Sunday, June 29, 2008

Biofuel Vs Hutan Alam

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya

Pendiri Borneo Lestari FoundationSebagai bangsa, mungkin kita kerap tersinggung dan merasa ada ketidakadilan atas tuduhan negara maju dalam memperlakukan hutan alam kita. Pengambil kebijakan tentu saja merasa gerah karena terkadang, sebagai pemimpin bangsa, harus berhadapan dengan kenyataan: antara mengejar target ekonomi (yang memaksa harus mengorbankan hutan alam) dan menghadapi gencarnya para aktivis lingkungan dalam mengkampanyekan pencegahan penggundulan hutan (Koran Tempo, 28 Maret).

Satu fokus penting, dalam upaya menekan laju perubahan iklim adalah upaya menghindarkan kehilangan hutan (avoiding deforestation) guna menurunkan jumlah emisi. Bank Dunia mencatat Indonesia sebagai negara yang menempati urutan ketiga dalam emisi karbon dioksida (CO2), setelah Amerika Serikat dan Cina, ketika emisi akibat pembukaan lahan dan hutan ini dimasukkan.

Secara global, pembukaan hutan dan lahan berkontribusi 20 persen atas emisi global.Ada dua hal yang menyebabkan Indonesia termasuk negara yang serius sebagai penyumbang emisi. Pertama, maraknya illegal logging, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan perkebunan akibat tidak teraturnya penataan tata ruang di tingkat daerah yang diakibatkan masifnya kepentingan ekonomi yang mendorong pada pembukaan lahan. Kedua, banyaknya perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah--terutama dengan pengembangan wilayah, kabupaten, atau provinsi baru--untuk memberikan legalisasi pembukaan lahan berdasarkan wewenang mereka.

Dari sudut pandang pembangunan ekonomi di daerah, semangat pembukaan hutan berjalan paralel dengan kehendak otonomi yang menginginkan peningkatan pendapatan asli daerah. Menghadapi realitas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan minimnya ladang sumur-sumur baru penghasil minyak, Indonesia mencanangkan dukungan untuk memasok sebagian bahan bakarnya dari minyak nabati (biofuel), yang kebanyakan berasal dari kelapa sawit. Di lain pihak, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa kebun sawit dapat menjadi ancaman permanen yang akan terus merambah hutan alam yang ada di Indonesia dan Malaysia.

Alasannya, 90 persen produk sawit dunia dipasok dari kedua negara ini. Dari jumlah tersebut, 6 juta hektare (54 persen) kebun kelapa sawit dari 11 juta hektare yang ada di dunia berada di Indonesia, yang diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit nomor satu dunia menggantikan Malaysia di masa depan. Produksi minyak sawit diperkirakan akan meningkat pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan dunia. Lebih dari 100 juta ton minyak sayur yang dihasilkan oleh dunia setiap tahun setidaknya 30 persen berasal dari minyak kelapa sawit.

Peningkatan juga akan dipicu oleh upaya konversi bahan bakar minyak berbasis fosil (fosil fuel) menjadi minyak hayati (biofuel) sebagai pengganti BBM. Sejak 2000, tantangan pasokan crude palm oil (CPO) kian bertambah dan prospek yang besar di pasar dunia atas kebutuhan sawit semakin meningkat. Sambutan untuk pembukaan lahan dan kebun di daerah pun meningkat pesat. Misalnya, sebagai daerah yang menginginkan pendapatan yang tinggi, pemerintah Kalimantan Tengah sejak 2004 telah mencanangkan proses monokultur berupa pembuatan kebun-kebun sawit seluas jutaan hektare.

Adapun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mencanangkan 1,5 juta hektare, tapi--mendahului pemerintah provinsi--pemerintah kabupaten telah mengeluarkan perizinan seluas 4,2 juta hektare. Maka kebun-kebun sawit tumbuh menghijau sejauh mata memandang. Dari sudut lingkungan, akibat dari lajunya kerusakan hutan dan pembukaan lahan, banyak spesies eksotik Indonesia akan segera mengalami kepunahan. Orang utan, misalnya, menurut Centre for Orangutan Protection, diperkirakan terbunuh 1.500 ekor pada 2006 dan penghilangan spesies tersebut masih berlanjut hingga kini. Penyebabnya tentu karena kebun-kebun sawit tidak lagi menggunakan lahan yang telantar dan tidak berhutan--atau secara legal di kawasan pengembangan produksi atau kawasan permukiman dan penggunaan lain--tapi justru di dalam kawasan hutan yang menjadi habitat satwa.

Apabila keadaan ini terus berlangsung--tanpa adanya komitmen pembatasan--tentu sangat bertentangan dengan semangat pertemuan Bali yang mengusung cara menghindari pengalihan lahan hutan dan perusakan keanekaragaman hayati. Hal lain yang dikhawatirkan oleh para pencinta lingkungan adalah, ketika sebuah kebun monokultur ini berdiri, lingkungan akan mengalami proses "racunisasi", yang berasal dari pestisida, herbisida, dan fertilizer, yang ditebarkan untuk mendukung tumbuhan yang luasannya jutaan hektare tersebut.

Proses ini tentu saja akan menghantui kesehatan ekosistem dan mengancam daerah aliran sungai, seperti di Kalimantan yang memiliki sungai-sungai besar tempat sebagian besar kehidupan rakyat bergantung pada air sungai. Rahman (2007) memperkirakan sebatang sawit dapat menghabiskan 8 kilogram pupuk per tahun. Jadi, apabila 1 juta hektare kebun sawit--yang mempunyai jumlah 140 pohon--dikalikan dengan jumlah itu, dapat dibayangkan ada 1.120 ton pupuk yang dipasok. Dan dampak dari residu pupuk organik tersebut akan ditumpahkan di tanah, yang boleh jadi akan mencemari anak sungai yang ada di kawasan sekitarnya.

Proses racunisasi juga akan berlangsung dengan pestisida dan herbisida, yang sudah pasti digunakan dalam mengatasi gangguan terhadap hama perkebunan tersebut.Melihat permintaan CPO yang kian meningkat, ditambah target untuk memasok biofuel sebagai substitusi mengatasi harga BBM yang kian menanjak, tentu saja menahan laju sektor ini akan menjadi tidak bermakna. Di lain pihak, semangat pencegahan pemanasan global sangat bergantung pada kebijakan dan upaya menghindarkan pembukaan hutan (untuk mencegah pelepasan emisi). Jadi adakah jalan untuk menghindari paradoks yang sebenarnya kontraproduktif tersebut?

Mengamati animo pasar dan tren peningkatan pembukaan perkebunan sawit yang agresif, setidaknya ada beberapa alternatif dalam menyikapi hal ini.Pertama, semangat pembukaan lahan untuk kelapa sawit perlu diimbangi dengan perencanaan yang strategis, menghindari pembukaan lahan baru (dengan hutan alam yang mempunyai potensi penyerap emisi), dan menyesuaikan tata ruang daerah dengan meminimalkan dampak lingkungan. Kedua, dalam upaya menghindari pembukaan lahan agar perkembangan kebun sawit menjadi ideal, diperlukan kesadaran bersama dunia usaha (investor) untuk menghindarkan kerusakan yang berkepanjangan guna mempertahankan bisnis mereka supaya berkelanjutan dan mendapatkan keuntungan jangka panjang, baik dalam profit (bisnis) maupun keuntungan ekosistem.

Karena itu, pemerintah tidak seharusnya menghindar dari upaya para aktivis lingkungan dalam mengoreksi pemanfaatan lahan. Sebaliknya, jembatan kemitraan harus diupayakan untuk memuluskan jalan dunia usaha antara pemerintah (pemberi izin) dan pendampingan dari lembaga-lembaga independen, yang dapat meneliti serta memberikan rekomendasi terbaik untuk menghindarkan kerusakan lingkungan. Semangat kemitraan ini diharapkan akan sangat membantu dunia usaha karena persoalan perubahan iklim telah menjadi kepedulian semua pihak.

Kinerja usaha multinasional yang baik bagi lingkungan akan mempengaruhi bursa saham karena "sertifikasi lingkungan" akan semakin dipertimbangkan dalam gerakan global aksi menghindarkan pemanasan globalKetiga, belajar pada pengalaman pahit--dalam ketidakmampuan--memproses minyak mentah. Secara bertahap, Indonesia harus membangun pabrik-pabrik pengolahan CPO-nya dan memproduksi nilai tambah yang dimulai dari hulu, seperti memproduksi CPO menjadi produk kosmetik, mentega, sabun, dan barang jadi yang lain untuk kemudian--mendapatkan nilai tambah ekspor--menjadi bukan sekadar minyak mentah.

Sektor ini akan membantu menyerap banyak tenaga kerja, terutama mereka yang kehilangan mata pencaharian karena pabrik-pabrik hak pengusahaan hutan di daerah telah ditutup.***
(KORAN TEMPO 25 April 2008).