Thursday, August 6, 2009

Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim

Dikutip dari KORAN TEMPO 4 Agustus 2009

Oleh Fachruddin M. MangunjayaPencinta Lingkungan

Fenomena perubahan iklim memang menjadi keperdulian semua pihak tidak terkecuali para pemimpin agama. Kita semua telah tahu, keburukan yang terjadi sehingga bumi menjadi tidak seimbang dan perubahan yang ada di alam dapat mengakibatkan bencana, adalah akibat perilaku manusia.

Jadi untuk mengelola bumi yang sehat dan lebih baik kedepan diperlukan perubahan perilaku manusia dalam mengelola, mengayomi dan melindungi bumi dari kerusakan.

Tanggal 6-7 Juli lalu, di Istanbul, Turki, telah diadakan Konferensi Islam dan Lingkungan dan dilengkapi response negara negara muslim dengan deklarasi rencana aksi Muslim untuk Perubahan Iklim Global selama tujuh tahun (Muslim Seven Year Action Plan (M7YAP) to Deal with Global Climate Change).
Mereka yang hadir dalam konferensi ini, adalah dari berbagai kalangan termasuk para akademisi, aktifis lingkungan, ahli syariah Islam, perwakilan pemerintah, LSM, media muslim, dari negara-negara muslim, seperti Kuwait, Uni Emirat, Qatar, Bahrain, Saudi Arabia, Maroko, Malaysia, Algeria, Tunisia, India, Indonesia, Mesir, Senegal, Turki, serta jaringan pimpinan muslim Eropa dan Amerika dan juga ulama terkemuka dan mufti seperti Dr Ali Juma’a, Mufti Agung Mesir, Dr Ekrema Sabri, Mufti Palestina, Dr Salman Alouda (ulama Saudi Arabia) Ali Mohamad Hussein Fadlallah, (ulama syiah Lebanon), termasuk juga faqih terkemuka Dr Yusuf Qardhawi yang menyampaikan makalahnya tentang Islam dan penataan lingkungan.

Agama (keyakinan), menjadi salah satu faktor yang dapat merubah perilaku manusia dalam bersikap dan memberikan penghargaan terhadap lingkungan. Selain itu faktor yang lain yang dianggap dapat mempengaruhi perilaku adalah: pendidikan, kekuatan hukum (law enforcement), dan kekuatan pasar.Negara-negara muslim termasuk negara yang harus siaga terhadap perubahan iklim dan kini tengah merasakan perubahan tersebut. Kawasan yang paling banyak terkena dampak tentunya negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Bangladesh dan negara sub Sahara di Afrika. Beberapa negara di Afrika tengah mengalami dampak perubahan iklim karena panjangya waktu kekeringan sehingga mengakibatkan kelangkaan air dan peperangan karena perebutan sumber-sumber air seperti yang terjadi di Sudan dan Somalia. Dalam tahun terakhir ini saja ada 25 juta penduduk di sub Sahara Afrika telah mengalami krisis pangan. Dengan adanya pemanasan global ini, artinya akan lebih banyak lagi kawasan kering akan semakin tandus dan akan semakin memburuk. Pemanasan global bermakna kawasan yang kering akan bertambah kering dan kawasan yang basah akan semakin bertambah kuyup. Bulan November 2007, terjadi banjir di Somalia, Kenya dan Ethiopia yang menghayutkan 1.8 juta orang.

Menghadapi perubahan iklim, diperlukan aksi aksi nyata yang harus dilakukan dengan berbagai pendekatan termasuk dalam pendekatan Islam. Sebagaimana Islam telah mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberikan amanah untuk merawat dan memelihara bumi. Juga didalam al Qur’an disebutkan bahwa Allah menata matahari dan bulan yang beredar menurut perhitungan. Tumbuh tumbuhan dan pohon pohonan tunduk kepadaa Nya dan Allah meninggikan langit dan Dia meletakkannya secara seimbang (mizan) (Qs 55: 4-7) dan Dia menciptakan sesuatu menurut ukuran (Qs 54:49). Oleh sebab itu manusia (yang beriman) diperintahkan selalu memohon doa dengan rendah hati dan rasa takut, dan tidak membuat kerusakan di bumi (Qs 7:55-56)


Green Hajj
Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim merupakan rencana yang terintegrasi dan bersinergi dengan aktifitas lingkungan lain, tentunya dapat dilakukan di masing-masing negara muslim, khususnya dengan penekanan pada kegiatan muslim dalam keseharian praktis. Namun yang paling menarik lagi adalah dalam kegiatan religious yang paling kolosal dan tidak ada tandingannya di dunia adalah mobilisasi ibadah haji yang dilakukan oleh tiga juta kaum mulimin sedunia setiap tahun.
Maka, dalam rencana itu disebutkan tentang recana menerapkan berhaji yang ramah lingkungan (green hajj), dengan cara mendorong agar pelaksanaan haji dapat lebih efisien, baik dalam penyelenggaraan, penghematan bahan bakar, hingga penataan kemasan yang dibawa jamaah haji. Di segi lain, green hajj juga dapat dikembangkan pada upaya standar Islami atau kodifikasi pemanfaatan energi secara efisien (rendah karbon).

Hal lain yang mungkin dikembangkan juga di dunia Muslim adalah pengembangan model kota-kota besar Muslim sebagai kota yang ramah lingkungan (green cities) sebagai model bagi kawasan urban Islam yang lain. Pengembangan label untuk standar barang yang ramah lingkungan dengan standar Islam, serta penerapan praktis--best practice—dengan membuat pedoman ramah lingkungan untuk bisnis yang berasaskan syariat Islam.Pendidikan Islam baik formal maupun non formal seperti madrasah dan masjid dapat menjadi sarana yang sangat baik untuk memberikan bekal penyadaran dan juga aksi terhadap perubahan iklim. Tentu saja para aktifis masjid, madrasah, ustadz perlu diberikan pelatihan dan pengkaderan untuk memahami tentang perubahan iklim juga tingkat aksi yang dapat dilakukan.

Pendanaan merupakan hal yang sangat penting untuk diletakkan. Rencana aksi ini juga memasukkan rencana pendirian yayasan wakaf dan penunjukan dewan pengawas (board of trust) untuk implementasi rencana aksi ini. Sedang dicari jalan untuk pendiriannya dan juga himbauan untuk memberikan pendanaan. Untuk keperluan jangka panjang, studi Islam dan ekologi akan diperkuat. Dalam matrik rencana aksi disebutkan target-target untuk membiayai mahasiswa dunia muslim memperdalam bidang studi Islam dan perubahan iklim termasuk studi ekologi yang luas diangkat dalam perspektif Islam. ***

Wednesday, June 17, 2009

Bahtera Nabi Nuh

Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya

DIKUTIP dari Harian Republika (Jum'at 27 Maret 2009)

Modernisasi dan keterbukaan informasi diiringi dengan teknologi yang canggih, ternyata tidak serta merta membawa keuntungan bagi semua makhluk hidup. Padahal para ahli dan peneliti sejarah alam sependapat: bahwa semua makhluk hidup mempunyai peran dan fungsi masing-masing, ibarat sebuah irama ensamble, atau orkestra, setiap makhluk hidup mempunyai peran penting dalam menjaga harmoni kehidupan. Misalnya, seekor lebah madu, selain bermanfaat sebagai serangga penyerbuk, sehingga benang sari bisa bertemu dengan putiknya—dan membantu perbentukan buah---serangga kecil ini juga menghasilkan madu yang berkhasiat bagi kesehatan manusia.

Di alam yang maha luas ini, makhluk sepele yang mungkin dianggap tidak mempunyai arti apa-apa, bisa jadi ternyata mempunyai fungsi dalam menghidupkan mata rantai ekologis yang terkadang sangat membawa keuntungan bagi manusia. Hingga kini telah banyak diteliti, bahwa ternyata keberadaan satwa mempunyai keterkaitan erat dalam sebuah sistem yang pada ujungnya membantu kesehatan ekosistem dan alam dimana manusia tinggal.

Maka dalam sejarah spiritualitas manusia pun, binatang dan makhluk hidup bernyawa mempunyai kaitan dan keterikatan erat dengan eksistensi manusia. Maka, dalam contoh kenabian, tentang kemuliaan binatan-dan hewan-hewan ini, Allah pun menyayangi mereka ketika terjadi kutukan banjir Nabi Nuh dan memerintahkan kepada Nuh alahissalam, penghulu para nabi dengan berfirman: “Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (Al Qur’an, 11:40).
Ibnu Katsir menguraikan dalam tafsirnya dengan mengutip para ulama salaf, yang berpendapat, bahwa Nabi Nuh as, tidak saja membawa jenis-jenis hewan, tetapi juga menyelamatkan tumbuh tumbuhan dan membawanya dalam bahteranya. Tentu saja dalam upaya agar dengan mereka dibawa kedalam bahtera, berarti tidak mengalami kepunahan terhadap spesies yang ada tersebut.

Penganut konservasi alam—semestinya—memahami bahwa pekerjaan mereka ibarat meneruskan sebuah tugas kenabian yang mulia dari ancaman ‘banjir’ lain yaitu kerakusan dan ketamakan nafsu manusia untuk menguras segala isi alam, menebang pohon, membabat tumbuh-tumbuhan, menggerus perut dan isi bumi dengan mengeluarkan bahan-bahan tambang, dan mengancam segala jenis-jenis makhluk hidup yang ada diatasnya. Alam pun menjadi berubah dan tidak seimbang yang berujung pada pemanasan global yang sangat mengancam eksistensi kehidupan.

Penelitian Pimm dkk yang dipublikasikannya di Science (1995), mengungkap bahwa 5 hingga 50 persen spesies akan mengalami kepunahan akibat kehancuran habitat mereka antar tahun 2000 hingga 2050. Sedangkan Thomas dkk dalam Nature memprediksikan pula bahwa antara 15% hingga 37% spesies akan mengalami kepunahan dalam periode yang sama akibat pemanasan global. Skenario tersebut juga memukul rata kira-kira 25% spesies akan punah pada tahun 2050. Conservation International (2008) memperkirakan, jika di muka bumi ini terdapat 5 juta spesies, maka 25% dari 5 juta spesies adalah = 1.3 juta spesies, kasarnya akibat kerusakan dan perubahan iklim sekarang ini tengah terjadi kepunahan 1 spesies per 20 menit.
Alam, menyediakan fungsi-fungsi yang banyak, dan terkadang lepas dari perhitungan manusia. Contoh yang sangat ektrim misalnya adalah terjadinya perubahan iklim yang diperkirakan akan menelan biaya ekonomi terlampau mahal yang diakibatkan--- dalam skala global--ternyata, setelah dihitung, berkurangnya hutan tropis yang hilang berbanding lurus dengan bertambahnya kandungan racun CO2 di atmosfer.

Pemanasan global misalnya, akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, mengganggu produktifitas pangan, mengakibatkan kelangkaan air bersih, peningkatan organisme pembawa penyakit, dan meningginya permukaan laut yang mengakibatkan abrasi bandang di pesisir, dan perubahan cuaca yang tidak normal.

Sayangnya, upaya melestarikan hutan, tidak semudah membalik telapak tangan, diperlukan perjuangan untuk melindungi hutan alam yang mampu menyerap CO2 yang nilai ekonominya terkadang melebihi nilai butuhkan untuk melindungi hutan itu.

Sebagai warga dunia sewajarnya, kita berbagi kekhawatiran tentang hilangnya hutan yang pada ujungnya dapat menimbulkan persoalan dan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Belum lagi harga ini harus ditanggung oleh generasi mendatang, karena ternyata populasi bumi selanjutnya tidak lagi mempunyai pilihan karena menyelamatkan keanekaragaman hayati yang ada ternyata tidak dapat diselamatkan.

Indonesia mencatat kepunahan spesies cukup signifikan di abad 20, hilangnya dua sub spesies harimau yang ada di Jawa dan Bali, punahnya burung trulek jawa, serta menyusutnya populasi badak di Jawa, ditambah terdesaknya spesies asli (endemik) di Pulau Jawa seperti owa jawa dan elang jawa yang kini hanya bertahan di puncak-puncak hutan alam pegunungan Jawa yang didesak oleh populasi manusia.

Masalahya sekarang, mampukah kita mencegah kepunahan ini? Desakan populasi manusia yang semakin membengkat, menjadi 9 miliar pada tahun 2050, tentunya akan memerlukan lahan dan penghidupan yang lebih luas. 28 ilmuwan yang menulis artikel tentang “Apakah Kita Mampu Mencegah Kepunahan (Can we Defy Nature’s End? Science (2001) bersepakat bahwa kepunahan dapat dicegah tetapi dengan cara yang inovatif salah satunya adalah dengan mengadakan perlindungan terhadap sisa-sisa habitat yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Untuk menemukan habitat seperti ini tentunya diperlukan biaya untuk survei, lalu kesepakatan ilmiah untuk menentukan kawasan tersebut sebagai ‘kawasan kunci keanekaragaman hayati’ dan tak kalah penting adalah menginvestasikan anggaran kita pada kawasan ini agar terus terjadi keberlanjutan kehidupan.

Dalam ‘jargon Nabi Nuh tadi, kawasan kunci keaneakaragaman hayati inilah yang dapat diumpamakan sebagai ‘Bahtera Nuh’ dimana banyak makhluk yang mewakili kehidupan dapat terus melanjutkan spesiesnya.

Negara atau lintas negara, perlu berbagi upaya dalam memberikan perhatian pada kawasan-kawasan konservasi sebagai investasi masa depan kehidupan. Biaya yang diupayakan ternyata tidak terlampau besar dibandingkan dengan kehilangan jangka panjang yang akan dibebankan antar generasi. Menurut Science, biaya konservasi yang dikeluarkan adalah hanya seperseribu dari keuntungan yang diperoleh dari jasa ekosistem. Jasa ekosistem adalah jasa yang selama ini dapat kita ambil manfaatnya secara langsung misalnya air bersih dan udara yang bersih yang menunjang kehidupan vitas kita.

Jadi, mempertahankan keberadaan makhluk hidup dan segara karunia Tuhan yang ada di bumi untuk generasi mendatang, alangkah mulianya manusia, jika disetiap negara, daerah, kabupten, kota dan desa-desa mempunyai kawasan konservasi sebagai bentuk replika ‘Bahtera Nuh’ dengan bentuknya, melestarikan alam, melindungi tumbuh-tumbuhan serta menyelamatkan spesies apa pun yang ada di dalamnya.**

Friday, April 24, 2009

Keberpihakan Pengelolaan Kekayaan Bumi

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan
EDISI LENGKAP yang dipublikasikan KORAN TEMPO, 22 April 2009

“Bumi akan cukup memenuhi kebutuhan setiap manusia, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan manusia..”—Mahatma Gandhi

Peringatan Hari Bumi, telah berusia 39 tahun. Hampir empat dekade bagi kita belajar mensyukuri karunia Tuhan yang ada di bumi ini dengan segala kelengkapan dan keasrian yang harus terus dipertahankan. Ketika beberapa waktu yang lalu, dalam kunjungan ke Desa Aek Nabara di Sumatera, saya tertegun: menyaksikan seorang petani yang bersahaja di suatu sore yang terang, sambil memikul cangkul pulang kerumah. Petani tersebut berpakaian kotor dan sederhana, tapi dibalik punggungnya saya menyaksikan sawah dengan padi menguning dan kebun-kebun yang menghampar.

Sebentar lagi kelihatannya petani itu akan panen dan berbahagia dapat makan dengan padi baru yang lezat dari sumber daya alam lokal. Kehidupannya yang sederhana, memang tidak dapat diukur dengan berapa jumlah uang yang harus diperolehnya sehari-hari—sama halnya dengan manusia di belahan bumi manapun –sesungguhnya bukan uang yang akan masuk ke mulutnya, tetapi hasil panen dan segala sumber daya yang alam sehat itulah yang akan mencukupinya.

Gambaran tadi melukiskan keharmonisan alam yang masih asri dimana bumi dalam keadaan seimbang: air yang tidak tercemar, dimana pak tani sangat bergantung dengan jasa lingkungan (ekosistem) yang ada di sekitarnya. Kesehatan alam sekitar dapat membantu masyarakat di pedesaan terutama yang bergantung dengan kondisi hutan, dengan air bersih gratis mengalir deras. Ikan segar dapat dipancing dan dijala di empang atau di danau, dan keperluan dasar kehidupan dapat dipenuhi dari waktu-kewaktu. Bila panen pun tiba, beras dan hasil sawah ladang dapat dijual dan petani dapat hidup berkecukupan. Mereka memiliki masa depan, menuai hasil cerih payah dari hasil dukungan alam dan terhindar dari kemiskinan.

Alam dan Kemiskinan
Kemiskinan, sewajarnya menjadi momok yang menakutkan sebuah bangsa dan peradaban. Wikipedia mendefinisikan, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum. Hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan seseorang adalah absolut jika orang --dalam hidupnya —berpenghasilan dibawah satu dollar AS sehari, dan termasuk setengah miskin jika mereka memperoleh pendapatan dibawah $2 per hari.

Tahun 2001, Bank Dunia mencatat masih ada 1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Itu artinya hampir separoh dari 6,3 miliar penduduk bumi masih berada dibawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu target pemerintah memberantas kemiskinanan melalui skema Millenium Development Goals (MDG) yang merupakan program PBB, adalah guna mengurangi separuh jumlah penduduk miskin pada 2015.

Sayang sekali, ternyata pemberantasan kemiskinan terkadang tidak dibarengi dengan strategi pembangunan yang jitu dan berpijak pada realitas sosial dan berupaya mempertahankan ekosistem serta daya dukung alam yang baik. Sebab, kenyataannya memberikan prioritas pada investasi besar belum tentu dapat mengentaskan kemiskinan yang ada di kawasan dan daerah sekitarnya. Kita masih menyaksikan dengan kasat mata, di berbagai daerah dimana perusahaan tambang atau daerah penghasil kayu alam telah lama beroperasi, namun tidak memberikan kontribusi dan turut memberantas kemiskinan masyarakat di sekitarnya.

Pertambangan miyak dan gas di Riau mampu menghasilkan Rp64 triliun per tahun untuk negara, sayangnya Propinsi Minyak ini masih mencatat 40,2 persen penduduknya (dari 4,8 juta jiwa) masih berada di bawah garis kemiskinan. Begitu pula Kalimantan Timur yang mempunyai Produk Domestik Regional Bruto Rp88 triliun per tahun, masih menyisakan 12 persen penduduk Kaltim (dari 2,7juta jiwa penduduknya), masih berada dibawah garis kemiskinan (JATAM, 2003).

Ironi lain, terjadi untuk masyarakat yang hutan alamnya telah ditebang oleh pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), berpuluh tahun berlalu, masyarakat di sekitar hutan nasibnya tidak bertambah baik, melainkan hanya menuai bencana: tanah longsor, banjir dan kekeringan yang pada ujungnya memperburuk kemiskinan. Data Departemen Kehutanan mencatat, hingga 2004 terdapat 48,8 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah itu, 10,2 juta penduduk masuk kategori miskin. Hubies (2004) mensinyalir kemiskinan moral juga terjadi seiring dengan pembukaan industri kayu karena disana akan marak tempat-tempat hiburan, penjualan vcd porno dan berkembangnya tempat-tempat pelacuran.

Paradoks Penghancuran Alam
Indonesia, sering disebut sebagai negara yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan basis pertanian. Banyak kebun diperluas, tetapi telah banyak menghilangkan kawasan-kawasan yang menjadi pendukung pokok ekosistem dan keseimbangan alam. Oleh karena itu diperlukan keseriusan untuk memperhitungkan keseimbangan ekosistem supaya tidak labil. Hutan lindung dan kawasan konservasi perlu tetap dipertahankan. Daerah-daerah perlu mentargetkan minimal 30-40 persen, bahkan –seperti halnya negara Jepang, 70 persen-- wilayah mereka dilingkupi dengan daya dukung alami. Sebab, semakin hari karena terlanjur banyak lahan yang telah dikonversi, ekosistem alami sudah tidak dapat lagi menjamin eksistensi sumber daya dan jasa lingkungan yang mereka miliki. Sungai segera kering di musim panas yang pendek dan kawasan desa dan kota lalu menjadi banjir pada musim hujan.

Studi tentang keberadaan ekosistem bumi yang dilakukan oleh The Millenium Ecosystem Assasement (MA), mengungkapkan, bahwa jasa-jasa lingkungan dan sumber daya alam di bumi perlahan-lahan semakin rusak dan menyusut. Pada tahun 2005, para ilmuwan yang terlibat dalam studi empat tahun tentang penyusutan sumber daya alam yang ada di permukaan bumi berkesimpulan, bahwa: akibat dari penghancuran (yang dilakukan oleh manusia), sumber alam ini akan terus memburuk dalam 50 tahun lagi.

Indonesia, merupakan salah satu negara dengan potensi hutan alam dan kekayaan alam yang luar biasa. Oleh sebab itu, investasi dan pengelolaan sektor pembukaan hutan dan lahan yang tidak diikuti studi dampak lingkungan yang baik, dapat juga menyebabkan rusaknya mata rantai jasa lingkungan.

Studi yang tidak memadai tentang interaksi ekosistem dan keterkaitan dengan alam sekitar dapat menyebabkan masyarakat menjadi terjebak dan terjatuh di lembah kemiskinan bahkan kesengsaraan yang berkepanjangan. Sebagai contoh, akhir-akhir ini, ketika perkebunan sawit marak, banyak petani berganti profesi menanam pohon kelapa sawit: menjadi petani plasma, atau bekerja sebagai buruh-- berhenti menjadi petani-- malangnya mereka sangat tergantung dengan para investor.

Ketika investor yang sangat bergantung pada keadaan pasar yang collapse (karena anjloknya ekspor minyak mentah sawit, CPO), petani sawit pun ikut miskin. Mereka tidak dapat lagi hidup layak, bahkan makan sehari-haripun mereka menjadi kesulitan. Ditengah kebun sawit yang monokultur sejauh mata memandang, tak ada lagi lahan pertanian, jangankan untuk membuat empang ikan, air pun kering karena berebut dengan rakusnya sawit yang menyedot banyak air.

Fenomena diatas, menjadi pelajaran penting, dimana keberpihakan sebenarnya harus dilakukan, apakah untuk semua orang, atau kah hanya untuk “manusia-manusia yang serakah”, seperti kata Mahatma Gandhi.

Sunday, March 22, 2009

Banjir dan Ironi Kesadaran Lingkungan

Oleh
Fachruddin M Mangunjaya (dikutip dari SINAR HARAPAN, Jumat 06 Maret 2009)

Rekor bencana ekologis yang seolah menjadi agenda tetap dari tahun ke tahun menjadi catatan penting: bahwa lingkungan kita memang tengah berubah. Pengambil kebijakan dan masyarakat awam banyak mengutip alasan bahwa ini diakibatkan oleh adanya perubahan iklim dan pemanasan global. Jadi, hampir semua orang telah sadar akan keadaan, lalu mempunyai apologia sama, namun tidak dapat melepaskan kondisi dan keburukan lingkungan yang semakin biasa.

Pada tahun 2008 terjadi perubahan menarik yakni semakin banyak kesadaran tentang pentingnya hidup harmonis dengan alam dan berperilaku ramah terhadap lingkungan. Banyak perusahaan, kantor, perumahan, sekolah dan sektor publik lainnya yang mengubah visinya dan mencantumkan “tagline” go green sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. “Wabah Go Green” ini memang menggembirakan aktivis lingkungan. Maka dari toilet yang hemat air atau tidak lagi menggunakan tisu, hingga komputer bisa mendapatkan sertifikasi “hijau” apabila mau berkontribusi menjaga lingkungan.

Sebuah supermarket terkenal mulai menganjurkan konsumennya supaya tidak lagi menggunakan plastik dengan menyediakan tas yang bisa dipakai beberapa kali. Sayangnya, tidak ada bukti - setidaknya belum ditemukan-riset adanya perubahan perilaku konsumen - secara kolektif (massal) untuk berubah perilaku menjadi lebih ramah lingkungan, termasuk tidak lagi menggunakan bahan yang sukar untuk hancur dan dapat didaur ulang.
Tahun 2009, bencana lingkungan masih menjadi perdebatan, tetapi berdebat tentunya tidak akan mengubah keadaan, dan pada bulan-bulan ini, seperti biasa, giliran - seperti arisan bencana - kondisinya tidak berubah, setelah mulai musim hujan awal Desember misalnya, kita diinformasikan banjir parah terjadi di mana-mana, yang menenggelamkan perumahan penduduk dan sawah mereka.

Bencana Ekologis
Tahun lalu (2008) Walhi mencatat peningkatan bencana ekologis di Indonesia yaitu menjadi 359 kali, dibandingkan tahun 2007 yang 205 kali. Bencana ekologis adalah bencana akibat adanya perubahan ekologi dan ekosistem yang pada umumnya oleh ulah manusia. Akumulasi bencana ekologis dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam yang tadinya secara reguler dapat memperbaiki keadaan lingkungan dengan daya dukung yang ada (homeostasis). Ketidakberdayaan manusia dan alam memulihkan ekosistem semakin jelas terlihat misalnya dengan frekuensi banjir yang semakin besar dan ketika curah hujan melimpah pada tiap pergantian musim. Kejadian seperti ini - untuk Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi - sangat mustahil terjadi ketika hutan masih mampu menjadi regulator iklim dan penyeimbang atas serapan air pada 30 atau empat puluh tahun yang lalu.

Kebijakan pemerintah yang masih bertumpu pada pengurasan sumber daya alam dan mengizinkan pembukaan lahan—baik untuk pertambangan, kehutanan atau perkebunan untuk mengonversi kawasan tutupan hutan menjadi penyebabnya. Diperparah pula dengan adanya pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pemegang izin yang sah maupun yang tidak. Pembukaan lahan dan hutan biasanya diikuti dengan kejahatan lain terhadap satwa liar. Satwa liar yang dilindungi oleh hukum banyak diperjualbelikan di masyarakat bahkan diselundupkan, sebagai hasil sampi-ngan pembalakan baik legal maupun yang ilegal.

Kepastian hukum yang masih simpang siur dan tidak sinkron menjadikan masyarakat “bingung” dengan konsensus soal perizinan penebangan hutan. Misalnya, baru-baru ini Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) telah dikeluarkan atas penyidikan di 13 perusahaan besar yang diindikasikan melakukan pembalakan liar di Riau. Padahal, Kepolisian Daerah Riau telah bersusah payah mengumpulkan data, mengeluarkan dana dan melakukan penangkapan atas pembalakan yang “kasatmata” sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa.

Jelas sekali, sebagai akibat rasio hutan semakin berkurang, dan hutan dataran rendah di kawasan pulau besar seperti di Kalimantan dan Sumatera sudah semakin menipis, mengakibatkan banyak konflik masyarakat, juga antarmanusia dan hidupan liar seperti harimau dan gajah. Di Pulau Sumatera, pada tahun 2007, menurut data deteksi perubahan tutupan hutan yang dikeluarkan oleh Wildlife Conservation Society, Conservation International dan Departemen Kehutanan, kawasan ini mengalami pembukaan hutan rata-rata 25 persen, atau diperkirakan lebih dari 5 juta hektare dalam waktu sepuluh tahun saja, 1990 hingga 2000.

Penyakit Menyebar
Sumatera mempunyai 20,6 juta hektare hutan pada tahun 1990 dan menjadi hanya 15,5 hektare pada tahun 2000. Bila tren ini berlanjut maka pulau itu bisa hanya menyisakan 10 juta ha hutan di akhir tahun 2010. Ironinya, upaya kita menghijaukan hutan, walaupun digembar-gemborkan, ternyata sangat sedikit. Misalnya, dengan pencanangan satu juta pohon saja—jika berhasil—artinya hanya mampu menghijaukan 2.500 hektare hutan (1 ha = 400 pohon).
Kondisi lingkungan (sanitasi) desa dan kota di Indonesia tidak dapat dikatakan baik. Perilaku masyarakat yang masih awam bahkan “primitif” dalam memperlakukan lingkungan dengan membuang sampah dan limbah sembarangan mengakibatkan penyakit dapat menyebar ke berbagai tempat. Banyak rumah masyarakat di perkampungan dibangun tanpa memiliki toilet dan mereka membuang hajat di sungai-sungai dan danau. Laporan Bank Dunia (2008) tentang kerugian yang diderita masyarakat Indonesia akibat buruknya sa-nitasi mencapai Rp 56 triliun.

Kerugian ekonomi ini antara lain dipicu oleh 89 juta kasus diare per tahun dan 23.000 orang mati akibat diare tersebut. Laporan sanitasi ini juga menghitung, setidaknya 120 juta kejadian penularan penyakit dan 50.000 bayi yang mati prematur setiap tahunnya. Ini akibat sanitasi dan higienitas lingkungan yang buruk. Laporan Water and Sanitation Program (WSP) tersebut menyimpulkan dampak kerugian lingkungan yang buruk mengakibatkan hilangnya material berupa biaya kesehatan Rp 29,5 triliun, biaya air Rp 13,3 triliun, lingkungan Rp 847 miliar, pariwisata Rp 1,4 triliun dan kesejahteraan lain Rp 10,7 triliun.

Krisis air dipicu juga oleh perencanaan ruang dan pembangunan perumahan yang tidak tertata disertai penggalian air tanah yang berlebihan. Keperluan air yang sangat vital memerlukan upaya terintegrasi tata ruang antarwilayah agar dapat berbagi keuntungan dalam pengelolaan ekosistem melalui skema pembayaran perawatan ekosistem (payment of ecosystem services-PES). Pencemaran air dapat berdampak pada meningkatkan beban biaya pengadaan air bersih untuk rumah tangga, di samping itu akan mengurangi produksi ikan di sungai dan danau.

Penulis bekerja di Conservation International Indonesia.

Sunday, December 7, 2008

Obama dan Gubernur Peduli Perubahan Iklim

Fachruddin M. Mangunjaya, pencinta lingkungan*

Agaknya, pertemuan para gubernur yang peduli terhadap perubahan iklim, yang diadakan di Beverly Hills, California, 18-19 November 2008, memberi harapan akan percepatan tindakan dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Alasannya, perubahan iklim adalah suatu fakta traumatis yang menunggu sikap proaktif dan "political will" para pengambil kebijakan untuk segera bertindak.

Ilmuwan sudah memberikan fakta-fakta yang jelas tentang air laut yang sudah mulai meninggi, garis-garis pantai yang sudah mulai tenggelam, pergeseran musim yang menambah tingginya curah hujan secara ekstrem, termasuk juga catatan akan panas atau kekeringan yang lebih panjang dibanding sebelumnya. Kita juga menyaksikan beberapa kali badai yang lebih kuat menghantam beberapa negara yang kemudian menimbulkan korban tidak sedikit.

Salah satu kesepakatan penting dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang disebut “Pertemuan Gubernur Menghadapi Iklim Global” tersebut adalah kesepakatan untuk aksi pencegahan perusakan hutan dan di negara-negara bagian atau provinsi yang kaya akan hutan. Pertemuan tersebut membuahkan perjanjian kesepahaman (MOU) yang ditandatangani oleh Gubernur California Arnold Schwarzenegger dengan para gubernur dari Amazon, Pará, Mato Grosso, negara-negara Amapá dari Brasil, serta Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam dari Indonesia. >>>>Lanjut

(Dikutip dari KORAN TEMPO 5 Desember 2008)Video Obama dan Komentar Arnold Schwarzenegger dihadapan para Gubernur yang berkonferensi untuk perubahan iklim di Beverly Hills, California, 18-19 November 2008:

Sunday, November 2, 2008

Etika Islam Terhadap Lingkungan

Fachruddin M. Mangunjaya

· Pencinta lingkungan

Dalam Oktober ini, penulis dua kali diundang mengikuti pertemuan dengan topik peran dunia muslim terhadap lingkungan. Pertama, pertengahan Oktober, di Oxford Centre for Islamic Studies, yang membahas isu Islam dan lingkungan secara keseluruhan, dan kedua di Kuwait, membahas Islam dan Perubahan Iklim (Islam and Climate Change ) yang diadakan pada akhir Oktober.

Dalam kancah global yang tidak mempunyai sekat ini, kondisi planet bumi yang hanya satu ini mengundang keprihatinan semua pihak. Kekhawatiran akan melajunya gejala perubahan iklim yang lebih cepat dari prakiraan para ilmuwan, mandegnya perundingan dan gagalnya praktek-praktek penyelamatan lingkungan konvensional dalam upaya menghambat laju kerusakan lingkungan dan mencegah bencana, merupakan alasan yang kuat bahwa manusia tidak lagi mampu mendekati alam dengan cara-cara dan perlakuan yang serba mekanistis, tetapi juga harus diikuti dengan unsur yang spiritualistis.

Pasar global membuktikan dengan runtuhnya harga saham baru-baru ini dan tentu saja peristiwa tersebut membuktikan bahwa kapitalisme yang serakah dan kekayaan yang diperoleh oleh para pialang selama ini adalah sesuatu yang semu. Padahal, dampak dari keserakahan kapitalistis sangat besar dirasakan oleh lingkungan, terutama dengan melajunya investasi dan pengurasan sumber daya alam yang tidak lagi mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Lagi pula, mekanisme pasar semacam ini telah membuat kondisi lingkungan bertambah parah, bahkan menjadikan semua bangsa tertekan dan terjerumus ke lembah kenistaan ekonomi. Karena itu, di lain pihak, sesungguhnya resesi semacam ini merupakan penyegaran dan penyadaran bagi alam dan lingkungan yang laju pengurasannya akan bertambah lamban dari keadaan sebelumnya.

Kesadaran semacam ini sesungguhnya mulai dilihat dan dipertimbangkan sehingga pandangan dunia (world view) terhadap lingkungan akan beralih ke pandangan agama yang sesungguhnya menjadi fitrah manusia. Islam adalah agama 1.8 miliar penduduk bumi. Lagi pula, dalam dunia kontemporer ini, negara-negara muslim memiliki sumber daya alam yang melimpah, dari mulai sumber energi seperti minyak di negara-negara Arab di Timur Tengah hingga kekayaan alam hutan tropis dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi di Indonesia dan negara-negara di Asia Selatan.

Kekayaan yang melimpah secara finansial yang dimiliki oleh muslim di Timur Tengah ternyata tidak mendatangkan dampak yang signifikan pada muslim di belahan bumi yang lain. Sesuatu yang amat disayangkan bahwa sesungguhnya sesama mukmin adalah bersaudara seperti dinyatakan dalam Al-Quran (QS 49:10) ternyata tidak diimplementasikan secara baik di dunia muslim.

Kondisi lingkungan di dunia muslim malah sangat parah disebabkan kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan pun masih sangat rendah, sehingga dalam hal manajemen lingkungan, negara kaya minyak seperti di Timur Tengah: dalam persoalan lingkungan masih dianggap sebagaimana negara berkembang dan terbelakang (Foltz 2005).

Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya pemahaman akan nilai-nilai Islam secara praktis dalam soal perawatan lingkungan, sehingga tidak mengherankan, di dunia muslim kita menjumpai banyak sungai menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Atau, masyarakat masih menganggap bumi ini merupakan tempat yang bisa diperlakukan sekehendak hati mereka, tanpa mempedulikan masa depan dan tanggung jawab mereka sebagai khalifah.
Jelas, perilaku semacam ini sangat bertentangan dengan semangat Islam sesungguhnya yang menyuruh berbuat kebaikan dan tidak membuat kerusakan (QS 7:35;56), menghormati segala makhluk di bumi karena mereka juga umat seperti halnya manusia (QS 6:38) dan sebagai khalifah manusia telah sanggup menerima amanah, sedangkan makhluk yang lain seperti langit, bumi, dan gunung-gunung enggan menerimanya (QS 33:72).

Fenomena kerusakan lingkungan selama ini disinyalir karena selama ini muslim tidak mempedulikan ajaran lingkungan yang mereka miliki dan mematuhi ajaran universal tersebut sebagaimana tercantum dalam kitab suci dan sunah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, penggalian secara komprehensif ajaran dan etika Islam tentang lingkungan mutlak diperlukan, lalu diajarkan dan dipraktekkan sebagai nilai-nilai universal sebagaimana halnya implementasi ubudiyah yang lain, termasuk dalam hal transaksi ekonomi dan teknologi yang mempengaruhi terhadap kerusakan lingkungan.

Tidak kalah pentingnya di muka bumi ini, dunia muslim telah dikaruniai kesempatan yang besar. Pertama dari segi kekayaan alam yang melimpah, sehingga sumber daya minyak bisa memakmurkan negara muslim yang lain, jika keadilan sesama muslim dan ajarannya ditegakkan. Kedua, dunia muslim memiliki kekayaan sumber daya hayati yang terbesar (mega diversity) seperti di Indonesia. Ketiga, dunia muslim mempunyai potensi ajaran yang unik dan universal untuk kemanusiaan. Saatnya dunia muslim bangkit dengan ajaran lingkungannya yang universal pula untuk menyelamatkan planet bumi ini.*

Dikutip dari KORAN TEMPO 28 Oktober 2008

Baca Cerita Perjalanan Ke Oxford:

Islam and Environment, Ditchley Park Symposium
Orang Udik di Oxford


Thursday, October 23, 2008

Kuasa Politik Terhadap Alam

Fachruddin M. Mangunjaya

Penulis, tinggal di Jakarta

Skandal pengalihan fungsi lahan terhadap hutan lindung yang terjadi antara pejabat daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI menjadi keprihatinan yang memilukan hati. Skandal ini memperjelas rumor yang beredar--dan tampaknya menjadi rahasia publik--bahwa hutan alam Indonesia menjadi "bancakan emas" dan "mesin ATM" pejabat pemerintah serta partai-partai politik untuk mengumpulkan uang dengan mengorbankan alam sekitarnya.

Masih segar di ingatan kita tentang alam yang dikalahkan oleh kekuatan politik dengan pemberian hak penambangan pada investor di hutan lindung dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 yang akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004. Kemenangan lobi investasi ini menegaskan pada visi politik dan komitmen lingkungan yang lemah dari partai yang berkuasa saat itu. Meskipun para ahli kehutanan telah mengingatkan bahwa fungsi hutan lindung mempunyai fungsi ekologis yang tidak tergantikan, tetap saja pada akhirnya investasi yang dimenangkan.

Pertimbangan sebuah kawasan diberi status sebagai hutan lindung adalah ia mempunyai keistimewaan dari segi ekologis. Karena itulah kawasan hutan lindung diberi hak istimewa dalam perannya melindungi ekosistem. Kini, mengingat tidak banyak lagi hutan alam Indonesia yang tersisa, mengambil hutan lindung dan mengkonversi lahan tersebut untuk kepentingan ekonomi dapat dicap sebuah bentuk kezaliman penguasa terhadap penduduknya.
Betapa tidak, hutan lindung dan daerah konservasi mempunyai peran vital yang tidak tergantikan. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Maka, jelas, ketetapan yang dibuat untuk menjadikan suatu kawasan sebagai hutan lindung memang karena keistimewaan vital bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut yang notabene adalah konstituen partai dan pemilih wakil rakyat.

Departemen Kehutanan (2007), menurut catatan terakhirnya pada 2003, telah menetapkan 22,10 juta hektare hutan lindung (25,7 persen) dan 14,37 juta ha hutan konservasi (16,7 persen) dari total 85,96 juta ha kawasan yang masih berhutan di Indonesia. Secara keseluruhan--dengan memasukkan kawasan hutan dan kawasan lain--Departemen Kehutanan mencatat total kawasan lahan dan hutan di Indonesia (2003) adalah 93,92 juta hektare, yang terdiri atas 44,77 juta ha (47,7 persen) hutan primer dan 45,15 juta ha (48,1 persen) hutan sekunder. Jumlah ini jauh berkurang secara drastis dibandingkan dengan jumlah pada tahun 50-an, yang mencapai 152 juta ha, kemudian turun drastis menjadi 119 juta ha pada 1985. Dalam kurun 35 tahun luas hutan berkurang 33 juta ha, yaitu setara dengan 2,4 kali luas Pulau Jawa dan Bali.

Semangat pembukaan lahan hutan alam--apalagi hutan lindung--dengan kondisi bumi yang kian tidak seimbang mengakibatkan bangsa ini terus dirundung bencana lingkungan: tanah longsor, banjir, dan kekeringan bukanlah merupakan cara terpuji dan populer. Apa pun alasannya, di tengah kancah globalisasi dan pengetahuan tentang keterkaitan alamiah ekosistem di bumi tentang keseimbangan, pembukaan lahan--apalagi dengan menggusur paksa hutan lindung--menjadi hal yang kontraproduktif.

Tentu saja kita menyadari dilema yang dihadapi pemerintah daerah dalam membangun dan menyejahterakan penduduk di daerah mereka, di mana sumber-sumber alam dan kekayaan bumi menjadi tumpuan untuk pembangunan baik sebagai pendapatan daerah maupun sebagai income dengan niat menyejahterakan penduduk setempat. Tapi tumpuan pembangunan yang mengorbankan kawasan-kawasan lindung, yang sudah “diplot” akan menjadi cadangan masa depan--dan mempunyai risiko apabila diganggu--di kemudian hari, tentu bukanlah kebijakan yang tepat.

Keprihatinan tentang hilangnya hutan alam secara tidak terasa menjadi ancaman langsung percepatan pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini karena banyaknya kehilangan hutan, termasuk di kawasan hutan lindung. Hutan telah gagal dipelihara, dan “menghilang” tanpa dapat dikembalikan keadaannya, kemudian menjelma menjadi lahan-lahan kritis. Percepatan pembangunan perlu dilakukan di kawasan-kawasan tertentu, tapi mestinya mempertimbangkan semangat kesejahteraan jangka panjang. Keutuhan ekosistem, terutama sumber daya air, kelak akan menjadi kebutuhan yang mahal karena alam selama ini menyediakan sumber-sumber tersebut secara gratis.

Skandal perilaku politikus yang melakukan “gratifikasi”, selain melanggar etika dan mengkhianati janji politik mereka terhadap konstituennya, dapat dikatakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap janji partai politik yang berkomitmen terhadap misi-misi lingkungan hidup. Menjelang Pemilu 2004, Indonesia Forest Media Campaign (INFORM), yang merupakan wahana kampanye enam organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam penyelamatan lingkungan hidup dan konservasi alam, pernah mengadakan penjajakan dengan merujuk pada platform program kerja parpol peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kerangka kerja dan peduli terhadap lingkungan.

Menurut INFORM, saat itu (2004) hanya ada 10 partai politik yang mempunyai kebijakan kerangka kerja lingkungan dalam platform mereka. Sepuluh partai tersebut adalah PKS, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Partai Golkar, PAN, PNBK, PPP, PKB, PBB, Partai Demokrat, dan Partai Patriot Pancasila. Dari jumlah ini, artinya kurang dari separuh (42 persen) atau hanya sepuluh dari 24 parpol yang diundi sebagai peserta pemilu saat itu dianggap peduli terhadap lingkungan, setidaknya hal ini tertulis dalam platform dan agenda mereka.
Setelah mengamati fenomena keterlibatan kader-kader partai atau “oknum” yang terlibat dalam skandal gratifikasi, setidaknya ada dua pelajaran penting yang perlu diambil untuk partai yang ingin mengusung isu lingkungan dalam Pemilu 2009. Pertama, diharapkan partai mempunyai calon atau kader partai dengan komitmen kuat terhadap lingkungan dan mempunyai pengetahuan yang mumpuni terhadap kebutuhan konstituennya di daerah yang mengharapkan kondisi lingkungan yang semakin baik dan tidak mengancam kehidupan mereka serta anak-cucu mereka di masa yang akan datang.

Kedua, platform dan misi-visi partai saja ternyata bukan jaminan untuk mengusung “isu-isu lingkungan”, sehingga partai perlu mensosialisasi misinya tentang komitmen partai secara internal pada kader-kadernya sendiri. Fenomena pelanggaran komitmen partai yang mengusung tema-tema dan platform lingkungan menjadi pelajaran penting. Kita melihat, PKB, yang telah mendeklarasikan dirinya menjadi partai hijau, ternyata menjumpai kadernya menjadi tersangka gratifikasi. Begitu pula PPP, dengan skandal Al-Amin Nasution dalam pengalihan lahan hutan lindung di Pulau Bintan.

Tidak kalah pentingnya, faktor ketiga, yaitu nilai-nilai universal yang harus menjadi pertimbangan, seperti etika dan moralitas tinggi kader yang akan menjadi wakil rakyat terhormat, akan semakin dipertimbangkan untuk dipilih oleh publik. Maka, bila saja tidak terjadi ketiga hal di atas, bukan mustahil partai-partai (yang mempunyai kekuasaan) yang mengusung isu lingkungan hanya dianggap--meminjam istilah Iwan Fals--"celoteh belaka" dan akan ditinggalkan para konstituennya. *

Dikutip dari KORAN TEMPO