Oleh
Fachruddin M Mangunjaya (dikutip dari SINAR HARAPAN, Jumat 06 Maret 2009)
Rekor  bencana ekologis yang seolah menjadi agenda tetap dari tahun ke tahun menjadi  catatan penting: bahwa lingkungan kita memang tengah berubah. Pengambil  kebijakan dan masyarakat awam banyak mengutip alasan bahwa ini diakibatkan oleh  adanya perubahan iklim dan pemanasan global. Jadi, hampir semua orang telah  sadar akan keadaan, lalu mempunyai apologia sama, namun tidak dapat melepaskan  kondisi dan keburukan lingkungan yang semakin biasa.
Pada tahun 2008 terjadi  perubahan menarik yakni semakin banyak kesadaran tentang pentingnya hidup  harmonis dengan alam dan berperilaku ramah terhadap lingkungan. Banyak  perusahaan, kantor, perumahan, sekolah dan sektor publik lainnya yang mengubah  visinya dan mencantumkan “tagline” go green sebagai bentuk kepedulian terhadap  lingkungan. “Wabah Go Green” ini memang menggembirakan aktivis lingkungan. Maka  dari toilet yang hemat air atau tidak lagi menggunakan tisu, hingga komputer  bisa mendapatkan sertifikasi “hijau” apabila mau berkontribusi menjaga  lingkungan.
Sebuah supermarket terkenal mulai menganjurkan konsumennya supaya  tidak lagi menggunakan plastik dengan menyediakan tas yang bisa dipakai beberapa  kali. Sayangnya, tidak ada bukti - setidaknya belum ditemukan-riset adanya  perubahan perilaku konsumen - secara kolektif (massal) untuk berubah perilaku  menjadi lebih ramah lingkungan, termasuk tidak lagi menggunakan bahan yang sukar  untuk hancur dan dapat didaur ulang.
Tahun 2009, bencana lingkungan masih  menjadi perdebatan, tetapi berdebat tentunya tidak akan mengubah keadaan, dan  pada bulan-bulan ini, seperti biasa, giliran - seperti arisan bencana -  kondisinya tidak berubah, setelah mulai musim hujan awal Desember misalnya, kita  diinformasikan banjir parah terjadi di mana-mana, yang menenggelamkan perumahan  penduduk dan sawah mereka.
Bencana Ekologis
Tahun lalu (2008) Walhi  mencatat peningkatan bencana ekologis di Indonesia yaitu menjadi 359 kali,  dibandingkan tahun 2007 yang 205 kali. Bencana ekologis adalah bencana akibat  adanya perubahan ekologi dan ekosistem yang pada umumnya oleh ulah manusia.  Akumulasi bencana ekologis dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam yang  tadinya secara reguler dapat memperbaiki keadaan lingkungan dengan daya dukung  yang ada (homeostasis). Ketidakberdayaan manusia dan alam memulihkan ekosistem  semakin jelas terlihat misalnya dengan frekuensi banjir yang semakin besar dan  ketika curah hujan melimpah pada tiap pergantian musim. Kejadian seperti ini -  untuk Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi - sangat mustahil terjadi ketika hutan  masih mampu menjadi regulator iklim dan penyeimbang atas serapan air pada 30  atau empat puluh tahun yang lalu.
Kebijakan pemerintah yang masih bertumpu  pada pengurasan sumber daya alam dan mengizinkan pembukaan lahan—baik untuk  pertambangan, kehutanan atau perkebunan untuk mengonversi kawasan tutupan hutan  menjadi penyebabnya. Diperparah pula dengan adanya pembalakan liar (illegal  logging) yang dilakukan oleh pemegang izin yang sah maupun yang tidak. Pembukaan  lahan dan hutan biasanya diikuti dengan kejahatan lain terhadap satwa liar.  Satwa liar yang dilindungi oleh hukum banyak diperjualbelikan di masyarakat  bahkan diselundupkan, sebagai hasil sampi-ngan pembalakan baik legal maupun yang  ilegal.
Kepastian hukum yang masih simpang siur dan tidak sinkron menjadikan  masyarakat “bingung” dengan konsensus soal perizinan penebangan hutan. Misalnya,  baru-baru ini Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) telah dikeluarkan atas  penyidikan di 13 perusahaan besar yang diindikasikan melakukan pembalakan liar  di Riau. Padahal, Kepolisian Daerah Riau telah bersusah payah mengumpulkan data,  mengeluarkan dana dan melakukan penangkapan atas pembalakan yang “kasatmata”  sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa.
Jelas sekali,  sebagai akibat rasio hutan semakin berkurang, dan hutan dataran rendah di  kawasan pulau besar seperti di Kalimantan dan Sumatera sudah semakin menipis,  mengakibatkan banyak konflik masyarakat, juga antarmanusia dan hidupan liar  seperti harimau dan gajah. Di Pulau Sumatera, pada tahun 2007, menurut data  deteksi perubahan tutupan hutan yang dikeluarkan oleh Wildlife Conservation  Society, Conservation International dan Departemen Kehutanan, kawasan ini  mengalami pembukaan hutan rata-rata 25 persen, atau diperkirakan lebih dari 5  juta hektare dalam waktu sepuluh tahun saja, 1990 hingga 2000.
Penyakit  Menyebar
Sumatera mempunyai 20,6 juta hektare hutan pada tahun 1990 dan  menjadi hanya 15,5 hektare pada tahun 2000. Bila tren ini berlanjut maka pulau  itu bisa hanya menyisakan 10 juta ha hutan di akhir tahun 2010. Ironinya, upaya  kita menghijaukan hutan, walaupun digembar-gemborkan, ternyata sangat sedikit.  Misalnya, dengan pencanangan satu juta pohon saja—jika berhasil—artinya hanya  mampu menghijaukan 2.500 hektare hutan (1 ha = 400 pohon).
Kondisi lingkungan  (sanitasi) desa dan kota di Indonesia tidak dapat dikatakan baik. Perilaku  masyarakat yang masih awam bahkan “primitif” dalam memperlakukan lingkungan  dengan membuang sampah dan limbah sembarangan mengakibatkan penyakit dapat  menyebar ke berbagai tempat. Banyak rumah masyarakat di perkampungan dibangun  tanpa memiliki toilet dan mereka membuang hajat di sungai-sungai dan danau.  Laporan Bank Dunia (2008) tentang kerugian yang diderita masyarakat Indonesia  akibat buruknya sa-nitasi mencapai Rp 56 triliun.
Kerugian ekonomi ini antara  lain dipicu oleh 89 juta kasus diare per tahun dan 23.000 orang mati akibat  diare tersebut. Laporan sanitasi ini juga menghitung, setidaknya 120 juta  kejadian penularan penyakit dan 50.000 bayi yang mati prematur setiap tahunnya.  Ini akibat sanitasi dan higienitas lingkungan yang buruk. Laporan Water and  Sanitation Program (WSP) tersebut menyimpulkan dampak kerugian lingkungan yang  buruk mengakibatkan hilangnya material berupa biaya kesehatan Rp 29,5 triliun,  biaya air Rp 13,3 triliun, lingkungan Rp 847 miliar, pariwisata Rp 1,4 triliun  dan kesejahteraan lain Rp 10,7 triliun.
Krisis air dipicu juga oleh  perencanaan ruang dan pembangunan perumahan yang tidak tertata disertai  penggalian air tanah yang berlebihan. Keperluan air yang sangat vital memerlukan  upaya terintegrasi tata ruang antarwilayah agar dapat berbagi keuntungan dalam  pengelolaan ekosistem melalui skema pembayaran perawatan ekosistem (payment of  ecosystem services-PES). Pencemaran air dapat berdampak pada meningkatkan beban  biaya pengadaan air bersih untuk rumah tangga, di samping itu akan mengurangi  produksi ikan di sungai dan danau.
Penulis bekerja di Conservation  International Indonesia.