Sunday, March 22, 2009

Banjir dan Ironi Kesadaran Lingkungan

Oleh
Fachruddin M Mangunjaya (dikutip dari SINAR HARAPAN, Jumat 06 Maret 2009)

Rekor bencana ekologis yang seolah menjadi agenda tetap dari tahun ke tahun menjadi catatan penting: bahwa lingkungan kita memang tengah berubah. Pengambil kebijakan dan masyarakat awam banyak mengutip alasan bahwa ini diakibatkan oleh adanya perubahan iklim dan pemanasan global. Jadi, hampir semua orang telah sadar akan keadaan, lalu mempunyai apologia sama, namun tidak dapat melepaskan kondisi dan keburukan lingkungan yang semakin biasa.

Pada tahun 2008 terjadi perubahan menarik yakni semakin banyak kesadaran tentang pentingnya hidup harmonis dengan alam dan berperilaku ramah terhadap lingkungan. Banyak perusahaan, kantor, perumahan, sekolah dan sektor publik lainnya yang mengubah visinya dan mencantumkan “tagline” go green sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. “Wabah Go Green” ini memang menggembirakan aktivis lingkungan. Maka dari toilet yang hemat air atau tidak lagi menggunakan tisu, hingga komputer bisa mendapatkan sertifikasi “hijau” apabila mau berkontribusi menjaga lingkungan.

Sebuah supermarket terkenal mulai menganjurkan konsumennya supaya tidak lagi menggunakan plastik dengan menyediakan tas yang bisa dipakai beberapa kali. Sayangnya, tidak ada bukti - setidaknya belum ditemukan-riset adanya perubahan perilaku konsumen - secara kolektif (massal) untuk berubah perilaku menjadi lebih ramah lingkungan, termasuk tidak lagi menggunakan bahan yang sukar untuk hancur dan dapat didaur ulang.
Tahun 2009, bencana lingkungan masih menjadi perdebatan, tetapi berdebat tentunya tidak akan mengubah keadaan, dan pada bulan-bulan ini, seperti biasa, giliran - seperti arisan bencana - kondisinya tidak berubah, setelah mulai musim hujan awal Desember misalnya, kita diinformasikan banjir parah terjadi di mana-mana, yang menenggelamkan perumahan penduduk dan sawah mereka.

Bencana Ekologis
Tahun lalu (2008) Walhi mencatat peningkatan bencana ekologis di Indonesia yaitu menjadi 359 kali, dibandingkan tahun 2007 yang 205 kali. Bencana ekologis adalah bencana akibat adanya perubahan ekologi dan ekosistem yang pada umumnya oleh ulah manusia. Akumulasi bencana ekologis dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam yang tadinya secara reguler dapat memperbaiki keadaan lingkungan dengan daya dukung yang ada (homeostasis). Ketidakberdayaan manusia dan alam memulihkan ekosistem semakin jelas terlihat misalnya dengan frekuensi banjir yang semakin besar dan ketika curah hujan melimpah pada tiap pergantian musim. Kejadian seperti ini - untuk Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi - sangat mustahil terjadi ketika hutan masih mampu menjadi regulator iklim dan penyeimbang atas serapan air pada 30 atau empat puluh tahun yang lalu.

Kebijakan pemerintah yang masih bertumpu pada pengurasan sumber daya alam dan mengizinkan pembukaan lahan—baik untuk pertambangan, kehutanan atau perkebunan untuk mengonversi kawasan tutupan hutan menjadi penyebabnya. Diperparah pula dengan adanya pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pemegang izin yang sah maupun yang tidak. Pembukaan lahan dan hutan biasanya diikuti dengan kejahatan lain terhadap satwa liar. Satwa liar yang dilindungi oleh hukum banyak diperjualbelikan di masyarakat bahkan diselundupkan, sebagai hasil sampi-ngan pembalakan baik legal maupun yang ilegal.

Kepastian hukum yang masih simpang siur dan tidak sinkron menjadikan masyarakat “bingung” dengan konsensus soal perizinan penebangan hutan. Misalnya, baru-baru ini Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) telah dikeluarkan atas penyidikan di 13 perusahaan besar yang diindikasikan melakukan pembalakan liar di Riau. Padahal, Kepolisian Daerah Riau telah bersusah payah mengumpulkan data, mengeluarkan dana dan melakukan penangkapan atas pembalakan yang “kasatmata” sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa.

Jelas sekali, sebagai akibat rasio hutan semakin berkurang, dan hutan dataran rendah di kawasan pulau besar seperti di Kalimantan dan Sumatera sudah semakin menipis, mengakibatkan banyak konflik masyarakat, juga antarmanusia dan hidupan liar seperti harimau dan gajah. Di Pulau Sumatera, pada tahun 2007, menurut data deteksi perubahan tutupan hutan yang dikeluarkan oleh Wildlife Conservation Society, Conservation International dan Departemen Kehutanan, kawasan ini mengalami pembukaan hutan rata-rata 25 persen, atau diperkirakan lebih dari 5 juta hektare dalam waktu sepuluh tahun saja, 1990 hingga 2000.

Penyakit Menyebar
Sumatera mempunyai 20,6 juta hektare hutan pada tahun 1990 dan menjadi hanya 15,5 hektare pada tahun 2000. Bila tren ini berlanjut maka pulau itu bisa hanya menyisakan 10 juta ha hutan di akhir tahun 2010. Ironinya, upaya kita menghijaukan hutan, walaupun digembar-gemborkan, ternyata sangat sedikit. Misalnya, dengan pencanangan satu juta pohon saja—jika berhasil—artinya hanya mampu menghijaukan 2.500 hektare hutan (1 ha = 400 pohon).
Kondisi lingkungan (sanitasi) desa dan kota di Indonesia tidak dapat dikatakan baik. Perilaku masyarakat yang masih awam bahkan “primitif” dalam memperlakukan lingkungan dengan membuang sampah dan limbah sembarangan mengakibatkan penyakit dapat menyebar ke berbagai tempat. Banyak rumah masyarakat di perkampungan dibangun tanpa memiliki toilet dan mereka membuang hajat di sungai-sungai dan danau. Laporan Bank Dunia (2008) tentang kerugian yang diderita masyarakat Indonesia akibat buruknya sa-nitasi mencapai Rp 56 triliun.

Kerugian ekonomi ini antara lain dipicu oleh 89 juta kasus diare per tahun dan 23.000 orang mati akibat diare tersebut. Laporan sanitasi ini juga menghitung, setidaknya 120 juta kejadian penularan penyakit dan 50.000 bayi yang mati prematur setiap tahunnya. Ini akibat sanitasi dan higienitas lingkungan yang buruk. Laporan Water and Sanitation Program (WSP) tersebut menyimpulkan dampak kerugian lingkungan yang buruk mengakibatkan hilangnya material berupa biaya kesehatan Rp 29,5 triliun, biaya air Rp 13,3 triliun, lingkungan Rp 847 miliar, pariwisata Rp 1,4 triliun dan kesejahteraan lain Rp 10,7 triliun.

Krisis air dipicu juga oleh perencanaan ruang dan pembangunan perumahan yang tidak tertata disertai penggalian air tanah yang berlebihan. Keperluan air yang sangat vital memerlukan upaya terintegrasi tata ruang antarwilayah agar dapat berbagi keuntungan dalam pengelolaan ekosistem melalui skema pembayaran perawatan ekosistem (payment of ecosystem services-PES). Pencemaran air dapat berdampak pada meningkatkan beban biaya pengadaan air bersih untuk rumah tangga, di samping itu akan mengurangi produksi ikan di sungai dan danau.

Penulis bekerja di Conservation International Indonesia.