Wednesday, September 3, 2008

Dilema Pohon di Era Globalisasi

Harrison Ford, bintang film AS yang terkenal itu, pergi ke sebuah salon. Kali ini dia membawa kru film guna mengabadikan perbuatannya. Pemeran utama dalam film Indiana Jones ini ingin menunjukkan kepeduliannya dengan cara lain: mencukur bulu dadanya yang lebat dengan cara waxing, sekali cabut, dan memberi gambaran tentang perihnya perasaan masyarakat di Barat ketika ada hutan yang hilang: "Lost there, felt here," begitu tajuknya, yang merupakan bagian dari kampanye menentang penggundulan hutan.

Gambaran ini mungkin bisa mewakili tentang pengaruh globalisasi terhadap lingkungan, kala negara-negara maju--apabila mereka tinggal diam--akan segera terkena dampak kerusakan lingkungan yang pada ujungnya menyakitkan. Pemanasan global juga dipicu oleh hilangnya hutan alam akibat masifnya pembukaan lahan--dengan menebang jutaan pohon yang berpotensi menyerap karbon.

Topik globalisasi dan lingkungan merupakan salah satu bahasan yang dibicarakan dalam Konferensi Internasional tentang Globalisasi: Tantangan dan Peluang untuk Agama-Agama (Globalization Challenge and Opportunities for Religions), 30 Juni-4 Juli 2008 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 120 cendekiawan dari berbagai kalangan, termasuk agamawan, akademisi, aktivis lingkungan, dan cendekiawan yang datang dari berbagai disiplin ilmu di dunia, antara lain dari AS, Norwegia, Filipina, Hong Kong, Inggris, serta diundang pula beberapa tokoh agama dan aktivis keagamaan nasional seperti Ismail Yusanto (juru bicara Hizbut Tahrir), KH Imam Subakir (Rektor Bidang Akademik Pondok Pesantren Gontor), Romo Ign Sandyawan Sumardi (aktivis sosial dan relawan dari Jakarta), hingga Bill Dyrness dari Fuller Theological Seminary, AS.

Dalam kaitannya dengan agama dan lingkungan, Michael Nothcott, guru besar etika dari University of Edinburgh, yang menjadi pembicara dalam konferensi tersebut, menggambarkan bahwa peradaban manusia sekarang ini terancam akibat “menzalimi” pepohonan, sebagaimana kasus bapak manusia Nabi Adam alaihissalam dan Hawa, yang disebutkan dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Quran, telah terusir dari surga disebabkan melanggar perjanjiannya untuk tidak mendekat (mengganggu) pohon di taman surga (Qs 2:35).

Kita paham bahwa sumber energi yang diperoleh sekarang ini, yaitu minyak dan batu bara yang sekarang mulai langka, diperoleh dari fosil-fosil sel dan energi yang telah diserap dari hasil fotosintesis banyak pohon. Pohon ini telah menyerap karbon dalam menjaga keseimbangan alam dengan mengeluarkan oksigen di zaman prasejarah, kemudian disebabkan pergeseran kerak bumi, pohon tersebut terendam selama jutaan tahun. Fosil pohon inilah yang kemudian ditambang oleh manusia menjadi sumber utama bahan bakar energi minyak bumi.

Bisa dibayangkan, di zaman kita ini, dalam satu hari manusia membakar energi setara dengan hasil sekitar 10 ribu tahun fotosintesis tumbuhan. Pohon-pohon hutan yang tadinya berupa fosil, menyerap karbon dan memendamnya dalam lapisan-lapisan sel mereka. Walhasil, dengan membakar energi fosil, pesawat jet dan mobil mewah manusia (anak cucu Adam) dapat berkeliaran di muka bumi, melelehkan karbon yang tadinya beku di dalam bumi sejak zaman prasejarah.

Dilema pohon ini sekarang tergambar dengan kebutuhan energi yang bersumber dari fossil fuel, yang boleh jadi merupakan suatu teguran Gusti Allah. Pohon-pohon alam pun yang masih hidup berseri sekarang menjadi ibarat buah simalakama: negara-negara berkembang masih harus menggantungkan ekonominya pada penebangan pohon dan pembukaan lahan baru, sementara negara maju berkepentingan dengan pohon guna menetralkan emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan.

Secara global, dampak dari pembukaan lahan dan kehilangan hutan (pohon) berkontribusi pada 30 persen emisi karbon global, sehingga upaya menurunkan emisi akan sangat sia-sia bila tidak dibarengi usaha mencegah penggundulan hutan. Maka, menurut Bank Dunia (2007), jika emisi dari penggundulan hutan dimasukkan dalam inventarisasi emisi gas rumah kaca, Indonesia berkontribusi sebagai produsen gas rumah kaca nomor tiga di dunia setelah AS dan Cina. Penggundulan hutan dan kebakaran hutan berkontribusi pada 2.563 megaton CO2, setara dengan 4 persen emisi global dan dihitung mampu menutupi 0,1 persen permukaan planet bumi.

Dilema lain dalam sikap manusia adalah kesalahan global yang terus dikecam oleh agama-agama, yaitu manusia telah menciptakan suplai keuangan global dengan menciptakan jumlah uang tanpa batas. Bumi dan sumber daya alam sangat terbatas, sementara uang terus diproduksi oleh manusia tanpa batas. Keadaan ini, ditambah lagi dengan implementasi ribawi yang telah dikutuk oleh Taurat, Injil, dan Quran, yang rupanya menyebabkan krisis lingkungan bertambah parah. Pertumbuhan gas-gas rumah kaca meningkat secara eksponensial sejak AS mencabut standar emas (sebagai nilai intrinsik) pada 1969. Adikuasa uang merupakan cerminan domain hegemoni politik. Negara-negara berlomba memperkuat mata uang, mereka kemudian menggunakan sumber daya alam tanpa batas.

Lantas, bila kita becermin pada kasus lingkungan Indonesia kini, skandal-skandal pohon dan uang memang ternyata benar-benar membawa fitnah. Ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (terhormat) yang terlibat riswah (suap) gara-gara menggusur pohon-pohon di hutan lindung. Di lain pihak, banyak banjir dan tanah longsor terjadi akibat “kutukan” pohon yang telah musnah di kawasan tersebut. Banyak spesies makhluk yang tadinya bertasbih memuja-muji sang Pencipta, kemudian punah untuk selamanya dari permukaan bumi seiring dengan hilangnya pohon dan kerakusan manusia.

Bagi para politisi dan pialang pertumbuhan ekonomi, perlombaan menebang pohon menjadi cara yang menarik karena pohon-pohon dapat menghasilkan uang secara mudah, apalagi hutan alam yang tanpa susah payah menanamnya. Banyak pemimpin daerah, yang berdalih dengan berbagai cara, melegalkan penebangan pohon, mengharapkan uang dari pohon-pohon yang mereka kuasai di wilayah mereka untuk membiayai pemenangan dalam pemilihan mereka. Kasus-kasus pohon memang berujung pada eksploitasi. Akibat uang yang tanpa batas, daun fulus ini dapat menjungkirkan adagium tentang keadilan dan hukum menjadi: "kuasa hukum telah ditaklukkan oleh kuasa uang".

Tanggal : 15 Jul 2008
Sumber : Koran Tempo