Saturday, December 12, 2009

Kepunahan Spesies di Tengah Perilaku Manusia

OLEH: FACHRUDDIN M MANGUNJAYA

Kondisi lingkungan kita penuh tanta­ngan, karena pe-rila­ku kita dalam memperlaku­kan bumi tempat kita tinggal belum berubah.

Penilaian ini barangkali akan dijumpai dari tahun-ke tahun dengan ter­ungkapnya fakta-fakta baru kerusakan lingkungan di Tanah Air maupun di dunia. Maka per­­soalan yang paling meng­khawatirkan semua orang di abad 21 ini, selain krisis ekonomi dan kondisi politik yang ber­ujung pada peperangan, ada­lah masalah lingkungan.
Peperangan dan politik dapat mengakibatkan kema­tian dan saling bunuh antarumat manusia (genocide). Se­dang­kan bencana lingkungan juga dapat mengakibatkan ke­rugian ekonomi dan kematian (ecocide). Contoh aktual terja­dinya musibah lingkungan ada­lah jebolnya tanggul Situ Gin­tung yang mengakibatkan kor­ban jiwa. Ditambah lagi banjir dan tanah longsor di ber­bagai daerah setiap tahun.

Sementara itu, kerugian yang sangat disesalkan secara nasional adalah banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang semakin sulit diselesaikan karena diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 45 triliun per tahun (Tempo Interaktif, 21 Agustus 2008). Lumpur Lapindo saat ini memasuki tahun keempat, tetapi belum ada penyelesaian yang memuaskan bagi semua korban.

Belum lagi gejala perubahan iklim yang semakin meng­khawatirkan. Para ahli sependapat bahwa dam­pak perubahan iklim akan sangat terasa pada negara-negara di khatulistiwa. Di Indonesia, misalnya, akibat tersebut telah di­rasakan pada 1997/1998. Tahun itu menjadi tahun dengan suhu udara terpanas dan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Terjadi kebakaran hutan terhebat sepanjang se­jarah di Indonesia. Saat itu, El Nino dan panas berkepanjangan terjadi sehingga berujung pada gagal panen dan ke­mudian memanasnya suhu po­litik yang berujung pada leng­­sernya Pemerintahan Soeharto.
Adapun soal prediksi peru­bahan iklim, Dr Armi Susandi, Wakil Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim De­wan Nasional Perubahan Iklim, memperkirakan pada 2100 sekitar 800.000 rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan 115 pulau dari 18.000 pu­lau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut.

Pada Juni lalu, banjir pa­sang air laut (rob) telah meng­genangi beberapa kelurahan ter­masuk di Kelurahan Ci­lin­cing, Jakarta Utara. Rob secara rutin masuk ke kampung itu sejak empat tahun terakhir ini dan situasinya bertambah pa­rah—dengan kedalaman hingga satu meter—pada musim hu­jan, Desember hingga Maret.

Jadi, kalau Anda ditunjuk se­bagai Menteri Negara Ling­kungan Hidup, itu ibarat mene­rima “buah simalakama”, tidak di­makan mati ibu, dimakan mati anak. Memang, masalah lingkungan harus merupakan ke­pedulian semua orang. Tetapi ke­nyataannya, para sopir ang­kot masih seenaknya membuang sampah ke jalan raya, ibu rumah tangga membuang sampah tanpa mengolah dan mereduksi limbahnya, hingga daerah yang tidak berhasil mendapatkan Adipura.
Sementara itu, pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya secara langgeng kalau usahanya mencemari alam sekitar. Dampak lingkungan se­cara perlahan tapi pasti akan “menampar” perusahaannya se­cara alami. Ongkos sosial, eko­nomi dan lingkungan terlihat tinggi apabila mereka me­ng­abaikan dampak lingkungan. Maka amdal tidak dapat ha­nya sebagai formalitas belaka, karena pada akhirnya hu­kum alam yang merupakan tu­runan dari “Hukum Tuhan” pas­ti akan berlaku.

Lindungi Alam Asli
Jadi, apa yang dapat dila­kukan? Tom Friedman, kolumnis the New York Time, menu­liskan upaya-upaya pelestarian alam yang dilakukan di berbagai belahan dunia, dan terkesan akan upaya yang dilakukan oleh para konservasionis untuk melindungi alam asli. Friedman dalam buku Hot, Flate and Crowded (2008), menyebutkan upaya pelestarian alam ibarat memerlukan Nabi Nuh dalam menyelamatkan kapalnya di tengah badai kerakusan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam. Dia menuturkan bah­wa bumi memerlukan “se­juta Nuh” dan sejuta pula “ka­pal” (a million Noahs, a million arks).

Indonesia belum memiliki “sejuta Nabi Nuh”, namun ba­ru beberapa ratus orang. Me-reka itulah yang diberi penghargaan Kalpataru oleh Men­teri Lingkungan Hidup. Me­reka dapat berupa perorangan atau kelompok yang menjadi pelopor penyelamatan lingkungan. Sejak tahun 1980 hingga 2009, jumlah penerima Kal-pataru baru 264 orang atau ke­lompok, termasuk tahun 2009 ini 12 orang.

Apa bentuk “Kapal Nabi Nuh” mereka? Tahun ini Lem­baga Adat Dayak Wehea dari Desa Nehas Liah Bing, Keca­matan Muara Wahau, Kabu­paten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menerima penghargaan Kalpataru karena para pe­mang­ku adat berhasil meles­ta­rikan hutan lindung adat seluas 38.000 hektare yang menjadi habitat yang aman bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan langka dengan cara menerapkan hukum adat.

Di tingkat RT dan RW, orang banyak mengenal Ibu Bambang, seorang janda pensiunan yang menjadi penggerak di tingkat RT di Jakarta untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Nenek ini memulai dari ru­mahnya, dengan arisan po­hon lalu mengolah sampah ru­mah tangga menjadi sampah or­­ganik dan mendapatkan peng­hargaan sebagai pelopor ling­kungan. Di tingkat ini, Ibu Bambang memberikan opti­mis­me bahwa perawatan ling­ku­ngan dapat dilakukan di per­kotaan.

Tentu saja yang paling be­sar dampaknya adalah upaya para pengusaha. Dalam kondisi seperti sekarang ini, slogan “Go Green” tidak akan cukup hanya ditempelkan sebagai tema tan­pa ada aksi. Pegawai perusaha­an akan mempunyai kebanggaan moral jika mereka dapat terlibat dalam aksi sebagai pe­nyelamat lingkungan, misalnya mengadopsi pohon, menanamnya dan merawatnya langsung di lapangan, sehingga mereka dapat merasakan betapa sulit me­nanam dan merawat ling­kungan.

Upaya masif gerakan ling­kungan mestilah menjadi ke­sa­daran semua orang, selain me­rupakan tugas Menteri Negara Ling­kungan Hidup dan Men­teri Kehutanan. Kalangan me­dia massa, aktivis, jaksa, hakim, DPR, presiden hingga Mah­kamah Konstitusi sebenarnya dapat menjadi “Nuh”, jika da­pat membela kelestarian ling-ku­ngan. Sebagai makhluk bu­mi, semua orang dapat memi-liki perasaan yang sama bahwa kita berada pada satu bumi dan sebuah perahu yang sama.

Penulis adalah Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor/ Staff di Conservation International Indonesia (CII).

Sumber SINAR HARAPAN Jumat, 20 November 2009 13:30

No comments:

Post a Comment