(Essai ini dimuat sebagai persembahan pada Emil Salim dalam ulang tahun beliau ke 80, 8 Juni 2010, dimuat dalam buku: Disentuh Emil Salim: Tujuh Kiat Mencintai Tanah Air, Eka Budianta (ed), Eugenia Jakarta 2010)
Oleh Fachruddin Majeri Mangunjaya
Secara pribadi, Saya bukanlah orang yang terlalu dekat dengan Professor Emil Salim. Namun, sebagai aktifis lingkungan dengan berbagai silang kegiatan, saya kerap berjumpa dengan beliau. Sebagai orang yang ingin selalu belajar, tentu saja berada di dekat Emil Salim sangat menyenangkan karena daya tarik pembicaraan dan wawasan beliau yang luas dalam memaknai tujuan-tujuan pembangunan lingkungan berwawasan kedepan dan terkadang mengejutkan.
Pak Emil juga mungkin tidak pernah ingat Saya dari ratusan bahkan ribuan orang yang mengenal dekat secara pribadi, baik sebagai murid, maupun kedekatan karena sisi kepakaran beliau dalam bidang ekonomi dan lingkungan. Namun sebagai guru besar sekaligus senior citizen of Indonesia, juga sebagai orang yang produktif menulis, dan memberikan pandangan, kami kerap meminta Emil Salim sebagai narasumber dalam setiap kesempatan besar dan penting. Saya sendiri sebagai penulis, beberapa kali mewawancarai Emil Salim untuk beberapa tulisan di majalah, dan juga sebagai catatan pribadi. Terakhir, Saya meminta beliau menuliskan pengantar untuk buku tentang gerakan Islam dan Lingkungan berjudul: “Menanam Sebelum Kiamat, Islam dan Gerakan Lingkungan Hidup” (Yayasan Obor Indonesia 2007).
Buku ini, menurut Saya sangat penting diberi pengantar oleh Emil Salim karena merupakan buku yang khas membicarakan tentang Islam dan Lingkungan –khususnya gerakan konservasi alam—yang ditulis oleh berberapa orang dengan latar belakang berbeda: ada dua kiyai (KH Husain Muhammad PP Daruttauhid Cirebon dan KH An Im Falahuddin Mahrus dari Pesantren Lirboyo, Kediri), dua orang guru besar (Prof Seyyed Husain Nasr, dari Guru Besar Islamic Studies and Filsof dari George Washington University dan Prof Richard Foltz, Guru Besar Agama dan Lingkungan University of Concordia), Dr Seyyed Mohsen Miri dari Iran, dan Othman Llewellyn, Ahli Perencanaan Lingkungan dari Saudi Arabia.
Satu hal yang Saya catat, Emil Salim sangat antusias ketika diminta memberikan pengantar buku tersebut. Seperti biasanya, beliau meminta saya bercerita dan mengirimkan draft buku sebelum diterbitkan. Lalu beberapa kali saya ditelpon dan juga saya balik telpon untuk mengingatkan beliau. Dan--saya pun ingat betul—pulsa telpon genggam sampai habis, kami berdialog sangat panjang dan beliau menceritakan tentang kehidupan muslim dengan peradaban yang nostalgic tentang ilmu pengetahuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi abad pertengahan. Memang romantisme kemajuan ilmu pengetahuan dan masa keemasan Islam lah yang paling indah dikenang untuk memberikan landasan filosofis tentang curiosity, dan keteguhan kaum Mulsimin dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi termasuk dalam perawatan lingkungan. Dalam pengantar Menanam Sebelum Kiamat, Emil Salim menuliskan:
…”Ratusan tahun lalu para ulama Islam berhasil menarik dari Alquran ilham penemuan untuk dituangkan dalam kreasi ilmu pengetahuan dan seni budaya yang menakjubkan dunia. Baghdad, Ibukota Irak, menjadi sentra kebudayaan dan peradaban…”
Seperti banyak orang yang sukar memahami, demikian pula Emil Salim, memberikan pertanyaan mendasar tentang mengapa sekarang ini, Dunia Islam dengan kekayaan minyak bumi yang berlimpah berkat hasil kekayaan minyak bumi, namun kualitas masyarakatnya,termasuk perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan perawatan lingkungan di dunia muslim sangat memprihatinkan.
“…Pembangunan di abad ke 20 berhasil meningkatkan pendapatan minyak di banyak Negara Timur Tengah. Namun pemanfaatan hasil minyak berbeda dengan Negara Norwegia yang menggunakannya, mengangkat kualitas manusia, keadilan sosial dan kualitas lingkungan hidup. Sementara Negara Timur Tengah sampai sekarang masih terkungkung dalam ketertinggalan sains dan teknologi.”
Emil Salim melanjutkan:
“ ..tentu saja bukan agama Islam yang salah, karena abad ke 13 membuktikan ulama Islam berhasil membangun puncak dan pusat budaya, sain dan teknologi dunia…”
Pengamatan Saya, Emil Salim mempunyai perhatian besar akan upaya memahami Islam secara kontekstual dan sesuai dengan perkembangan zaman, oleh karena itu, beliau sangat mendorong inisiatif mendekatkan kehidupan spiritual bangsa Indonesia dengan kehidupan sehari-hari terutama termasuk dalam aspek lingkungan.
Perhatiannya, yang sejak lama dengan upaya menggerakkan kehidupan beragama dengan lingkungan, pada awal mulanya--seperti pernah beliau tuturkan-- bahwa pada saat menjadi menteri lingkungan, pernah berjumpa dengan Buya Hamka (Prof Haji Abdul Malik Karim Amarullah), salah satu ulama Indonesia berpengaruh pada tahun 1970an dan meminta nasehat beliau tentang keterlibatan Umat Islam untuk lingkungan. Bunya Hamka mengingatkan tentang pentingnya air yang menjadi sarana penting dalam beribadah pada Allah swt.” Bayangkan bila air tercemar dan berwudhu menjadi sulit, maka salah satu rukun ibadah Muslim kepada Tuhannya akan sangat tergganggu,” tutur Emil Salim mengutip Bunya Hamka.
Emil Salim pun sangat ingin pula rupanya dalam “menda’wahkan” upaya bagaimana agama dapat menjadi ruh dalam kegiatan lingkungan: beliau katakan dalam pidato ilmiah pada Working Group on Conservation and Rural Development of the IUCN Commission on Ecology, berjudul Conservation and Development dengan mengatakan sebagai berikut (Boyd 1984):
"Our aim (in Indonesia) is the type of global conditions where all men can live in dignity.., in harmony with his fellow man, in harmony with his environment and in harmony with God, the source of all life".
Walhasil, Pak Emil ditengah kesibukannya, selalu memperingatkan kita secara sistematis bahwa menjaga lingkungan adalah amanah dari agama.
***
Konsentrasi saya pada kegiatan agama dan lingkungan di berbagai arena akademis dan praktis termasuk sebagai pekerja konservasi di Conservation International membawa saya bersentuhan dengan pikiran Emil salim dengan “ruh spiritual” yang dibawanya. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi bergerak maju dengan segala lintas bidang keilmuwan, maka penggalian akan kearifan dan etika dalam mengontrol hawa nafsu dan keserakahan manusia yang demikian besar, secara praksis apabila law enforcement tidak mampu ditegakkan, maka benteng terakhirnya hanyalah dengan batas-batas agama. Tanpa meninggalkan sisi gelap agama, bahwasanya manusia telah belajar untuk tidak merusak alam (ecocide), saling membunuh sesame (genocide) dan mampu mengatur kehidupan karena mengambil “etika kuno” yang dipelajari dari agama. Oleh sebab itu mengembangkan inisiatif agama dalam merawat lingkungan dengan kembali menggali khasanah yang dimiliki oleh agama itu menjadi teramat penting dan akan sangat naïf bila ditinggalkan.
Ada beberapa unsur pendorong yang para aktifis lingkungan mengapa kembali pada agama dalam upaya menggerakkan kesadaran lingkungan. Pertama, agama memiliki konstituen yang riel dan pengikut tetap. Kehidupan modern yang tak berujung, dan tidak dapat merumuskan semua hal menyebabkan manusia tetap berpegang pada kehidupan beragama sebagai pedoman, thus, menggali kearifan agama dalam memandang lingkungan akan sangat menolong dan bersinergi dengan upaya yang dilakukan oleh ahli lingkungan. Kedua, agama mempunyai referensi yang tetap yaitu kitab suci yang pada dasarnya mempunyai tujuan parallel untuk memelihara kehidupan dan perawatan lingkungan. Ketiga, melalui pemimpin agama --yang mempunyai otoritas-- para ahli lingkungan dapat dengan mudah bekerjasama untuk melibatkan pengikutnya. Keempat, agama mempunyai potensi-potensi financial dan asset yang mampu digerakkan untuk mengusung aktifitas lingkungan yang pada dasarnya parallel dengan misi keagamaan itu sendiri.
Saya, mengikuti ruh yang diberikan oleh Emil Salim, mencoba mengaktualisasikan perintah agama Islam dalam kegiatan professional selaku aktifis lingkungan. Maka sayapun banyak bergaul dengan para kiyai dan ulama tradisional. Silaturahim dari pesantren ke pesantren, berdiskusi dan memfasilitasi para kiyai dan aktifis lingkungan untuk menggali nilai dan khasanah kearifan Islam dalam upaya pelestarian alam dan lingkungan. Saya punya keyakinan bahwa mereka adalah sumber otoritas Islam yang masih dipercanya di Indonesia. Mereka berada di pesantren sebagai front terdepan pendidikan tradisional muslim Indonesia yang khas.
Kegiatan memfasilitasi ini tidak berhenti dengan ilmuwan dan aktifis lingkungan Indonesia, tapi juga kami perkenalkan ulama pesantren kepada para aktifis dan ulama lingkungan di belahan dunia Islam yang lain. Pada Juni 2007, kami mengadakan Colloquium Fiqh al Biah (Kolukium Fikih Lingkungan) mempertemukan ulama pesantren dan tokoh lingkungan dari Timur Tengah, UK ,India dan Afrika. Kami pun mengundang Emil Salim sebagai salah satu key note speaker dan nara sumber diskusi. Beliau memberikan pencerahan tentang pentinnya muslim merawat lingkungan sebagai sarana ibadah.
Terakhir sekali, kami menempatkan dengan bangga Professor Emil Salim dalam perhelatan International Muslim Conference on Climate Change Action di Bogor, 9 -10 April 2010. Konferensi ini dihadiri sekitar 200 orang dari 16 negara. Konferensi itu diadakan untuk melanjutkan pertemuan Istanbul yang mendeklarasikan Rencana Tujuh Tahun Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim (Muslim 7 Year Action Plan for Climate Change Action, M7YAP) yanf dihadiri oleh Syaykh Yusuf al Qardhawi, Syaykh Ali Jum’a Mufti Agung Mesir, Syaykh Ikrima Sabri Mufti Agung Palestina dan lain-lain. Dalam konsep nyata dunia muslim memang ingin sekali berubah, dan para ulamanya pun sangat peduli. Sekali lagi saya dengar Emil mengatakan, lingkungan dunia Muslim yang masih jauh dari harapan bahkan masih buruk dibandingkan Negara-negara non Muslim. Padahal beliau berkeyakinan bukanlah agama Islam yang salah tetapi umat Islam masih tidak mau belajar mengelola lingkungan dan memperlakukan lingkungannya dengan baik.
Kiranya sambung menyambung cerita Emil Salim yang pernah menyambangi Bunya Hamka selaku ulama yang memerintahkan perawatan lingkungan, juga telah tersambung pada ulama kini di dunia Muslim yang lain. Dan, saya berdoa kepada Allah swt dan berharap semoga upaya Emil Salim memberikan inspirasi kepada umat Islam memelihara lingkungan akan menggerakkan ulama lain di Indonesia dan dunia Islam yang lain. Selamat ulang tahun dan panjang umur! Wallahu a’lam bishawab.
the better information about islamic perspective towards ecological economics
ReplyDelete