Harrison Ford, bintang film AS yang terkenal itu, pergi ke sebuah salon. Kali ini dia membawa kru film guna mengabadikan perbuatannya. Pemeran utama dalam film Indiana Jones ini ingin menunjukkan kepeduliannya dengan cara lain: mencukur bulu dadanya yang lebat dengan cara waxing, sekali cabut, dan memberi gambaran tentang perihnya perasaan masyarakat di Barat ketika ada hutan yang hilang: "Lost there, felt here," begitu tajuknya, yang merupakan bagian dari kampanye menentang penggundulan hutan.
Gambaran ini mungkin bisa mewakili tentang pengaruh globalisasi terhadap lingkungan, kala negara-negara maju--apabila mereka tinggal diam--akan segera terkena dampak kerusakan lingkungan yang pada ujungnya menyakitkan. Pemanasan global juga dipicu oleh hilangnya hutan alam akibat masifnya pembukaan lahan--dengan menebang jutaan pohon yang berpotensi menyerap karbon.
Topik globalisasi dan lingkungan merupakan salah satu bahasan yang dibicarakan dalam Konferensi Internasional tentang Globalisasi: Tantangan dan Peluang untuk Agama-Agama (Globalization Challenge and Opportunities for Religions), 30 Juni-4 Juli 2008 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 120 cendekiawan dari berbagai kalangan, termasuk agamawan, akademisi, aktivis lingkungan, dan cendekiawan yang datang dari berbagai disiplin ilmu di dunia, antara lain dari AS, Norwegia, Filipina, Hong Kong, Inggris, serta diundang pula beberapa tokoh agama dan aktivis keagamaan nasional seperti Ismail Yusanto (juru bicara Hizbut Tahrir), KH Imam Subakir (Rektor Bidang Akademik Pondok Pesantren Gontor), Romo Ign Sandyawan Sumardi (aktivis sosial dan relawan dari Jakarta), hingga Bill Dyrness dari Fuller Theological Seminary, AS.
Dalam kaitannya dengan agama dan lingkungan, Michael Nothcott, guru besar etika dari University of Edinburgh, yang menjadi pembicara dalam konferensi tersebut, menggambarkan bahwa peradaban manusia sekarang ini terancam akibat “menzalimi” pepohonan, sebagaimana kasus bapak manusia Nabi Adam alaihissalam dan Hawa, yang disebutkan dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Quran, telah terusir dari surga disebabkan melanggar perjanjiannya untuk tidak mendekat (mengganggu) pohon di taman surga (Qs 2:35).
Kita paham bahwa sumber energi yang diperoleh sekarang ini, yaitu minyak dan batu bara yang sekarang mulai langka, diperoleh dari fosil-fosil sel dan energi yang telah diserap dari hasil fotosintesis banyak pohon. Pohon ini telah menyerap karbon dalam menjaga keseimbangan alam dengan mengeluarkan oksigen di zaman prasejarah, kemudian disebabkan pergeseran kerak bumi, pohon tersebut terendam selama jutaan tahun. Fosil pohon inilah yang kemudian ditambang oleh manusia menjadi sumber utama bahan bakar energi minyak bumi.
Bisa dibayangkan, di zaman kita ini, dalam satu hari manusia membakar energi setara dengan hasil sekitar 10 ribu tahun fotosintesis tumbuhan. Pohon-pohon hutan yang tadinya berupa fosil, menyerap karbon dan memendamnya dalam lapisan-lapisan sel mereka. Walhasil, dengan membakar energi fosil, pesawat jet dan mobil mewah manusia (anak cucu Adam) dapat berkeliaran di muka bumi, melelehkan karbon yang tadinya beku di dalam bumi sejak zaman prasejarah.
Dilema pohon ini sekarang tergambar dengan kebutuhan energi yang bersumber dari fossil fuel, yang boleh jadi merupakan suatu teguran Gusti Allah. Pohon-pohon alam pun yang masih hidup berseri sekarang menjadi ibarat buah simalakama: negara-negara berkembang masih harus menggantungkan ekonominya pada penebangan pohon dan pembukaan lahan baru, sementara negara maju berkepentingan dengan pohon guna menetralkan emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan.
Secara global, dampak dari pembukaan lahan dan kehilangan hutan (pohon) berkontribusi pada 30 persen emisi karbon global, sehingga upaya menurunkan emisi akan sangat sia-sia bila tidak dibarengi usaha mencegah penggundulan hutan. Maka, menurut Bank Dunia (2007), jika emisi dari penggundulan hutan dimasukkan dalam inventarisasi emisi gas rumah kaca, Indonesia berkontribusi sebagai produsen gas rumah kaca nomor tiga di dunia setelah AS dan Cina. Penggundulan hutan dan kebakaran hutan berkontribusi pada 2.563 megaton CO2, setara dengan 4 persen emisi global dan dihitung mampu menutupi 0,1 persen permukaan planet bumi.
Dilema lain dalam sikap manusia adalah kesalahan global yang terus dikecam oleh agama-agama, yaitu manusia telah menciptakan suplai keuangan global dengan menciptakan jumlah uang tanpa batas. Bumi dan sumber daya alam sangat terbatas, sementara uang terus diproduksi oleh manusia tanpa batas. Keadaan ini, ditambah lagi dengan implementasi ribawi yang telah dikutuk oleh Taurat, Injil, dan Quran, yang rupanya menyebabkan krisis lingkungan bertambah parah. Pertumbuhan gas-gas rumah kaca meningkat secara eksponensial sejak AS mencabut standar emas (sebagai nilai intrinsik) pada 1969. Adikuasa uang merupakan cerminan domain hegemoni politik. Negara-negara berlomba memperkuat mata uang, mereka kemudian menggunakan sumber daya alam tanpa batas.
Lantas, bila kita becermin pada kasus lingkungan Indonesia kini, skandal-skandal pohon dan uang memang ternyata benar-benar membawa fitnah. Ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (terhormat) yang terlibat riswah (suap) gara-gara menggusur pohon-pohon di hutan lindung. Di lain pihak, banyak banjir dan tanah longsor terjadi akibat “kutukan” pohon yang telah musnah di kawasan tersebut. Banyak spesies makhluk yang tadinya bertasbih memuja-muji sang Pencipta, kemudian punah untuk selamanya dari permukaan bumi seiring dengan hilangnya pohon dan kerakusan manusia.
Bagi para politisi dan pialang pertumbuhan ekonomi, perlombaan menebang pohon menjadi cara yang menarik karena pohon-pohon dapat menghasilkan uang secara mudah, apalagi hutan alam yang tanpa susah payah menanamnya. Banyak pemimpin daerah, yang berdalih dengan berbagai cara, melegalkan penebangan pohon, mengharapkan uang dari pohon-pohon yang mereka kuasai di wilayah mereka untuk membiayai pemenangan dalam pemilihan mereka. Kasus-kasus pohon memang berujung pada eksploitasi. Akibat uang yang tanpa batas, daun fulus ini dapat menjungkirkan adagium tentang keadilan dan hukum menjadi: "kuasa hukum telah ditaklukkan oleh kuasa uang".
Tanggal : 15 Jul 2008
Sumber : Koran Tempo
Wednesday, September 3, 2008
Monday, July 7, 2008
Sunday, July 6, 2008
Menyikapi Krisis Energi
Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya
Krisis energi dan naiknya bahan bakar minyak (BBM), yang ketiga kalinya dalam kurun waktu satu periode pemerintahan, menjadi pelajaran penting untuk kita semua. Kenaikan harga BBM adalah dampak langsung dari semakin sulitnya kita menemukan sumber daya alam—dalam hal ini energi minyak—yang semakin lama ternyata kian menipis.
Realitas ini terbukti untuk Indonesia, yang telah empat puluh tahun menjadi eksportir minyak, kemudian menjadi net importir, karena produksi minyak Indonesia dibawah 1 juta barrel per hari. Saat ini, produksi minyak Indonesia menurun dari 1.1 juta barrel dan diperkirakan menjadi 995 ribu barrel tahun 2007 dan diperkirakan menjadi 971 ribu barrel tahun 2009. Kepahitan ini, menjadi terbukti ketika pemerintah menyatakan sikapnya keluar dari Organisasi Negara Negera Pengeksor Minyak (OPEC).
Ketika terjadi penipisan sumber daya sementara kebutuhan tetap tinggi, maka kelangkaan akan terjadi sehingga hukum ekonomi tentang pasokan (suplay) dan permintaan (demand) berlaku dalam skala ini.
Secara global, selain sumber daya (minyak) yang semakin menipis, pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk bumi yang semakin pesat juga akan memicu krisis energi dunia. Sebab, fakta yang berlaku, ketika pertumbuhan ekonomi maju, maka hal ini akan segera merubah perilaku manusia dalam peningkatan konsumsi energi dan gaya hidup. Setelah puluhan tahun bekerja, misalnya, semua orang cenderung ingin hidup lebih nyaman: mereka membeli mobil, kendaraan bermotor, memasak menggunakan minyak tanah dan gas, menggunakan AC (pendingin) atau pemanas udara (untuk kawasan temperate) yang semuanya menggunakan energi yang nota bene tidak terperbarukan –karena berbasis fossil--seperti bahan bakar minyak mentah. Efek negatif dari energi ini—seperti kita semua tahu—akan menghasilkan pencemaran lingkungan berupa emisi karbon dioksida (CO2), yang memicu perubahan iklim dan pemanasan global.
Sementara di peringkat pertama, konsumsi energi tertinggi berada di negara adidaya Amerika Serikat (AS), namun dengan laju percepatan ekonomi, semua negara dan bangsa menuju pada gaya hidup yang cenderung sama.
Di Asia: Cina, misalnya, dengan pertumbuhan ekonomi pesat dan populasi yang besar, akan menggantikan AS dalam menyedot konsumsi sumberdaya dasar semisal minyak. Brown (2007) meramalkan pada tahun 2030, penduduk negeri tirai bambu ini akan berjumlah 1.46 milyar. Jika setiap tiga dari empat orang memiliki mobil, maka di Cina saja, akan terdapat 1.1 juta mobil. Dan jumlah tersebut akan menyedot pemakaian 98 juta barrel minyak per hari, seribu kali lipat dari jumlah produksi minyak harian Indonesia sekarang ini.
Artinya, produksi seribu hari (3 tahun) produksi minyak Indonesia, hanya dihabiskan dalam satu hari oleh masyarakat di Cina!
Di Indonesia, trend pemakaian mobil tidak berkurang. Ketika harga minyak naik, masyarakat kelas menengah berlomba-lomba membeli mobil, karena khawatir minyak yang naik, harga mobil pun akan melonjak. Jadi, perilaku manusia modern yang cenderung dengan kenyamanan dan gaya hidup ‘lebih baik’ dengan menggunakan kendaraan bermotor, semakin melaju pesat. Peningkatan ekonomi, berdampak pada kemampuan daya beli dan trend konsumen modern adalah: mengikuti jejak negara-negara maju dan semakin gandrung menggunakan energi. Sementara perilaku yang tidak berubah ini, akan terus menjebak kita semua pada persoalan krisis energi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Minimalkan Jejak Karbon (JK)
Jadi, krisis energi dan lingkungan adalah dua sisi dari satu mata uang. Di lain pihak, perubahan perilaku (behavioral change) tercermin dari gaya hidup: bahwa setiap individu manusia di muka bumi ikut berkontribusi mencemari bumi dan membuat penipisan atas sumber daya alam.
Salah satu tolok ukur yang dapat memberikan penyadaran pada kita (secara individu), keluarga maupau maupun kolektif adalah mengukur jekak karbon (JK). Kita bisa pula menghitung JK dengan mengkalkulasi perjalanan sebuah produk mulai dari pabrik yang mengolahnya dengan energi (mengeluarkan emisi karbon) sehingga produk tersebut sampai di etalase pasar.
JK biasanya dihitung dalam jumlah ton karbon atau ton karbon dioksida yang dikeluarkan dalam satu tahun. Banyak versi dalam cara menghitung jejak karbon ini. Yang jelas cara ini akan memberikan gambaran berapa sesungguhnya jumlah sumber daya alam yang langsung digunakan, mengkonversikannya dengan emisi karbon yang terlepas dan dengan demikian diharapkan manusia bisa membatasi diri untuk tidak berperilaku boros dan konsumtif.
Seseorang yang hidup dan tergantung dengan mesin, seperti menggunakan mobil, kendaraan bermotor, AC, membangun rumah yang lebih besar dan mewah, tentu akan berkontribusi terhadap emisi karbon yang lebih besar. Sebaliknya, perilaku sederhana, tidak boros dan konsumtif serta hemat energi: tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar fossil, akan meminimalkan emisi dan pencemaran terhadap lingkungan, sekaligus menghemat sumber daya.
Standar yang digunakan untuk pengukuran karbon dilakukan untuk mengukur gaya hidup dan konsumsi langsung individual terhadap barang dan jasa. Misalnya ada organisasi lingkungan yang menghitung dengan empat stándar: 1) energi, 2) perjalanan dengan menggunakan motor/mobil, 3) perjalanan dengan menggunakan pesawat, dan 4) pola konsumsi (diet). Perhitungan dimulai dengan berapa keluarga yang ada di rumah anda, lalu apakah anda tinggal bersama keluarga atau hanya merupakan keluarga inti, lalu berapa jumlah kamar tidur di rumah atau apartemen anda tinggal. Pengukuran juga dilakukan untuk menghitung pengeluaran karbon yang anda gunakan dalam setahun yang dinilai dari jumlah frekwensi anda bepergian baik dengan kendaraan bermotor maupun naik pesawat udara.
Mereka yang hanya memakan sayur-sayuran (vegetarian) dipastikan mempunyai emisi karbon lebih rendah dari pemakan segala (omnivora), sebab dengan hanya mengkonsumsi sayur dan buah mempunyai nilai buang karbon lebih rendah dibandingkan bila seseorang memakan segala karena diperlukan akomodasi dan buangan karbon yang lebih besar untuk mencukupi gaya hidup seseorang dengan pola pemakan segalanya.
JK juga dapat mendorong konsumen suatu produk ke arah kesadaran pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ramah lingkungan. Dengan melihat JK yang tertera pada bungkus kemasan, maka konsumen dapat berperan dalam menentukan pilihan. Oleh sebab itu, trend yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya pula inisiatif label karbon – seperti halnya green label untuk pertanian organik--dimana sebuah produk memaparkan tentang riwayat penghitungan berapa karbon yang pakai selama proses yang dalam pembuatan produk, penggunaan transportasi hingga kemudian barang tersebut berada di rak sebuah super market. ***
Sumber: Koran Tempo 28 Juni 2008
Fachruddin M. Mangunjaya
Krisis energi dan naiknya bahan bakar minyak (BBM), yang ketiga kalinya dalam kurun waktu satu periode pemerintahan, menjadi pelajaran penting untuk kita semua. Kenaikan harga BBM adalah dampak langsung dari semakin sulitnya kita menemukan sumber daya alam—dalam hal ini energi minyak—yang semakin lama ternyata kian menipis.
Realitas ini terbukti untuk Indonesia, yang telah empat puluh tahun menjadi eksportir minyak, kemudian menjadi net importir, karena produksi minyak Indonesia dibawah 1 juta barrel per hari. Saat ini, produksi minyak Indonesia menurun dari 1.1 juta barrel dan diperkirakan menjadi 995 ribu barrel tahun 2007 dan diperkirakan menjadi 971 ribu barrel tahun 2009. Kepahitan ini, menjadi terbukti ketika pemerintah menyatakan sikapnya keluar dari Organisasi Negara Negera Pengeksor Minyak (OPEC).
Ketika terjadi penipisan sumber daya sementara kebutuhan tetap tinggi, maka kelangkaan akan terjadi sehingga hukum ekonomi tentang pasokan (suplay) dan permintaan (demand) berlaku dalam skala ini.
Secara global, selain sumber daya (minyak) yang semakin menipis, pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk bumi yang semakin pesat juga akan memicu krisis energi dunia. Sebab, fakta yang berlaku, ketika pertumbuhan ekonomi maju, maka hal ini akan segera merubah perilaku manusia dalam peningkatan konsumsi energi dan gaya hidup. Setelah puluhan tahun bekerja, misalnya, semua orang cenderung ingin hidup lebih nyaman: mereka membeli mobil, kendaraan bermotor, memasak menggunakan minyak tanah dan gas, menggunakan AC (pendingin) atau pemanas udara (untuk kawasan temperate) yang semuanya menggunakan energi yang nota bene tidak terperbarukan –karena berbasis fossil--seperti bahan bakar minyak mentah. Efek negatif dari energi ini—seperti kita semua tahu—akan menghasilkan pencemaran lingkungan berupa emisi karbon dioksida (CO2), yang memicu perubahan iklim dan pemanasan global.
Sementara di peringkat pertama, konsumsi energi tertinggi berada di negara adidaya Amerika Serikat (AS), namun dengan laju percepatan ekonomi, semua negara dan bangsa menuju pada gaya hidup yang cenderung sama.
Di Asia: Cina, misalnya, dengan pertumbuhan ekonomi pesat dan populasi yang besar, akan menggantikan AS dalam menyedot konsumsi sumberdaya dasar semisal minyak. Brown (2007) meramalkan pada tahun 2030, penduduk negeri tirai bambu ini akan berjumlah 1.46 milyar. Jika setiap tiga dari empat orang memiliki mobil, maka di Cina saja, akan terdapat 1.1 juta mobil. Dan jumlah tersebut akan menyedot pemakaian 98 juta barrel minyak per hari, seribu kali lipat dari jumlah produksi minyak harian Indonesia sekarang ini.
Artinya, produksi seribu hari (3 tahun) produksi minyak Indonesia, hanya dihabiskan dalam satu hari oleh masyarakat di Cina!
Di Indonesia, trend pemakaian mobil tidak berkurang. Ketika harga minyak naik, masyarakat kelas menengah berlomba-lomba membeli mobil, karena khawatir minyak yang naik, harga mobil pun akan melonjak. Jadi, perilaku manusia modern yang cenderung dengan kenyamanan dan gaya hidup ‘lebih baik’ dengan menggunakan kendaraan bermotor, semakin melaju pesat. Peningkatan ekonomi, berdampak pada kemampuan daya beli dan trend konsumen modern adalah: mengikuti jejak negara-negara maju dan semakin gandrung menggunakan energi. Sementara perilaku yang tidak berubah ini, akan terus menjebak kita semua pada persoalan krisis energi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Minimalkan Jejak Karbon (JK)
Jadi, krisis energi dan lingkungan adalah dua sisi dari satu mata uang. Di lain pihak, perubahan perilaku (behavioral change) tercermin dari gaya hidup: bahwa setiap individu manusia di muka bumi ikut berkontribusi mencemari bumi dan membuat penipisan atas sumber daya alam.
Salah satu tolok ukur yang dapat memberikan penyadaran pada kita (secara individu), keluarga maupau maupun kolektif adalah mengukur jekak karbon (JK). Kita bisa pula menghitung JK dengan mengkalkulasi perjalanan sebuah produk mulai dari pabrik yang mengolahnya dengan energi (mengeluarkan emisi karbon) sehingga produk tersebut sampai di etalase pasar.
JK biasanya dihitung dalam jumlah ton karbon atau ton karbon dioksida yang dikeluarkan dalam satu tahun. Banyak versi dalam cara menghitung jejak karbon ini. Yang jelas cara ini akan memberikan gambaran berapa sesungguhnya jumlah sumber daya alam yang langsung digunakan, mengkonversikannya dengan emisi karbon yang terlepas dan dengan demikian diharapkan manusia bisa membatasi diri untuk tidak berperilaku boros dan konsumtif.
Seseorang yang hidup dan tergantung dengan mesin, seperti menggunakan mobil, kendaraan bermotor, AC, membangun rumah yang lebih besar dan mewah, tentu akan berkontribusi terhadap emisi karbon yang lebih besar. Sebaliknya, perilaku sederhana, tidak boros dan konsumtif serta hemat energi: tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar fossil, akan meminimalkan emisi dan pencemaran terhadap lingkungan, sekaligus menghemat sumber daya.
Standar yang digunakan untuk pengukuran karbon dilakukan untuk mengukur gaya hidup dan konsumsi langsung individual terhadap barang dan jasa. Misalnya ada organisasi lingkungan yang menghitung dengan empat stándar: 1) energi, 2) perjalanan dengan menggunakan motor/mobil, 3) perjalanan dengan menggunakan pesawat, dan 4) pola konsumsi (diet). Perhitungan dimulai dengan berapa keluarga yang ada di rumah anda, lalu apakah anda tinggal bersama keluarga atau hanya merupakan keluarga inti, lalu berapa jumlah kamar tidur di rumah atau apartemen anda tinggal. Pengukuran juga dilakukan untuk menghitung pengeluaran karbon yang anda gunakan dalam setahun yang dinilai dari jumlah frekwensi anda bepergian baik dengan kendaraan bermotor maupun naik pesawat udara.
Mereka yang hanya memakan sayur-sayuran (vegetarian) dipastikan mempunyai emisi karbon lebih rendah dari pemakan segala (omnivora), sebab dengan hanya mengkonsumsi sayur dan buah mempunyai nilai buang karbon lebih rendah dibandingkan bila seseorang memakan segala karena diperlukan akomodasi dan buangan karbon yang lebih besar untuk mencukupi gaya hidup seseorang dengan pola pemakan segalanya.
JK juga dapat mendorong konsumen suatu produk ke arah kesadaran pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ramah lingkungan. Dengan melihat JK yang tertera pada bungkus kemasan, maka konsumen dapat berperan dalam menentukan pilihan. Oleh sebab itu, trend yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya pula inisiatif label karbon – seperti halnya green label untuk pertanian organik--dimana sebuah produk memaparkan tentang riwayat penghitungan berapa karbon yang pakai selama proses yang dalam pembuatan produk, penggunaan transportasi hingga kemudian barang tersebut berada di rak sebuah super market. ***
Sumber: Koran Tempo 28 Juni 2008
Sunday, June 29, 2008
Biofuel Vs Hutan Alam
Oleh Fachruddin M. Mangunjaya
Pendiri Borneo Lestari FoundationSebagai bangsa, mungkin kita kerap tersinggung dan merasa ada ketidakadilan atas tuduhan negara maju dalam memperlakukan hutan alam kita. Pengambil kebijakan tentu saja merasa gerah karena terkadang, sebagai pemimpin bangsa, harus berhadapan dengan kenyataan: antara mengejar target ekonomi (yang memaksa harus mengorbankan hutan alam) dan menghadapi gencarnya para aktivis lingkungan dalam mengkampanyekan pencegahan penggundulan hutan (Koran Tempo, 28 Maret).
Satu fokus penting, dalam upaya menekan laju perubahan iklim adalah upaya menghindarkan kehilangan hutan (avoiding deforestation) guna menurunkan jumlah emisi. Bank Dunia mencatat Indonesia sebagai negara yang menempati urutan ketiga dalam emisi karbon dioksida (CO2), setelah Amerika Serikat dan Cina, ketika emisi akibat pembukaan lahan dan hutan ini dimasukkan.
Secara global, pembukaan hutan dan lahan berkontribusi 20 persen atas emisi global.Ada dua hal yang menyebabkan Indonesia termasuk negara yang serius sebagai penyumbang emisi. Pertama, maraknya illegal logging, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan perkebunan akibat tidak teraturnya penataan tata ruang di tingkat daerah yang diakibatkan masifnya kepentingan ekonomi yang mendorong pada pembukaan lahan. Kedua, banyaknya perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah--terutama dengan pengembangan wilayah, kabupaten, atau provinsi baru--untuk memberikan legalisasi pembukaan lahan berdasarkan wewenang mereka.
Dari sudut pandang pembangunan ekonomi di daerah, semangat pembukaan hutan berjalan paralel dengan kehendak otonomi yang menginginkan peningkatan pendapatan asli daerah. Menghadapi realitas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan minimnya ladang sumur-sumur baru penghasil minyak, Indonesia mencanangkan dukungan untuk memasok sebagian bahan bakarnya dari minyak nabati (biofuel), yang kebanyakan berasal dari kelapa sawit. Di lain pihak, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa kebun sawit dapat menjadi ancaman permanen yang akan terus merambah hutan alam yang ada di Indonesia dan Malaysia.
Alasannya, 90 persen produk sawit dunia dipasok dari kedua negara ini. Dari jumlah tersebut, 6 juta hektare (54 persen) kebun kelapa sawit dari 11 juta hektare yang ada di dunia berada di Indonesia, yang diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit nomor satu dunia menggantikan Malaysia di masa depan. Produksi minyak sawit diperkirakan akan meningkat pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan dunia. Lebih dari 100 juta ton minyak sayur yang dihasilkan oleh dunia setiap tahun setidaknya 30 persen berasal dari minyak kelapa sawit.
Peningkatan juga akan dipicu oleh upaya konversi bahan bakar minyak berbasis fosil (fosil fuel) menjadi minyak hayati (biofuel) sebagai pengganti BBM. Sejak 2000, tantangan pasokan crude palm oil (CPO) kian bertambah dan prospek yang besar di pasar dunia atas kebutuhan sawit semakin meningkat. Sambutan untuk pembukaan lahan dan kebun di daerah pun meningkat pesat. Misalnya, sebagai daerah yang menginginkan pendapatan yang tinggi, pemerintah Kalimantan Tengah sejak 2004 telah mencanangkan proses monokultur berupa pembuatan kebun-kebun sawit seluas jutaan hektare.
Adapun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mencanangkan 1,5 juta hektare, tapi--mendahului pemerintah provinsi--pemerintah kabupaten telah mengeluarkan perizinan seluas 4,2 juta hektare. Maka kebun-kebun sawit tumbuh menghijau sejauh mata memandang. Dari sudut lingkungan, akibat dari lajunya kerusakan hutan dan pembukaan lahan, banyak spesies eksotik Indonesia akan segera mengalami kepunahan. Orang utan, misalnya, menurut Centre for Orangutan Protection, diperkirakan terbunuh 1.500 ekor pada 2006 dan penghilangan spesies tersebut masih berlanjut hingga kini. Penyebabnya tentu karena kebun-kebun sawit tidak lagi menggunakan lahan yang telantar dan tidak berhutan--atau secara legal di kawasan pengembangan produksi atau kawasan permukiman dan penggunaan lain--tapi justru di dalam kawasan hutan yang menjadi habitat satwa.
Apabila keadaan ini terus berlangsung--tanpa adanya komitmen pembatasan--tentu sangat bertentangan dengan semangat pertemuan Bali yang mengusung cara menghindari pengalihan lahan hutan dan perusakan keanekaragaman hayati. Hal lain yang dikhawatirkan oleh para pencinta lingkungan adalah, ketika sebuah kebun monokultur ini berdiri, lingkungan akan mengalami proses "racunisasi", yang berasal dari pestisida, herbisida, dan fertilizer, yang ditebarkan untuk mendukung tumbuhan yang luasannya jutaan hektare tersebut.
Proses ini tentu saja akan menghantui kesehatan ekosistem dan mengancam daerah aliran sungai, seperti di Kalimantan yang memiliki sungai-sungai besar tempat sebagian besar kehidupan rakyat bergantung pada air sungai. Rahman (2007) memperkirakan sebatang sawit dapat menghabiskan 8 kilogram pupuk per tahun. Jadi, apabila 1 juta hektare kebun sawit--yang mempunyai jumlah 140 pohon--dikalikan dengan jumlah itu, dapat dibayangkan ada 1.120 ton pupuk yang dipasok. Dan dampak dari residu pupuk organik tersebut akan ditumpahkan di tanah, yang boleh jadi akan mencemari anak sungai yang ada di kawasan sekitarnya.
Proses racunisasi juga akan berlangsung dengan pestisida dan herbisida, yang sudah pasti digunakan dalam mengatasi gangguan terhadap hama perkebunan tersebut.Melihat permintaan CPO yang kian meningkat, ditambah target untuk memasok biofuel sebagai substitusi mengatasi harga BBM yang kian menanjak, tentu saja menahan laju sektor ini akan menjadi tidak bermakna. Di lain pihak, semangat pencegahan pemanasan global sangat bergantung pada kebijakan dan upaya menghindarkan pembukaan hutan (untuk mencegah pelepasan emisi). Jadi adakah jalan untuk menghindari paradoks yang sebenarnya kontraproduktif tersebut?
Mengamati animo pasar dan tren peningkatan pembukaan perkebunan sawit yang agresif, setidaknya ada beberapa alternatif dalam menyikapi hal ini.Pertama, semangat pembukaan lahan untuk kelapa sawit perlu diimbangi dengan perencanaan yang strategis, menghindari pembukaan lahan baru (dengan hutan alam yang mempunyai potensi penyerap emisi), dan menyesuaikan tata ruang daerah dengan meminimalkan dampak lingkungan. Kedua, dalam upaya menghindari pembukaan lahan agar perkembangan kebun sawit menjadi ideal, diperlukan kesadaran bersama dunia usaha (investor) untuk menghindarkan kerusakan yang berkepanjangan guna mempertahankan bisnis mereka supaya berkelanjutan dan mendapatkan keuntungan jangka panjang, baik dalam profit (bisnis) maupun keuntungan ekosistem.
Karena itu, pemerintah tidak seharusnya menghindar dari upaya para aktivis lingkungan dalam mengoreksi pemanfaatan lahan. Sebaliknya, jembatan kemitraan harus diupayakan untuk memuluskan jalan dunia usaha antara pemerintah (pemberi izin) dan pendampingan dari lembaga-lembaga independen, yang dapat meneliti serta memberikan rekomendasi terbaik untuk menghindarkan kerusakan lingkungan. Semangat kemitraan ini diharapkan akan sangat membantu dunia usaha karena persoalan perubahan iklim telah menjadi kepedulian semua pihak.
Kinerja usaha multinasional yang baik bagi lingkungan akan mempengaruhi bursa saham karena "sertifikasi lingkungan" akan semakin dipertimbangkan dalam gerakan global aksi menghindarkan pemanasan globalKetiga, belajar pada pengalaman pahit--dalam ketidakmampuan--memproses minyak mentah. Secara bertahap, Indonesia harus membangun pabrik-pabrik pengolahan CPO-nya dan memproduksi nilai tambah yang dimulai dari hulu, seperti memproduksi CPO menjadi produk kosmetik, mentega, sabun, dan barang jadi yang lain untuk kemudian--mendapatkan nilai tambah ekspor--menjadi bukan sekadar minyak mentah.
Sektor ini akan membantu menyerap banyak tenaga kerja, terutama mereka yang kehilangan mata pencaharian karena pabrik-pabrik hak pengusahaan hutan di daerah telah ditutup.***
(KORAN TEMPO 25 April 2008).
Pendiri Borneo Lestari FoundationSebagai bangsa, mungkin kita kerap tersinggung dan merasa ada ketidakadilan atas tuduhan negara maju dalam memperlakukan hutan alam kita. Pengambil kebijakan tentu saja merasa gerah karena terkadang, sebagai pemimpin bangsa, harus berhadapan dengan kenyataan: antara mengejar target ekonomi (yang memaksa harus mengorbankan hutan alam) dan menghadapi gencarnya para aktivis lingkungan dalam mengkampanyekan pencegahan penggundulan hutan (Koran Tempo, 28 Maret).
Satu fokus penting, dalam upaya menekan laju perubahan iklim adalah upaya menghindarkan kehilangan hutan (avoiding deforestation) guna menurunkan jumlah emisi. Bank Dunia mencatat Indonesia sebagai negara yang menempati urutan ketiga dalam emisi karbon dioksida (CO2), setelah Amerika Serikat dan Cina, ketika emisi akibat pembukaan lahan dan hutan ini dimasukkan.
Secara global, pembukaan hutan dan lahan berkontribusi 20 persen atas emisi global.Ada dua hal yang menyebabkan Indonesia termasuk negara yang serius sebagai penyumbang emisi. Pertama, maraknya illegal logging, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan perkebunan akibat tidak teraturnya penataan tata ruang di tingkat daerah yang diakibatkan masifnya kepentingan ekonomi yang mendorong pada pembukaan lahan. Kedua, banyaknya perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah--terutama dengan pengembangan wilayah, kabupaten, atau provinsi baru--untuk memberikan legalisasi pembukaan lahan berdasarkan wewenang mereka.
Dari sudut pandang pembangunan ekonomi di daerah, semangat pembukaan hutan berjalan paralel dengan kehendak otonomi yang menginginkan peningkatan pendapatan asli daerah. Menghadapi realitas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan minimnya ladang sumur-sumur baru penghasil minyak, Indonesia mencanangkan dukungan untuk memasok sebagian bahan bakarnya dari minyak nabati (biofuel), yang kebanyakan berasal dari kelapa sawit. Di lain pihak, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa kebun sawit dapat menjadi ancaman permanen yang akan terus merambah hutan alam yang ada di Indonesia dan Malaysia.
Alasannya, 90 persen produk sawit dunia dipasok dari kedua negara ini. Dari jumlah tersebut, 6 juta hektare (54 persen) kebun kelapa sawit dari 11 juta hektare yang ada di dunia berada di Indonesia, yang diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit nomor satu dunia menggantikan Malaysia di masa depan. Produksi minyak sawit diperkirakan akan meningkat pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan dunia. Lebih dari 100 juta ton minyak sayur yang dihasilkan oleh dunia setiap tahun setidaknya 30 persen berasal dari minyak kelapa sawit.
Peningkatan juga akan dipicu oleh upaya konversi bahan bakar minyak berbasis fosil (fosil fuel) menjadi minyak hayati (biofuel) sebagai pengganti BBM. Sejak 2000, tantangan pasokan crude palm oil (CPO) kian bertambah dan prospek yang besar di pasar dunia atas kebutuhan sawit semakin meningkat. Sambutan untuk pembukaan lahan dan kebun di daerah pun meningkat pesat. Misalnya, sebagai daerah yang menginginkan pendapatan yang tinggi, pemerintah Kalimantan Tengah sejak 2004 telah mencanangkan proses monokultur berupa pembuatan kebun-kebun sawit seluas jutaan hektare.
Adapun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mencanangkan 1,5 juta hektare, tapi--mendahului pemerintah provinsi--pemerintah kabupaten telah mengeluarkan perizinan seluas 4,2 juta hektare. Maka kebun-kebun sawit tumbuh menghijau sejauh mata memandang. Dari sudut lingkungan, akibat dari lajunya kerusakan hutan dan pembukaan lahan, banyak spesies eksotik Indonesia akan segera mengalami kepunahan. Orang utan, misalnya, menurut Centre for Orangutan Protection, diperkirakan terbunuh 1.500 ekor pada 2006 dan penghilangan spesies tersebut masih berlanjut hingga kini. Penyebabnya tentu karena kebun-kebun sawit tidak lagi menggunakan lahan yang telantar dan tidak berhutan--atau secara legal di kawasan pengembangan produksi atau kawasan permukiman dan penggunaan lain--tapi justru di dalam kawasan hutan yang menjadi habitat satwa.
Apabila keadaan ini terus berlangsung--tanpa adanya komitmen pembatasan--tentu sangat bertentangan dengan semangat pertemuan Bali yang mengusung cara menghindari pengalihan lahan hutan dan perusakan keanekaragaman hayati. Hal lain yang dikhawatirkan oleh para pencinta lingkungan adalah, ketika sebuah kebun monokultur ini berdiri, lingkungan akan mengalami proses "racunisasi", yang berasal dari pestisida, herbisida, dan fertilizer, yang ditebarkan untuk mendukung tumbuhan yang luasannya jutaan hektare tersebut.
Proses ini tentu saja akan menghantui kesehatan ekosistem dan mengancam daerah aliran sungai, seperti di Kalimantan yang memiliki sungai-sungai besar tempat sebagian besar kehidupan rakyat bergantung pada air sungai. Rahman (2007) memperkirakan sebatang sawit dapat menghabiskan 8 kilogram pupuk per tahun. Jadi, apabila 1 juta hektare kebun sawit--yang mempunyai jumlah 140 pohon--dikalikan dengan jumlah itu, dapat dibayangkan ada 1.120 ton pupuk yang dipasok. Dan dampak dari residu pupuk organik tersebut akan ditumpahkan di tanah, yang boleh jadi akan mencemari anak sungai yang ada di kawasan sekitarnya.
Proses racunisasi juga akan berlangsung dengan pestisida dan herbisida, yang sudah pasti digunakan dalam mengatasi gangguan terhadap hama perkebunan tersebut.Melihat permintaan CPO yang kian meningkat, ditambah target untuk memasok biofuel sebagai substitusi mengatasi harga BBM yang kian menanjak, tentu saja menahan laju sektor ini akan menjadi tidak bermakna. Di lain pihak, semangat pencegahan pemanasan global sangat bergantung pada kebijakan dan upaya menghindarkan pembukaan hutan (untuk mencegah pelepasan emisi). Jadi adakah jalan untuk menghindari paradoks yang sebenarnya kontraproduktif tersebut?
Mengamati animo pasar dan tren peningkatan pembukaan perkebunan sawit yang agresif, setidaknya ada beberapa alternatif dalam menyikapi hal ini.Pertama, semangat pembukaan lahan untuk kelapa sawit perlu diimbangi dengan perencanaan yang strategis, menghindari pembukaan lahan baru (dengan hutan alam yang mempunyai potensi penyerap emisi), dan menyesuaikan tata ruang daerah dengan meminimalkan dampak lingkungan. Kedua, dalam upaya menghindari pembukaan lahan agar perkembangan kebun sawit menjadi ideal, diperlukan kesadaran bersama dunia usaha (investor) untuk menghindarkan kerusakan yang berkepanjangan guna mempertahankan bisnis mereka supaya berkelanjutan dan mendapatkan keuntungan jangka panjang, baik dalam profit (bisnis) maupun keuntungan ekosistem.
Karena itu, pemerintah tidak seharusnya menghindar dari upaya para aktivis lingkungan dalam mengoreksi pemanfaatan lahan. Sebaliknya, jembatan kemitraan harus diupayakan untuk memuluskan jalan dunia usaha antara pemerintah (pemberi izin) dan pendampingan dari lembaga-lembaga independen, yang dapat meneliti serta memberikan rekomendasi terbaik untuk menghindarkan kerusakan lingkungan. Semangat kemitraan ini diharapkan akan sangat membantu dunia usaha karena persoalan perubahan iklim telah menjadi kepedulian semua pihak.
Kinerja usaha multinasional yang baik bagi lingkungan akan mempengaruhi bursa saham karena "sertifikasi lingkungan" akan semakin dipertimbangkan dalam gerakan global aksi menghindarkan pemanasan globalKetiga, belajar pada pengalaman pahit--dalam ketidakmampuan--memproses minyak mentah. Secara bertahap, Indonesia harus membangun pabrik-pabrik pengolahan CPO-nya dan memproduksi nilai tambah yang dimulai dari hulu, seperti memproduksi CPO menjadi produk kosmetik, mentega, sabun, dan barang jadi yang lain untuk kemudian--mendapatkan nilai tambah ekspor--menjadi bukan sekadar minyak mentah.
Sektor ini akan membantu menyerap banyak tenaga kerja, terutama mereka yang kehilangan mata pencaharian karena pabrik-pabrik hak pengusahaan hutan di daerah telah ditutup.***
(KORAN TEMPO 25 April 2008).
Friday, March 28, 2008
Harga Hutan Alam
Ketetapan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Penggunaan Kawasan Hutan, Nomor 2 Tahun 2008, dianggap terlampau murah.
Pemerintah memutuskan harga hutan dengan mengizinkan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif hanya Rp 1,2-2,4 juta per hektare. Tentu saja harga ini terlalu murah jika dibuat per meter, yaitu hanya Rp 102 dan Rp 240 per tahun, lebih murah dari harga pisang goreng yang sekarang berkisar Rp 300-500 per potong.
Bandingkan pula murahnya harga 1 hektare lahan hutan, sama dengan harga 1 meter persegi tanah di kawasan menengah di Jakarta. Andaikan lahan itu di Jakarta--walaupun di bawahnya tidak ada lahan tambang--satu hektarenya akan berharga Rp 1,2 miliar hingga Rp 2,4 miliar. Selanjutnya baca dan berikan komentar >>>>
Pemerintah memutuskan harga hutan dengan mengizinkan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif hanya Rp 1,2-2,4 juta per hektare. Tentu saja harga ini terlalu murah jika dibuat per meter, yaitu hanya Rp 102 dan Rp 240 per tahun, lebih murah dari harga pisang goreng yang sekarang berkisar Rp 300-500 per potong.
Bandingkan pula murahnya harga 1 hektare lahan hutan, sama dengan harga 1 meter persegi tanah di kawasan menengah di Jakarta. Andaikan lahan itu di Jakarta--walaupun di bawahnya tidak ada lahan tambang--satu hektarenya akan berharga Rp 1,2 miliar hingga Rp 2,4 miliar. Selanjutnya baca dan berikan komentar >>>>
Monday, March 3, 2008
Nilai Ekonomi Alam Sekitar
Seperti lagu Bengawan Solo: “Akhirnya ke laut...” itulah keputusan terakhir dalam keadaan ‘darurat’ yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi luapan Lumpur Sidoarjo (Lusi). Tentu saja para nelayan yang selama ini telah menikmati produktifitas ekosistem laut dan bakau di Selat Madura keberatan dengan adanya kebijakan ini (Koran Tempo, 7/5/07).
Kasus Lusi semestinya membawa banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia, sehingga keputusan ini juga yang mendasari Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam pernyataanya Koran Tempo (23/9/06), akan membuat undang –undang untuk tidak lagi memberikan ijin Amdal pengeboran dan pertambangan di kawasan yang mempunyai banyak penghuni dan berpenduduk.
Sesungguhnya kehati-hatian pemberian ijin untuk menyelamatkan lingkungan, tidak saja untuk penambangan, tetapi secara lebih luas –perlu perhatian—untuk tidak memberikan ijin pada kawasan mana pun di negeri ini yang mempunyai ‘ekosistem yang rentan (fragile ecosystems). Oleh sebab itu, komitmen ini tentunya harus disertai dengan sebuah keputusan peraturan dan perundang-undangan yang jelas, sebab selama ini masih banyak ketetapan yang tidak konsisten terutama bila berhadapan dengan ‘permohonan usaha’ untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sesaat, tetapi akhirnya mengorbankan ekosistem yang lebih bernilai: misalnya pemberian ijin untuk pembalakan kayu, pembuatan fasilitas umum dan penambangan di hutan lindung, akhirnya –karena alasan politik—dan desakan ‘ekonomi’ keputusan yang diambil adalah mengorbankan lingkungan.
Setelah kejadian Lusi, dan banyak sekali bencana alam, mestilah membuat lebih banyak pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan yang sadar, bahwa seluruh kejadian ini membawa dampak pada ketidak pastian iklim investasi yang akan membawa kelambanan pemulihan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu terakhir ini, para ahli lingkungan dan konservasionis, selalu mengadakan pengkajian dengan pendekatan perhitungan ekonomi dan valuasi untung rugi (cost dan benefit) atas berapa sesungguhnya ‘harga’ sebuah ekosistem alami –semula jadi-- atau apa adanya. Perhitungan ini sering disebut pula dengan ‘nilai jasa’ ekosistem yang kelihatannya sangat sepele, seperti: air, kesuburan tanah, ikan, satwa, udara, hutan alami sebagai pencegah erosi, nilai-nilai estetika, hasil hutan non kayu atau non timber forest product –NTFP, serta hutan bakau yang tentu lebih tinggi nilainya bila dibiarkan dalam keadaan alami, dibandingkan bila ditebang atau dijual kayunya.
Kerugian yang sesungguhnya dapat dinilai, apabila kemudian negara pada akhirnya harus berkorban yang nota bene: pengorbanan negara merupakan cost yang ditanggung bersama oleh rakyat dan uang rakyat yang harus di subsidi kepada pengusaha yang berbasis pada keuntungan kelompok dan individu. Pada akhirnya bangsa secara keseluruhan akan sangat dirugikan akibat kebijakan yang tidak memperhatikan keuntungan jangka panjang. Padahal pemungutan pajak –dari perusahaan dan investor—kepada pemerintah tentu saja dikeluarkan dengan niat agar kualitas kesejahteraan rakyat semakin meningkat dan ekosistem alam sebagai penyangga dapat mempertahankan kapasitasnya.
Belajar dari pengalaman dan banyak riset terakhir, para ilmuwan bersepakat bahwa dengan menjaga ekosistem secara keseluruhan, maka kemanusiaan akan dapat terhindar dari berbagai ancaman: penyakit, pemanasan global, penggundulan hutan, polusi udara, pencemaran air hingga perambahan spesies baru pada pada bukan habitat alaminya (aliens spesies).
Constanza dkk, menulis dalam Nature (1997) menyimpulkan bahwa ekosistem utuh yang ada di planet bumi ini secara keseluruhan mempunyai nilai AS$ 33 triliun (Rp297.000 triliun) dua kali Gross National Product (GNP) dunia. Sebuah nilai dengan angka yang tentu saja tidak dapat kita bayangkan banyaknya. Oleh karena itu para ekonom sudah sejak lama menghitung nilai-nilai ekonomi harga tag price untuk lahan rawa, gurun, gunung es, terumbu karang atau hutan alami untuk mengetahui tolok ukur untung rugi apabila kawasan-kawsan ini dibangun untuk keperluan konsumtif misalnya perumahan atau pendirian pabrik, penebangan hutan dan konversi lahan bakau untuk dijadikan tambak. Dalam sebuah laporannya, World Bank (1996) menaksir rata-rata terumbu karang mempunya nilai AS$ 15.000 (Rp138 juta)/km2/tahun. Sedangkan untuk kawasan yang mempunyai nilai aset wisata dan menjadi tumpuan penghasilan ekonomi masayarakat pantai terumbu karang Indonesia ditaksir dapat menghasilkan AS$3.000 (Rp 27,6 juta) hingga AS$ 5 juta (Rp46 milyar)/km2 pertahun.
Terumbu karang merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan berfungsi sebagai pemecah gelombang dan pencegah adanya penggerusan yang mengakibatkan abrasi pada pantai. Kawasan produktif ini akan terganggu dan menurun nilainya jika karangnya diambil, ikannya ditangkap dengan menggunakan racun, bahkan dibom seperti yang dilakukan beberapa nelayan di kawasan perairan Sulawesi dan Papua. Penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan tersebut, misalnya akan memberikan keuntungan sesaat pada sebagian orang, yaitu AS$ 33.000 (Rp303,6 juta)/km2,dalam jangka waktu tertentu, akan tetapi kerugian akibat kehilangan fungsi dan nilai terumbu karang mencapai AS$ 761 ribu (Rp7 milyar)/km2.
Hal terpenting dalam prinsip menghargai sumber daya alam dan ekosistem adalah, bahwa segala yang ada di bumi ini sesungguhnya merupakan tumpuan agar manusia dapat mempunyai ketahanan hidup. Artinya, jika bangsa Indonesia ingin bertahan sebagai bangsa yang tetap eksis, dan manusia secara keseluruhan ingin dapat mendapatkan kenikmatan kehidupan, sudah harusnyalah kita mempertahankan ketahanan ekosistem alami tersebut. Ada tiga alasan utama, mengapa pertimbangan terhadap ekosistem perlu dilihat: Pertama, kerusakan ekosistem berpotensi mengubah ketahanan fungsi alami yand ada pada ekosistem tertentu yang akan berdampak pada ekosistem yang lain (multiple effect) yang boleh jadi mengakibatkan kehilangan produktifitas biologi, yang pada ujungnya akan berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan yang sangat dibutuhkan manusia. Misalnya, hutan bakau akan diperlukan untuk tempat pemijahan, demikian pula salinitas air laut sangat penting bagi pertumbuhan plankton sebagai asupan pakan benih udang dan ikan yang menjadi produsen utama mata rantai dalam ekosistem mangrove. Kedua, boleh jadi sebuah ekploitasi terhadap alam tersebut tidak lagi dapat memberikan opsi bagi generasi yang akan datang untuk mendapatkan daya dukung ekosistem yang optimal (misalnya dengan terjadinya erosi, pengurangan sumber daya air, penggurunan dan kepunahan keanekaragaman hayati). Ketiga, terjadi perubahan yang mengakibatkan ketidak pastian. Fungsi ekosistem yang rusak juga akan mempengaruhi iklim makro yang menjadikan masalah perekonomian menjadi tidak pasti, misalnya, kekeringan yang berkepanjangan –akibat perubahan iklim—yang mengakibatkan gagal panen dan kerugian pertanian akibat lahan puso.
Dengan mempelajari nilai ekonomi ‘jasa ekosistem’ alam, maka apabila terjadi pembuangan lumpur di Pantai Sidoarjo, seharusnya bisa dinilai pula—dan perlu dihitung—kerugian yang ditimpakan pada kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau yang ada disana. Begitu pula kerugian produktifitas saluran drainase dan jaringan air minum yang rusak, saluran irigasi, sawah dan lahan perkebunan yang rusak ratusan hektar. Lalu perhitungan harus ditambah lagi dengan dampak pembuangan ke laut, yang menimbulkan kekhawatiran penurunan produktifitas tangkapan ikan hingga selat madura (karena dampak pembuangan biasanya berakibat menyebar (broad spectrum). Sekarang ini kompensasi yang harus ditanggung oleh Lapindo Brantas saja telah menyedot dana adalah Rp26,04 miliar. Tentu yang paling sulit dinilai adalah hilangnya opsi jangka panjang ketika generasi yang akan datang, tidak akan pernah lagi mendapatkan kesempatan yang sama –dengan kita hari ini (sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan)—untuk menikmati keindahan pantai dan produktifitas lahan yang seharusnya mereka dapatkan, karena kawasan tersebut telah berubah dan tercemar.
Salah satu contoh paling terkini tentang kawasan ekosistem yang rentan adalah Pulau Siberut, yang merupakan pulau kecil yang menurut penelitian LIPI (1995), digolongkan sebagai mintakat sensitivitas I dan II . Kawasan ini memiliki kelerengan lebih dari 25% dan curah hujan yang tinggi (3000-4000mm/th) sehingga mempunyai laju erodebitas yang tinggi. Kesimpulannya pulau ini sangatlah tidak cocok untuk ekploitasi, dan sebaiknya hanyalah untuk kawasan konservasi.
Akan tetapi sesungguhnya, berapa pun harga yang diberikan untuk jasa ekosistem kita, pada hakikatnya tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ekonomi saja, melainkan lebih dari itu, karena hanya pada bumi dan ekosistem yang sehatlah bangsa ini dapat hidup dan mempertahankan eksistensinya.***
Kasus Lusi semestinya membawa banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia, sehingga keputusan ini juga yang mendasari Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam pernyataanya Koran Tempo (23/9/06), akan membuat undang –undang untuk tidak lagi memberikan ijin Amdal pengeboran dan pertambangan di kawasan yang mempunyai banyak penghuni dan berpenduduk.
Sesungguhnya kehati-hatian pemberian ijin untuk menyelamatkan lingkungan, tidak saja untuk penambangan, tetapi secara lebih luas –perlu perhatian—untuk tidak memberikan ijin pada kawasan mana pun di negeri ini yang mempunyai ‘ekosistem yang rentan (fragile ecosystems). Oleh sebab itu, komitmen ini tentunya harus disertai dengan sebuah keputusan peraturan dan perundang-undangan yang jelas, sebab selama ini masih banyak ketetapan yang tidak konsisten terutama bila berhadapan dengan ‘permohonan usaha’ untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sesaat, tetapi akhirnya mengorbankan ekosistem yang lebih bernilai: misalnya pemberian ijin untuk pembalakan kayu, pembuatan fasilitas umum dan penambangan di hutan lindung, akhirnya –karena alasan politik—dan desakan ‘ekonomi’ keputusan yang diambil adalah mengorbankan lingkungan.
Setelah kejadian Lusi, dan banyak sekali bencana alam, mestilah membuat lebih banyak pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan yang sadar, bahwa seluruh kejadian ini membawa dampak pada ketidak pastian iklim investasi yang akan membawa kelambanan pemulihan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu terakhir ini, para ahli lingkungan dan konservasionis, selalu mengadakan pengkajian dengan pendekatan perhitungan ekonomi dan valuasi untung rugi (cost dan benefit) atas berapa sesungguhnya ‘harga’ sebuah ekosistem alami –semula jadi-- atau apa adanya. Perhitungan ini sering disebut pula dengan ‘nilai jasa’ ekosistem yang kelihatannya sangat sepele, seperti: air, kesuburan tanah, ikan, satwa, udara, hutan alami sebagai pencegah erosi, nilai-nilai estetika, hasil hutan non kayu atau non timber forest product –NTFP, serta hutan bakau yang tentu lebih tinggi nilainya bila dibiarkan dalam keadaan alami, dibandingkan bila ditebang atau dijual kayunya.
Kerugian yang sesungguhnya dapat dinilai, apabila kemudian negara pada akhirnya harus berkorban yang nota bene: pengorbanan negara merupakan cost yang ditanggung bersama oleh rakyat dan uang rakyat yang harus di subsidi kepada pengusaha yang berbasis pada keuntungan kelompok dan individu. Pada akhirnya bangsa secara keseluruhan akan sangat dirugikan akibat kebijakan yang tidak memperhatikan keuntungan jangka panjang. Padahal pemungutan pajak –dari perusahaan dan investor—kepada pemerintah tentu saja dikeluarkan dengan niat agar kualitas kesejahteraan rakyat semakin meningkat dan ekosistem alam sebagai penyangga dapat mempertahankan kapasitasnya.
Belajar dari pengalaman dan banyak riset terakhir, para ilmuwan bersepakat bahwa dengan menjaga ekosistem secara keseluruhan, maka kemanusiaan akan dapat terhindar dari berbagai ancaman: penyakit, pemanasan global, penggundulan hutan, polusi udara, pencemaran air hingga perambahan spesies baru pada pada bukan habitat alaminya (aliens spesies).
Constanza dkk, menulis dalam Nature (1997) menyimpulkan bahwa ekosistem utuh yang ada di planet bumi ini secara keseluruhan mempunyai nilai AS$ 33 triliun (Rp297.000 triliun) dua kali Gross National Product (GNP) dunia. Sebuah nilai dengan angka yang tentu saja tidak dapat kita bayangkan banyaknya. Oleh karena itu para ekonom sudah sejak lama menghitung nilai-nilai ekonomi harga tag price untuk lahan rawa, gurun, gunung es, terumbu karang atau hutan alami untuk mengetahui tolok ukur untung rugi apabila kawasan-kawsan ini dibangun untuk keperluan konsumtif misalnya perumahan atau pendirian pabrik, penebangan hutan dan konversi lahan bakau untuk dijadikan tambak. Dalam sebuah laporannya, World Bank (1996) menaksir rata-rata terumbu karang mempunya nilai AS$ 15.000 (Rp138 juta)/km2/tahun. Sedangkan untuk kawasan yang mempunyai nilai aset wisata dan menjadi tumpuan penghasilan ekonomi masayarakat pantai terumbu karang Indonesia ditaksir dapat menghasilkan AS$3.000 (Rp 27,6 juta) hingga AS$ 5 juta (Rp46 milyar)/km2 pertahun.
Terumbu karang merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan berfungsi sebagai pemecah gelombang dan pencegah adanya penggerusan yang mengakibatkan abrasi pada pantai. Kawasan produktif ini akan terganggu dan menurun nilainya jika karangnya diambil, ikannya ditangkap dengan menggunakan racun, bahkan dibom seperti yang dilakukan beberapa nelayan di kawasan perairan Sulawesi dan Papua. Penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan tersebut, misalnya akan memberikan keuntungan sesaat pada sebagian orang, yaitu AS$ 33.000 (Rp303,6 juta)/km2,dalam jangka waktu tertentu, akan tetapi kerugian akibat kehilangan fungsi dan nilai terumbu karang mencapai AS$ 761 ribu (Rp7 milyar)/km2.
Hal terpenting dalam prinsip menghargai sumber daya alam dan ekosistem adalah, bahwa segala yang ada di bumi ini sesungguhnya merupakan tumpuan agar manusia dapat mempunyai ketahanan hidup. Artinya, jika bangsa Indonesia ingin bertahan sebagai bangsa yang tetap eksis, dan manusia secara keseluruhan ingin dapat mendapatkan kenikmatan kehidupan, sudah harusnyalah kita mempertahankan ketahanan ekosistem alami tersebut. Ada tiga alasan utama, mengapa pertimbangan terhadap ekosistem perlu dilihat: Pertama, kerusakan ekosistem berpotensi mengubah ketahanan fungsi alami yand ada pada ekosistem tertentu yang akan berdampak pada ekosistem yang lain (multiple effect) yang boleh jadi mengakibatkan kehilangan produktifitas biologi, yang pada ujungnya akan berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan yang sangat dibutuhkan manusia. Misalnya, hutan bakau akan diperlukan untuk tempat pemijahan, demikian pula salinitas air laut sangat penting bagi pertumbuhan plankton sebagai asupan pakan benih udang dan ikan yang menjadi produsen utama mata rantai dalam ekosistem mangrove. Kedua, boleh jadi sebuah ekploitasi terhadap alam tersebut tidak lagi dapat memberikan opsi bagi generasi yang akan datang untuk mendapatkan daya dukung ekosistem yang optimal (misalnya dengan terjadinya erosi, pengurangan sumber daya air, penggurunan dan kepunahan keanekaragaman hayati). Ketiga, terjadi perubahan yang mengakibatkan ketidak pastian. Fungsi ekosistem yang rusak juga akan mempengaruhi iklim makro yang menjadikan masalah perekonomian menjadi tidak pasti, misalnya, kekeringan yang berkepanjangan –akibat perubahan iklim—yang mengakibatkan gagal panen dan kerugian pertanian akibat lahan puso.
Dengan mempelajari nilai ekonomi ‘jasa ekosistem’ alam, maka apabila terjadi pembuangan lumpur di Pantai Sidoarjo, seharusnya bisa dinilai pula—dan perlu dihitung—kerugian yang ditimpakan pada kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau yang ada disana. Begitu pula kerugian produktifitas saluran drainase dan jaringan air minum yang rusak, saluran irigasi, sawah dan lahan perkebunan yang rusak ratusan hektar. Lalu perhitungan harus ditambah lagi dengan dampak pembuangan ke laut, yang menimbulkan kekhawatiran penurunan produktifitas tangkapan ikan hingga selat madura (karena dampak pembuangan biasanya berakibat menyebar (broad spectrum). Sekarang ini kompensasi yang harus ditanggung oleh Lapindo Brantas saja telah menyedot dana adalah Rp26,04 miliar. Tentu yang paling sulit dinilai adalah hilangnya opsi jangka panjang ketika generasi yang akan datang, tidak akan pernah lagi mendapatkan kesempatan yang sama –dengan kita hari ini (sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan)—untuk menikmati keindahan pantai dan produktifitas lahan yang seharusnya mereka dapatkan, karena kawasan tersebut telah berubah dan tercemar.
Salah satu contoh paling terkini tentang kawasan ekosistem yang rentan adalah Pulau Siberut, yang merupakan pulau kecil yang menurut penelitian LIPI (1995), digolongkan sebagai mintakat sensitivitas I dan II . Kawasan ini memiliki kelerengan lebih dari 25% dan curah hujan yang tinggi (3000-4000mm/th) sehingga mempunyai laju erodebitas yang tinggi. Kesimpulannya pulau ini sangatlah tidak cocok untuk ekploitasi, dan sebaiknya hanyalah untuk kawasan konservasi.
Akan tetapi sesungguhnya, berapa pun harga yang diberikan untuk jasa ekosistem kita, pada hakikatnya tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ekonomi saja, melainkan lebih dari itu, karena hanya pada bumi dan ekosistem yang sehatlah bangsa ini dapat hidup dan mempertahankan eksistensinya.***
Tuesday, February 19, 2008
Republik Orangutan
Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan
Awal Februari ini PBB mengeluarkan himbauan, meminta dunia untuk ikut menyelamatkan orangutan di Indonesia. Program Lingkungan Hidup PBB(UNEP) meminta dunia internasional segera mengambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan orangutan yang terancam punah di hutan-hutan Indonesia, akibat tingginya tingkat pembalakan liar. Menurut UNEP, tanpa adanya campur tangan langsung di lapangan, orangutan dan margasatwa lainnya di hutan akan semakin langka hingga akhirnya dalam jangka panjang sudah tidak dapat ditemui lagi (Antara, 7/2)
Pemerintah Indonesia, memang telah berupaya keras menyelamatkan orangutan yang mereka miliki. Terbukti pada tanggal 25 November 2006 tahun lalu, Menteri Kehutanan disertai Ibu Negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono, ikut menyambut kedatangan 48 orangutan, yang tiba dari Thailand. Orangutan ini tentu saja telah menjalani test DNA untuk menentukan asal muasal mereka, dan kemana mereka harus dikembalikan. Thailand tidak mempunyai orangutan di hutan alaminya. Orangutan hanya dijumpai di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, jadi di negeri inilah sebenarnya ‘Republik Orangutan’ berada. Negara lain yang memiliki orangutan di habitat aslinya adalah Malaysia (yang hidup di negara bagian Sabah), Kalimantan Utara.
Kita jadi bertanya bagaimana Thailand mendapatkan orangutan? Ternyata ‘warga negara’ berbulu merah ini juga mengalami ‘trafficking’--seperti halnya banyak perempuan di Asia--diselundupkan melalui kapal-kapal pembawa kayu yang membawa ekspor kayu ke Thailand. Sebagian lagi memang hasil pekerjaan pedagang illegal yang sukses menyelundupkan makhluk mirip manusia ini, karena permintaan pasar yang tinggi di Thailand.
Walaupun ini peristiwa pulang kampung bagi orangutan dari Thailand, bukan pertama kali. Pengembalian orang bisa menarik banyak perhatian baik secara nasional bahkan internasional. Soalnya, kera merah berbadan besar dan hidung pesek ini, memang semakin hari semakin tergusur, karena kehidupan di alam mereka sangat tergantung dengan adanya hutan tropis yang asli dan habitat yang tidak terganggu, karena satwa ini merupakan pemakan buah-buahan dan biji-bijian hutan.
Secara morfologis, orangutan Sumatera (Pongo abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) hampir serupa. Namun demikian kedua jenis tersebut secara fisik dapat dibedakan berdasarkan warna rambutnya. Orangutan Kalimantan, bila dewasa rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan orangutan Sumatera, biasanya berwarna lebih muda. Ini bukan merupakan perbedaan hakiki, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai rambut putih pada raut wajahnya, namun orangutan Kalimantan belum pernah ditemukan.
Hidup Menyendiri
Prof. Birute Galdikas, yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1971 di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, telah lama berkesimpulan bahwa orangutan merupakan kerabat paling dekat dengan manusia secara evolusi. Birute menggambarkan --secara anekdot--bahwa orangutan merupakan “sepupu tiga” kali manusia.
Berbeda dengan dua kera besar lain—simpanze dan gorilla-- yang pada umumnya hidup berkelompok, orangutan tidak demikian. Jantan dewasa bersifat hidup menyendiri (soliter), betina dewasa tanpa pasangan atau kadang-kadang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat berdiri sendiri. Orangutan yang berusia muda hidup bebas, tetapi kadang-kadang ia hidup mengikuti induk yang melahirkannya.
Orangutan berjalan lamban menyeberang dari pohon ke pohon menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk mencari makan. Sifat seperti ini membawa banyak resiko bagi mereka. Sebab orangutan bergerak lamban, walaupun relatif tidak mempunyai musuh alami, tetapi manusialah yang menjadi ancaman bagi mereka. Selain interaksi antara jantan dan betina, kelangkaan hubungan ini membuat populasi orangutan semakin langka.
Menurut catatan terakhir, terdapat 45 – 69 ribu orangutan yang hutan-hutan Kalimantan dan tidak lebih dari 7.300 lainnya hidup di hutan Sumatera. Dalam laporannya berjudul The Last Stand of The Orangutan, UNEP (2007), menyatakan bahwa kepunahan orangutan dipicu oleh hilangnya habitat mereka yaitu hutan-hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan yang terus menerus dibabat. Diperkirakan pada tahun 2022, 98 persen luas hutan tersebut akan habis jika tidak ada tindakan segera.
Petani Biji-Bijian
Mengapa orangutan perlu dilestarikan? Penelitian jangka panjang (long term research) Birute Galdikas di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) telah membuahkan banyak temuan ilmiah yang belum diungkap sebelumnya. Menurut peneliti tersebut, orangutan di Kalimantan memakan kira-kira 200 spesies buah-buahan yang berbeda dan menjadi perantara penting bagi penyebaran –biji tumbuhan hutan--, kira-kira 70 persen jenis yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan manusia. Birute menyimpulkan bahwa orangutan merupakan pemakan primate pemakan jenis buah-buahan yang paling besar di dunia.
Jadi penelitian ini telah mengungkap tentang peran penting keberadaan orangutan yang membantu kestabilan ekosistem hutan tropis. Orangutan, dengan kata lain, ibarat petani biji-bijian—yang tentu membantu penyebaran tumbuhan di hutan. Jadi tanpa orangutan, keadaan hutan mungkin akan jauh berbeda, dan mungkin pula akan jauh lebih sedikit buah-buahan yang ada.
Dari bermacam-macam jenis buah-buahan yang ada di hutan tropis hampir semuanya mempunyai nilai ekonomi penting. Misalnya getah merah (Palaqium gutta) yang merupakan sumber karet alam yang mahal. Beberapa tahun lalu karet ini banyak dikumpulkan untuk diekspor. Selain itu ada jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat disadap untuk diambil leteksnya yang putih dan manis dan dipakai sebagai bahan pembuatan permen karet. Kemudian ada ramin (Gonystilus bancanus), merupakan tanaman hutan bergambut yang sangat besar nilainya dalam perdagangan untuk bahan meubel danbahan bangunan. Menurut catatan terakhir seorang mahasiswa yang meneliti orangutan Kalimantan masih ada 36 jenis tanaman lagi yang bijinya disebarkan baik melalui kotorannya ataupun secara langsung.
Maka, musnahnya orangutan mungkin dapat dirasakan beberapa abad kemudian, setelah hilang jenis-jenis tumbuhan yang bijinya disebarkan oleh orangutan. Memang agak terasa ‘naif’ bila ketika melihat upaya para konservasionis mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yang terkadang menghabiskan uang ratusan ribu dollar AS. Namun sesungguhnya bila kita lihat, peran orangutan sebagai penyebar biji, tidak bisa digantikan oleh manusia. Siapa yang sanggup mengembara berpuluh tahun untuk menyebar biji-biji tua dan memanjat pohon lalu tidur diatasnya? Program gerakan Indonesia menanam dan rehabilitasi lahan, tidak akan mampu menggantikan peran penting seekor orang utan yang mempunyai dedikasi –secara alami--menyebar biji-bijian. Pekerjaan tersebut tidak pula dapat digantikan oleh petugas kehutanan yang bekerja di lapangan. Dan kita dapat meramalkan apa akibatnya hutan hujan tropis yang menjadi habitat orangutan, apabila satwa penyebar biji-bijian telah mengalami kepunahan. Lambat laun punah pula tumbuhan yang mempunyai peran penting bagi manusia.***
Awal Februari ini PBB mengeluarkan himbauan, meminta dunia untuk ikut menyelamatkan orangutan di Indonesia. Program Lingkungan Hidup PBB(UNEP) meminta dunia internasional segera mengambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan orangutan yang terancam punah di hutan-hutan Indonesia, akibat tingginya tingkat pembalakan liar. Menurut UNEP, tanpa adanya campur tangan langsung di lapangan, orangutan dan margasatwa lainnya di hutan akan semakin langka hingga akhirnya dalam jangka panjang sudah tidak dapat ditemui lagi (Antara, 7/2)
Pemerintah Indonesia, memang telah berupaya keras menyelamatkan orangutan yang mereka miliki. Terbukti pada tanggal 25 November 2006 tahun lalu, Menteri Kehutanan disertai Ibu Negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono, ikut menyambut kedatangan 48 orangutan, yang tiba dari Thailand. Orangutan ini tentu saja telah menjalani test DNA untuk menentukan asal muasal mereka, dan kemana mereka harus dikembalikan. Thailand tidak mempunyai orangutan di hutan alaminya. Orangutan hanya dijumpai di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, jadi di negeri inilah sebenarnya ‘Republik Orangutan’ berada. Negara lain yang memiliki orangutan di habitat aslinya adalah Malaysia (yang hidup di negara bagian Sabah), Kalimantan Utara.
Kita jadi bertanya bagaimana Thailand mendapatkan orangutan? Ternyata ‘warga negara’ berbulu merah ini juga mengalami ‘trafficking’--seperti halnya banyak perempuan di Asia--diselundupkan melalui kapal-kapal pembawa kayu yang membawa ekspor kayu ke Thailand. Sebagian lagi memang hasil pekerjaan pedagang illegal yang sukses menyelundupkan makhluk mirip manusia ini, karena permintaan pasar yang tinggi di Thailand.
Walaupun ini peristiwa pulang kampung bagi orangutan dari Thailand, bukan pertama kali. Pengembalian orang bisa menarik banyak perhatian baik secara nasional bahkan internasional. Soalnya, kera merah berbadan besar dan hidung pesek ini, memang semakin hari semakin tergusur, karena kehidupan di alam mereka sangat tergantung dengan adanya hutan tropis yang asli dan habitat yang tidak terganggu, karena satwa ini merupakan pemakan buah-buahan dan biji-bijian hutan.
Secara morfologis, orangutan Sumatera (Pongo abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) hampir serupa. Namun demikian kedua jenis tersebut secara fisik dapat dibedakan berdasarkan warna rambutnya. Orangutan Kalimantan, bila dewasa rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan orangutan Sumatera, biasanya berwarna lebih muda. Ini bukan merupakan perbedaan hakiki, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai rambut putih pada raut wajahnya, namun orangutan Kalimantan belum pernah ditemukan.
Hidup Menyendiri
Prof. Birute Galdikas, yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1971 di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, telah lama berkesimpulan bahwa orangutan merupakan kerabat paling dekat dengan manusia secara evolusi. Birute menggambarkan --secara anekdot--bahwa orangutan merupakan “sepupu tiga” kali manusia.
Berbeda dengan dua kera besar lain—simpanze dan gorilla-- yang pada umumnya hidup berkelompok, orangutan tidak demikian. Jantan dewasa bersifat hidup menyendiri (soliter), betina dewasa tanpa pasangan atau kadang-kadang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat berdiri sendiri. Orangutan yang berusia muda hidup bebas, tetapi kadang-kadang ia hidup mengikuti induk yang melahirkannya.
Orangutan berjalan lamban menyeberang dari pohon ke pohon menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk mencari makan. Sifat seperti ini membawa banyak resiko bagi mereka. Sebab orangutan bergerak lamban, walaupun relatif tidak mempunyai musuh alami, tetapi manusialah yang menjadi ancaman bagi mereka. Selain interaksi antara jantan dan betina, kelangkaan hubungan ini membuat populasi orangutan semakin langka.
Menurut catatan terakhir, terdapat 45 – 69 ribu orangutan yang hutan-hutan Kalimantan dan tidak lebih dari 7.300 lainnya hidup di hutan Sumatera. Dalam laporannya berjudul The Last Stand of The Orangutan, UNEP (2007), menyatakan bahwa kepunahan orangutan dipicu oleh hilangnya habitat mereka yaitu hutan-hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan yang terus menerus dibabat. Diperkirakan pada tahun 2022, 98 persen luas hutan tersebut akan habis jika tidak ada tindakan segera.
Petani Biji-Bijian
Mengapa orangutan perlu dilestarikan? Penelitian jangka panjang (long term research) Birute Galdikas di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) telah membuahkan banyak temuan ilmiah yang belum diungkap sebelumnya. Menurut peneliti tersebut, orangutan di Kalimantan memakan kira-kira 200 spesies buah-buahan yang berbeda dan menjadi perantara penting bagi penyebaran –biji tumbuhan hutan--, kira-kira 70 persen jenis yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan manusia. Birute menyimpulkan bahwa orangutan merupakan pemakan primate pemakan jenis buah-buahan yang paling besar di dunia.
Jadi penelitian ini telah mengungkap tentang peran penting keberadaan orangutan yang membantu kestabilan ekosistem hutan tropis. Orangutan, dengan kata lain, ibarat petani biji-bijian—yang tentu membantu penyebaran tumbuhan di hutan. Jadi tanpa orangutan, keadaan hutan mungkin akan jauh berbeda, dan mungkin pula akan jauh lebih sedikit buah-buahan yang ada.
Dari bermacam-macam jenis buah-buahan yang ada di hutan tropis hampir semuanya mempunyai nilai ekonomi penting. Misalnya getah merah (Palaqium gutta) yang merupakan sumber karet alam yang mahal. Beberapa tahun lalu karet ini banyak dikumpulkan untuk diekspor. Selain itu ada jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat disadap untuk diambil leteksnya yang putih dan manis dan dipakai sebagai bahan pembuatan permen karet. Kemudian ada ramin (Gonystilus bancanus), merupakan tanaman hutan bergambut yang sangat besar nilainya dalam perdagangan untuk bahan meubel danbahan bangunan. Menurut catatan terakhir seorang mahasiswa yang meneliti orangutan Kalimantan masih ada 36 jenis tanaman lagi yang bijinya disebarkan baik melalui kotorannya ataupun secara langsung.
Maka, musnahnya orangutan mungkin dapat dirasakan beberapa abad kemudian, setelah hilang jenis-jenis tumbuhan yang bijinya disebarkan oleh orangutan. Memang agak terasa ‘naif’ bila ketika melihat upaya para konservasionis mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yang terkadang menghabiskan uang ratusan ribu dollar AS. Namun sesungguhnya bila kita lihat, peran orangutan sebagai penyebar biji, tidak bisa digantikan oleh manusia. Siapa yang sanggup mengembara berpuluh tahun untuk menyebar biji-biji tua dan memanjat pohon lalu tidur diatasnya? Program gerakan Indonesia menanam dan rehabilitasi lahan, tidak akan mampu menggantikan peran penting seekor orang utan yang mempunyai dedikasi –secara alami--menyebar biji-bijian. Pekerjaan tersebut tidak pula dapat digantikan oleh petugas kehutanan yang bekerja di lapangan. Dan kita dapat meramalkan apa akibatnya hutan hujan tropis yang menjadi habitat orangutan, apabila satwa penyebar biji-bijian telah mengalami kepunahan. Lambat laun punah pula tumbuhan yang mempunyai peran penting bagi manusia.***
Subscribe to:
Posts (Atom)