Oleh Fachruddin Mangunjaya
Akhirnya Kementerian
Kehutanan gencar membongkar vila –vila yang berdiri illegal di Taman Nasional
Gunung Halimun dan Salak (Koran Tempo,
12 Maret 2013). Adapun pemilik vila,
yang terdiri dari para pembesar dan orang yang mampu di Jakarta. Mereka,
terlebih dahulu diminta kesadaran untuk membongkar sendiri vila tersebut. Kalau
tidak, dapat diancam hukuman penjara 10 tahun karena melanggar undang-undang
Kehutanan No 41 Tahun 1999 dan undang undang
No 5/1990, tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Taman Nasional –seperti konsep awalnya di seluruh dunia--sesungguhnya adalah sebuah kawasan warisan nasional. Walaupun jenisnya hanya hutan belantara, namun nilai pentingnya sangat tinggi, karena banyak rahasia alam yang belum terungkap dan alam –seperti kita ketahui—mempunyai sejarah panjang selama jutaan tahun. Sekali unsur alam, baik itu spesies, ekosistem, aspek estetika, dan sumber daya hidup maupun tak hidup punah, maka nilai –ekonomi, budaya, ekologi bahkan nilai estetiknya-- tidak akan tergantikan.
Hutan alam adalah ibarat gudang pengetahuan atau laboratorium yang manfaatnya belum sepenuhnya dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu sebuah taman nasional adalah ibarat monumen hidup warisan alam yang memang harus mendapatkan perhatian dan perawatan oleh sebuah bangsa. Keunikan sebuah taman nasional, kadangkala tidak ada bandingannya dengan tempat-tempat lain dimanapun. Bahkan dibelakan bumi lain.
Pendirian sebuah taman nasional diputuskan oleh pemerintah atas dasar pertimbangan ilmiah, berbasis pengetahuan dan mempunyai visi jangka panjang. Jadi kawasan tersebut adalah milik publik dalam arti menjadi sebuah warisan alam yang seharusnya tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, atau juga dinikmati hanya masyarakat sekitar kawasan, tetapi manfaatnya harus dirasakan oleh semua bangsa, dalam arti luas mempunyai makna kemanusiaan –termasuk upaya mewariskan kepada anak cucu kita---untuk jangka panjang.
Manfaat taman nasional bukan menjadi kegunaan yang sempit, seperti mendirikan villa atau tempat rekreasi dan ‘tetirah’ semata, tetapi taman nasional menjadi tempat abadi yang harus mendapatkan keistimewaan bagi semua makhluk Tuhan. Banyak satwa langka, kehidupan yang unik, bahkan jasad renik yang belum teridentifikasi namanya oleh pengetahuan manusia, ada didalam kawasan tersebut. Oleh sebab itu, dalam konsep trilogi konservasi klasik, sesungguhnya taman nasional didefinisikan mempunyai tiga manfaat: pertama manfaat perlindungan (protection), kedua manfaat pembelajaran (study) dan ketiga, manfaat untuk memanfaatkan (use).
Selama ini, banyak yang melihat kawasan hutan, apalagi tempat seperti Gunung Halimun dan Salak adalah sekedar puncak gunung tempat mencari kedamaian dan kenyamanan. Melepas penat dan kejenuhan Jakarta yang sumpek. Maka, jadilah hanya orang-orang yang memiliki uang yang dapat ke tempat itu. Sementara masyarakat lain –yang tidak punya uang—karena biaya untuk bertetirah yang mahal, tidak mempunyai kesempatan itu. Akibatnya, banyak terjadi kejenuhan tingkat stress yang tinggi diperkotaan. Dampak lain dari tidak adanya akses untuk menyalurkan kejenuhan ini bisa berakibat akan tingginya tingkat kriminalitas dan tingginya resiko masyarakat yang sakit, baik dalam arti jiwa maupun fisiknya.
Dalam aspek manfaat, karena sejarah pendirian taman nasional—di Indonesia-- merupakan hal yang baru, maka masyarakat belum sepenuhnya memahami manfaatnya. Berbeda di Amerika, kawasan ini menyediakan tempat tetirah sementara –bukan vila—yang disediakan adalah camping ground yang luas. Akhir pekan, ribuan kepala keluarga Amerika –kaya dan miskin--dapat dengan Cuma-Cuma mendirikan tenda di tempat-tempat yang disediakan oleh taman nasional. Mereka bercengkrama kembali ke alam, merenung. Mendengarkan gemercik air, mendengar burung berkicau , mencium wangi bunga liar yang mekar, yang dapat mereduksi kepenatan dan—yang teramat penting—mendekatkan diri pada ciptaan Tuhan. John Sheil dalam National Spectacle The World’s FirstNational Park and Protected Places (2010), mengutip, Selincot yang menuliskan gambaran fungsi sebuah taman nasional sebagai: “upaya menyaksikan sebuah warisan nasional, dimana setiap orang mempunyai hak untuk merasakan, melihat dan menikmatinya.”
Seorang yang mengenal alam dengan dekat, mereka akan mendapatkan spiritualitas, penemuan penting akan makna hidup. Manusia merupakan bagian dari alam, menyadari bentuk keterbatasan dan kedekatan dengan alam akan menjadikan jiwa yang halus dan perasaan sayang terhadap semua makhluk. Oleh karena itu E O Wilson (1993) menyebutkan, ketergantungan manusia pada alamsebagai biofilia (human bond to nature). Bahwa manusia terpatri secara genetik, sangat perlu untuk dekat dengan alam, terutama untuk mengembalikan semangat dan spiritualitas, merenungi unsur kehidupan, karena kaitan erat akan asal usul penciptaannya.
Dalam sebuah reality show, beberapa minggu yang lalu. Saya menyaksikan, Oprah Winfrey –yang populer di dunia itu-- sengaja memindahkan lokasi shootingnya ke Taman Nasional Yosemite, di California. Dia camping dan menikmati suasana alam, mamasak di tenda dan menghirup udara segar, bangun pagi. Dalam penutupnya dia menghimbau masyarakat –Amerika--terutama yang berkulit hitam, untuk pergi camping ke Taman Nasional Yosemite. Himbauan itu tentu bukan tanpa alasan, banyak warga kulit hitam yang tinggal diperkotaan pada umumnya terlibat pada tindak kriminal dan kekerasan. Mengunjungi taman nasional, dapat kiranya menjadi penawar, mehilangkan stress dan meninggikan kehalusan budi dan pikiran. Semoga. (*)
Dikutip dari KORAN TEMPO, Jum'at 22 Maret 2013