnya, kegiatan konservasi serta upaya perlindungan hutan semakin bertambah.
Pada tahun 2006, Conservation International dan The Nature Conservancy (TNC) juga telah menyokong pemerintah AS dan Guatemala dalam menjembatani penghapusan utang melalui pelestarian alam yang menghasilkan dana 24 juta dolar AS untuk melestarikan alam dan hutan tropis yang ada di Amerika Tengah. Melalui perjajian itu pemerintah Guatemala, memberikan dana segarnya dalam bentuk uang nasional mereka senilai 24 juta dolar AS dalam waktu 15 tahun untuk membiayai kawasan konservasi yang telah ditetapkan.
Indonesia telah melakukan realisiasi program DNS dan rintisan untuk ini telah dimulai sejak bulan Oktober 2002 yang dilakukan antara pemerintah Jerman dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Hanya, program utama dari DNS ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan di Indonesia melalui bantuan pendanaan bagi usaha mikro dan kecil yang memiliki akses yang terbatas terhadap jasa perbankan dalam penyediaan pendanaan bagi teknologi berwawasan lingkungan.
Sikap AS merupakan langkah positif dalam upaya membantu Indonesia mempertahankan hutan alamnya. Dan pemerintah AS pun telah lama menggarap kebijakan ini melalui Kongres dalam Undang-undang Konservasi Hutan Tropis (Tropical Forest Conservation Act). Tidak lebih, sesungguhnya dunia memerlukan peran hutan tropis dalam mencegah terjadinya perubahan iklim. Oleh sebab itu, tentu saja negara pemilik hutan tersebut perlu dana yang lebih banyak untuk menghadapi gangguan dan tekanan terhadap keberlanjutan hutan mereka.
Tentu saja komiten pemerintah AS perlu disambut baik. Dan Indonesia perlu membuktikan bahwa penghapusan utang ini bisa mempunyai bukti keberhasilan yang terukur: mengurangi penggundulan hutan. Kita berharap, cara ini bukan saja harus dilakukan oleh pemerintah AS tetapi juga negara-negara donor yang lain seperti Jepang. Jepang merupakan negara yang seharusnya sangat bertanggun jawab dengan kehancuran hutan di Indonesia. Negara ini 'sagat rakus' dengan kayu log yang mereka impor dari negarat-negara Asia pada tahun 1970-an. Oleh karena itulah negeri matahari ini, hingga sekarang masih memiliki tutupan hutan 70 persen bagi negerinya. Ingatan penulis masih segar, sewaktu banjir kayu di Kalimantan, kapal-kapal Jepang hampir setiap hari bersandar untuk mengangkut kayu log ke negara itu. Sekarang, dengan adanya perubahan iklim, negara pulau seperti Jepang, tentu tidak terlepas dari ancaman pemanasan global. Jadi solusinya adalah, berbagi atau tenggelam bersama-sama.
(Republika, 06 Oktober 2007)
No comments:
Post a Comment