OLEH: FACHRUDDIN M MANGUNJAYA
Kondisi lingkungan kita penuh tantangan, karena pe-rilaku kita dalam memperlakukan bumi tempat kita tinggal belum berubah.
Penilaian ini barangkali akan dijumpai dari tahun-ke tahun dengan terungkapnya fakta-fakta baru kerusakan lingkungan di Tanah Air maupun di dunia. Maka persoalan yang paling mengkhawatirkan semua orang di abad 21 ini, selain krisis ekonomi dan kondisi politik yang berujung pada peperangan, adalah masalah lingkungan.
Peperangan dan politik dapat mengakibatkan kematian dan saling bunuh antarumat manusia (genocide). Sedangkan bencana lingkungan juga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi dan kematian (ecocide). Contoh aktual terjadinya musibah lingkungan adalah jebolnya tanggul Situ Gintung yang mengakibatkan korban jiwa. Ditambah lagi banjir dan tanah longsor di berbagai daerah setiap tahun.
Sementara itu, kerugian yang sangat disesalkan secara nasional adalah banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang semakin sulit diselesaikan karena diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 45 triliun per tahun (Tempo Interaktif, 21 Agustus 2008). Lumpur Lapindo saat ini memasuki tahun keempat, tetapi belum ada penyelesaian yang memuaskan bagi semua korban.
Belum lagi gejala perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Para ahli sependapat bahwa dampak perubahan iklim akan sangat terasa pada negara-negara di khatulistiwa. Di Indonesia, misalnya, akibat tersebut telah dirasakan pada 1997/1998. Tahun itu menjadi tahun dengan suhu udara terpanas dan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Terjadi kebakaran hutan terhebat sepanjang sejarah di Indonesia. Saat itu, El Nino dan panas berkepanjangan terjadi sehingga berujung pada gagal panen dan kemudian memanasnya suhu politik yang berujung pada lengsernya Pemerintahan Soeharto.
Adapun soal prediksi perubahan iklim, Dr Armi Susandi, Wakil Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim Dewan Nasional Perubahan Iklim, memperkirakan pada 2100 sekitar 800.000 rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan 115 pulau dari 18.000 pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut.
Pada Juni lalu, banjir pasang air laut (rob) telah menggenangi beberapa kelurahan termasuk di Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara. Rob secara rutin masuk ke kampung itu sejak empat tahun terakhir ini dan situasinya bertambah parah—dengan kedalaman hingga satu meter—pada musim hujan, Desember hingga Maret.
Jadi, kalau Anda ditunjuk sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup, itu ibarat menerima “buah simalakama”, tidak dimakan mati ibu, dimakan mati anak. Memang, masalah lingkungan harus merupakan kepedulian semua orang. Tetapi kenyataannya, para sopir angkot masih seenaknya membuang sampah ke jalan raya, ibu rumah tangga membuang sampah tanpa mengolah dan mereduksi limbahnya, hingga daerah yang tidak berhasil mendapatkan Adipura.
Sementara itu, pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya secara langgeng kalau usahanya mencemari alam sekitar. Dampak lingkungan secara perlahan tapi pasti akan “menampar” perusahaannya secara alami. Ongkos sosial, ekonomi dan lingkungan terlihat tinggi apabila mereka mengabaikan dampak lingkungan. Maka amdal tidak dapat hanya sebagai formalitas belaka, karena pada akhirnya hukum alam yang merupakan turunan dari “Hukum Tuhan” pasti akan berlaku.
Lindungi Alam Asli
Jadi, apa yang dapat dilakukan? Tom Friedman, kolumnis the New York Time, menuliskan upaya-upaya pelestarian alam yang dilakukan di berbagai belahan dunia, dan terkesan akan upaya yang dilakukan oleh para konservasionis untuk melindungi alam asli. Friedman dalam buku Hot, Flate and Crowded (2008), menyebutkan upaya pelestarian alam ibarat memerlukan Nabi Nuh dalam menyelamatkan kapalnya di tengah badai kerakusan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam. Dia menuturkan bahwa bumi memerlukan “sejuta Nuh” dan sejuta pula “kapal” (a million Noahs, a million arks).
Indonesia belum memiliki “sejuta Nabi Nuh”, namun baru beberapa ratus orang. Me-reka itulah yang diberi penghargaan Kalpataru oleh Menteri Lingkungan Hidup. Mereka dapat berupa perorangan atau kelompok yang menjadi pelopor penyelamatan lingkungan. Sejak tahun 1980 hingga 2009, jumlah penerima Kal-pataru baru 264 orang atau kelompok, termasuk tahun 2009 ini 12 orang.
Apa bentuk “Kapal Nabi Nuh” mereka? Tahun ini Lembaga Adat Dayak Wehea dari Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menerima penghargaan Kalpataru karena para pemangku adat berhasil melestarikan hutan lindung adat seluas 38.000 hektare yang menjadi habitat yang aman bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan langka dengan cara menerapkan hukum adat.
Di tingkat RT dan RW, orang banyak mengenal Ibu Bambang, seorang janda pensiunan yang menjadi penggerak di tingkat RT di Jakarta untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Nenek ini memulai dari rumahnya, dengan arisan pohon lalu mengolah sampah rumah tangga menjadi sampah organik dan mendapatkan penghargaan sebagai pelopor lingkungan. Di tingkat ini, Ibu Bambang memberikan optimisme bahwa perawatan lingkungan dapat dilakukan di perkotaan.
Tentu saja yang paling besar dampaknya adalah upaya para pengusaha. Dalam kondisi seperti sekarang ini, slogan “Go Green” tidak akan cukup hanya ditempelkan sebagai tema tanpa ada aksi. Pegawai perusahaan akan mempunyai kebanggaan moral jika mereka dapat terlibat dalam aksi sebagai penyelamat lingkungan, misalnya mengadopsi pohon, menanamnya dan merawatnya langsung di lapangan, sehingga mereka dapat merasakan betapa sulit menanam dan merawat lingkungan.
Upaya masif gerakan lingkungan mestilah menjadi kesadaran semua orang, selain merupakan tugas Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan. Kalangan media massa, aktivis, jaksa, hakim, DPR, presiden hingga Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat menjadi “Nuh”, jika dapat membela kelestarian ling-kungan. Sebagai makhluk bumi, semua orang dapat memi-liki perasaan yang sama bahwa kita berada pada satu bumi dan sebuah perahu yang sama.
Penulis adalah Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor/ Staff di Conservation International Indonesia (CII).
Sumber SINAR HARAPAN Jumat, 20 November 2009 13:30
No comments:
Post a Comment