Thursday, October 23, 2008

Kuasa Politik Terhadap Alam

Fachruddin M. Mangunjaya

Penulis, tinggal di Jakarta

Skandal pengalihan fungsi lahan terhadap hutan lindung yang terjadi antara pejabat daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI menjadi keprihatinan yang memilukan hati. Skandal ini memperjelas rumor yang beredar--dan tampaknya menjadi rahasia publik--bahwa hutan alam Indonesia menjadi "bancakan emas" dan "mesin ATM" pejabat pemerintah serta partai-partai politik untuk mengumpulkan uang dengan mengorbankan alam sekitarnya.

Masih segar di ingatan kita tentang alam yang dikalahkan oleh kekuatan politik dengan pemberian hak penambangan pada investor di hutan lindung dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 yang akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004. Kemenangan lobi investasi ini menegaskan pada visi politik dan komitmen lingkungan yang lemah dari partai yang berkuasa saat itu. Meskipun para ahli kehutanan telah mengingatkan bahwa fungsi hutan lindung mempunyai fungsi ekologis yang tidak tergantikan, tetap saja pada akhirnya investasi yang dimenangkan.

Pertimbangan sebuah kawasan diberi status sebagai hutan lindung adalah ia mempunyai keistimewaan dari segi ekologis. Karena itulah kawasan hutan lindung diberi hak istimewa dalam perannya melindungi ekosistem. Kini, mengingat tidak banyak lagi hutan alam Indonesia yang tersisa, mengambil hutan lindung dan mengkonversi lahan tersebut untuk kepentingan ekonomi dapat dicap sebuah bentuk kezaliman penguasa terhadap penduduknya.
Betapa tidak, hutan lindung dan daerah konservasi mempunyai peran vital yang tidak tergantikan. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Maka, jelas, ketetapan yang dibuat untuk menjadikan suatu kawasan sebagai hutan lindung memang karena keistimewaan vital bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut yang notabene adalah konstituen partai dan pemilih wakil rakyat.

Departemen Kehutanan (2007), menurut catatan terakhirnya pada 2003, telah menetapkan 22,10 juta hektare hutan lindung (25,7 persen) dan 14,37 juta ha hutan konservasi (16,7 persen) dari total 85,96 juta ha kawasan yang masih berhutan di Indonesia. Secara keseluruhan--dengan memasukkan kawasan hutan dan kawasan lain--Departemen Kehutanan mencatat total kawasan lahan dan hutan di Indonesia (2003) adalah 93,92 juta hektare, yang terdiri atas 44,77 juta ha (47,7 persen) hutan primer dan 45,15 juta ha (48,1 persen) hutan sekunder. Jumlah ini jauh berkurang secara drastis dibandingkan dengan jumlah pada tahun 50-an, yang mencapai 152 juta ha, kemudian turun drastis menjadi 119 juta ha pada 1985. Dalam kurun 35 tahun luas hutan berkurang 33 juta ha, yaitu setara dengan 2,4 kali luas Pulau Jawa dan Bali.

Semangat pembukaan lahan hutan alam--apalagi hutan lindung--dengan kondisi bumi yang kian tidak seimbang mengakibatkan bangsa ini terus dirundung bencana lingkungan: tanah longsor, banjir, dan kekeringan bukanlah merupakan cara terpuji dan populer. Apa pun alasannya, di tengah kancah globalisasi dan pengetahuan tentang keterkaitan alamiah ekosistem di bumi tentang keseimbangan, pembukaan lahan--apalagi dengan menggusur paksa hutan lindung--menjadi hal yang kontraproduktif.

Tentu saja kita menyadari dilema yang dihadapi pemerintah daerah dalam membangun dan menyejahterakan penduduk di daerah mereka, di mana sumber-sumber alam dan kekayaan bumi menjadi tumpuan untuk pembangunan baik sebagai pendapatan daerah maupun sebagai income dengan niat menyejahterakan penduduk setempat. Tapi tumpuan pembangunan yang mengorbankan kawasan-kawasan lindung, yang sudah “diplot” akan menjadi cadangan masa depan--dan mempunyai risiko apabila diganggu--di kemudian hari, tentu bukanlah kebijakan yang tepat.

Keprihatinan tentang hilangnya hutan alam secara tidak terasa menjadi ancaman langsung percepatan pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini karena banyaknya kehilangan hutan, termasuk di kawasan hutan lindung. Hutan telah gagal dipelihara, dan “menghilang” tanpa dapat dikembalikan keadaannya, kemudian menjelma menjadi lahan-lahan kritis. Percepatan pembangunan perlu dilakukan di kawasan-kawasan tertentu, tapi mestinya mempertimbangkan semangat kesejahteraan jangka panjang. Keutuhan ekosistem, terutama sumber daya air, kelak akan menjadi kebutuhan yang mahal karena alam selama ini menyediakan sumber-sumber tersebut secara gratis.

Skandal perilaku politikus yang melakukan “gratifikasi”, selain melanggar etika dan mengkhianati janji politik mereka terhadap konstituennya, dapat dikatakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap janji partai politik yang berkomitmen terhadap misi-misi lingkungan hidup. Menjelang Pemilu 2004, Indonesia Forest Media Campaign (INFORM), yang merupakan wahana kampanye enam organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam penyelamatan lingkungan hidup dan konservasi alam, pernah mengadakan penjajakan dengan merujuk pada platform program kerja parpol peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kerangka kerja dan peduli terhadap lingkungan.

Menurut INFORM, saat itu (2004) hanya ada 10 partai politik yang mempunyai kebijakan kerangka kerja lingkungan dalam platform mereka. Sepuluh partai tersebut adalah PKS, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Partai Golkar, PAN, PNBK, PPP, PKB, PBB, Partai Demokrat, dan Partai Patriot Pancasila. Dari jumlah ini, artinya kurang dari separuh (42 persen) atau hanya sepuluh dari 24 parpol yang diundi sebagai peserta pemilu saat itu dianggap peduli terhadap lingkungan, setidaknya hal ini tertulis dalam platform dan agenda mereka.
Setelah mengamati fenomena keterlibatan kader-kader partai atau “oknum” yang terlibat dalam skandal gratifikasi, setidaknya ada dua pelajaran penting yang perlu diambil untuk partai yang ingin mengusung isu lingkungan dalam Pemilu 2009. Pertama, diharapkan partai mempunyai calon atau kader partai dengan komitmen kuat terhadap lingkungan dan mempunyai pengetahuan yang mumpuni terhadap kebutuhan konstituennya di daerah yang mengharapkan kondisi lingkungan yang semakin baik dan tidak mengancam kehidupan mereka serta anak-cucu mereka di masa yang akan datang.

Kedua, platform dan misi-visi partai saja ternyata bukan jaminan untuk mengusung “isu-isu lingkungan”, sehingga partai perlu mensosialisasi misinya tentang komitmen partai secara internal pada kader-kadernya sendiri. Fenomena pelanggaran komitmen partai yang mengusung tema-tema dan platform lingkungan menjadi pelajaran penting. Kita melihat, PKB, yang telah mendeklarasikan dirinya menjadi partai hijau, ternyata menjumpai kadernya menjadi tersangka gratifikasi. Begitu pula PPP, dengan skandal Al-Amin Nasution dalam pengalihan lahan hutan lindung di Pulau Bintan.

Tidak kalah pentingnya, faktor ketiga, yaitu nilai-nilai universal yang harus menjadi pertimbangan, seperti etika dan moralitas tinggi kader yang akan menjadi wakil rakyat terhormat, akan semakin dipertimbangkan untuk dipilih oleh publik. Maka, bila saja tidak terjadi ketiga hal di atas, bukan mustahil partai-partai (yang mempunyai kekuasaan) yang mengusung isu lingkungan hanya dianggap--meminjam istilah Iwan Fals--"celoteh belaka" dan akan ditinggalkan para konstituennya. *

Dikutip dari KORAN TEMPO