Fachruddin M. Mangunjaya, pencinta lingkungan
Banjir yang mengakibatkan kerugian di Jakarta bukan pertama kali ini terjadi. Awal Februari 2007, kerugian menurut Bappenas mencapai Rp 8,8 triliun. Adapun tahun ini banjir diasumsikan mengakibatkan kerugian paling tidak Rp 7,2 miliar (Koran Tempo, 3 Februari). Februari tahun lalu warga di perumahan kelas menengah, seperti di Kelapa Gading Jakarta dan beberapa kompleks perumahan yang dipromosikan oleh pengembangnya tidak banjir, ternyata tergenang air limpahan. Sedangkan tahun ini ruas jalan tol Sedyatmo menuju Bandar Udara Soekarno Hatta pada kilometer 26-27 digenangi air setinggi lebih dari 1 meter.
Pelajaran yang bisa diambil adalah, meskipun tinggal di apartemen mewah, ternyata masyarakat tidak terhindar dari kejaran air. Banjir menggenangi ruas jalan km 26-28 menuju bandar udara--seperti dilaporkan media--akibat banyaknya lahan alami di sekitarnya yang telah berubah fungsi, dari rawa-rata tempat penyerapan air menjadi gedung yang menutup jalur limpahan air. Banjir terjadi akibat keberanian pengembang dan pemerintah menantang kodrat alam, membangun dan memberikan izin pembangunan di kawasan yang sesungguhnya menjadi tempat penampungan air, sehingga mengakibatkan bencana.
Kalau mau menyadari, peristiwa banjir ini memberikan pelajaran kepada banyak pihak tentang karakter alam di mana manusia harus menyelaraskan diri (adaptasi). Sifat air, misalnya, akan menuju ke kawasan yang lebih rendah. Dan bila satu tempat penampung air ditimbun oleh sebuah bangunan, misalnya mal atau apartemen, air yang mestinya terserap di kawasan tersebut akan tetap mencoba kembali ke sana. Bila tidak, karena di kawasan itu ternyata telah dibangun dan direkayasa cukup tinggi, wilayah lainlah yang akan menjadi korban.
Mengamati akselerasi bencana banjir yang tidak pernah selesai, saya melihat ada faktor utama yang bisa jadi semakin memperparah kondisi Jakarta. Pertama, laju arus urbanisasi. Kedua, masalah komitmen dan penegakan aturan terhadap tata ruang. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir sejak 1996, Jakarta tetap berkembang pesat dan tetap menjadi tujuan utama arus urbanisasi. Penduduk kota ini terus bertambah 300-400 ribu jiwa per tahun. Pada 2006, jumlah penduduk Jakarta, menurut Dinas Badan Pelestarian Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 11 juta jiwa pada siang hari dan 8,9 juta jiwa pada malam hari.
Konsekuensinya, pemolaan tata ruang Jakarta pastilah sangat overload dengan jumlah penduduk yang luar biasa ini. Kita akan terus menyaksikan apartemen tetap dibangun, dan bangunan-bangunan baru tetap berdiri untuk memenuhi standar kebutuhan penduduk yang terus bertambah.
Sayangnya, pembangunan ini terkadang tidak mempertimbangkan unsur yang ramah terhadap lingkungan dan bahkan tanpa analisis lingkungan yang memadai. Kerap kita saksikan pembangunan sarana publik yang akhirnya mengabaikan kepentingan sosial, mengambil badan jalan dan pedestrian, serta menyulap kawasan resapan air dan lahan terbuka hijau (LTH) menjadi gedung-gedung beton yang perkasa.
Pembangunan di Jakarta pun kerap tidak konsisten dengan konsep tata ruangnya sendiri. Padahal Jakarta mentargetkan LTH sebesar 13,94 persen (Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010). Tapi kini diperkirakan sisa di lapangan hanya 9,12 persen (2006), masih jauh dari standar ideal kota sehat sebesar 30 persen (Joga, 2006). Dalam hal ini, pengambil kebijakan perlu konsisten dalam mempertahankan ruang terbuka hijau dan menghentikan pemberian izin bangunan kepada kawasan-kawasan yang berpotensi menyerap air.
Melihat pelajaran di atas, sangatlah tidak arif bila manusia modern mencoba melawan kodratnya untuk menantang alam. Sebaliknya, yang harus diingat adalah manusia mesti berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan (mitigasi). Kita tentu saja boleh membangun gedung-gedung bertingkat memenuhi permukaan bumi dengan berbagai karya manusia. Tapi alam tempat karya tersebut ditanam mempunyai keterbatasan di mana unsur-unsurnya bisa saja berubah apabila kita tidak cukup bijak memanfaatkannya. Misalnya, ketika semua bangunan tidak menyisakan lahan untuk resapan, sementara air tanah terus-menerus diisap dipompa ke atas untuk keperluan manusia, persediaan air tanah akan terkuras. Di kawasan industri di Kabupaten dan Kota Bandung, permukaan air tanah menurun drastis mencapai 40-80 meter di bawah permukaan tanah. Kecenderungan ini semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya akibat banyaknya air yang disedot melalui sumur-sumur bor (KLH, 2006).
Kellert dalam Building for Life (2005) mengistilahkan sebuah bangunan yang mampu menyelaraskan kepentingan alam dan manusia dengan definisi biofilic design. Menurut dia, ada dua hal yang harus dipenuhi. Pertama, kita harus meminimalkan dan memitigasi efek lingkungan dari sebuah konstruksi bangunan yang modern. Kedua, kita juga harus mendesain dan menyediakan lingkungan agar manusia senantiasa mempunyai kontak yang cukup dengan alam.
Dalam tahun terakhir, tren pendekatan pengembangan pembangunan desain alternatif yang berkelanjutan dan hijau akan terus digandrungi, karena terbukti tak hanya ramah terhadap alam dan lingkungan, tapi juga memiliki dampak pada kesehatan penghuninya. Pembangunan biofilik dirancang mengikuti dimensi dasar, yaitu bangunan yang organik (organic design). Ini pembangunan yang mengikuti pola-pola alamiah, mengikuti kontur lanskap yang ada, yang secara simbolis juga menandakan bahwa manusia cukup beradaptasi dengan lingkungannya tanpa intervensi yang merusak bahkan menantang alam. Pola pembangunan seperti ini, misalnya, bisa secara kreatif memanfaatkan penerangan alamiah serta memanfaatkan ventilasi dan materi bangunan dengan memanfaatkan lingkungan: tidak menebang vegetasi pohon-pohon di sekelilingnya, berdiri dan mempunyai dekorasi dan ornamen yang menyesuaikan dengan alam sekitarnya ***
KORAN TEMPO 16 FEBRUARI 2008
No comments:
Post a Comment