Tuesday, February 19, 2008

Republik Orangutan

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Pencinta Lingkungan

Awal Februari ini PBB mengeluarkan himbauan, meminta dunia untuk ikut menyelamatkan orangutan di Indonesia. Program Lingkungan Hidup PBB(UNEP) meminta dunia internasional segera mengambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan orangutan yang terancam punah di hutan-hutan Indonesia, akibat tingginya tingkat pembalakan liar. Menurut UNEP, tanpa adanya campur tangan langsung di lapangan, orangutan dan margasatwa lainnya di hutan akan semakin langka hingga akhirnya dalam jangka panjang sudah tidak dapat ditemui lagi (Antara, 7/2)

Pemerintah Indonesia, memang telah berupaya keras menyelamatkan orangutan yang mereka miliki. Terbukti pada tanggal 25 November 2006 tahun lalu, Menteri Kehutanan disertai Ibu Negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono, ikut menyambut kedatangan 48 orangutan, yang tiba dari Thailand. Orangutan ini tentu saja telah menjalani test DNA untuk menentukan asal muasal mereka, dan kemana mereka harus dikembalikan. Thailand tidak mempunyai orangutan di hutan alaminya. Orangutan hanya dijumpai di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, jadi di negeri inilah sebenarnya ‘Republik Orangutan’ berada. Negara lain yang memiliki orangutan di habitat aslinya adalah Malaysia (yang hidup di negara bagian Sabah), Kalimantan Utara.
Kita jadi bertanya bagaimana Thailand mendapatkan orangutan? Ternyata ‘warga negara’ berbulu merah ini juga mengalami ‘trafficking’--seperti halnya banyak perempuan di Asia--diselundupkan melalui kapal-kapal pembawa kayu yang membawa ekspor kayu ke Thailand. Sebagian lagi memang hasil pekerjaan pedagang illegal yang sukses menyelundupkan makhluk mirip manusia ini, karena permintaan pasar yang tinggi di Thailand.

Walaupun ini peristiwa pulang kampung bagi orangutan dari Thailand, bukan pertama kali. Pengembalian orang bisa menarik banyak perhatian baik secara nasional bahkan internasional. Soalnya, kera merah berbadan besar dan hidung pesek ini, memang semakin hari semakin tergusur, karena kehidupan di alam mereka sangat tergantung dengan adanya hutan tropis yang asli dan habitat yang tidak terganggu, karena satwa ini merupakan pemakan buah-buahan dan biji-bijian hutan.

Secara morfologis, orangutan Sumatera (Pongo abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) hampir serupa. Namun demikian kedua jenis tersebut secara fisik dapat dibedakan berdasarkan warna rambutnya. Orangutan Kalimantan, bila dewasa rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan orangutan Sumatera, biasanya berwarna lebih muda. Ini bukan merupakan perbedaan hakiki, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai rambut putih pada raut wajahnya, namun orangutan Kalimantan belum pernah ditemukan.

Hidup Menyendiri
Prof. Birute Galdikas, yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1971 di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, telah lama berkesimpulan bahwa orangutan merupakan kerabat paling dekat dengan manusia secara evolusi. Birute menggambarkan --secara anekdot--bahwa orangutan merupakan “sepupu tiga” kali manusia.

Berbeda dengan dua kera besar lain—simpanze dan gorilla-- yang pada umumnya hidup berkelompok, orangutan tidak demikian. Jantan dewasa bersifat hidup menyendiri (soliter), betina dewasa tanpa pasangan atau kadang-kadang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat berdiri sendiri. Orangutan yang berusia muda hidup bebas, tetapi kadang-kadang ia hidup mengikuti induk yang melahirkannya.

Orangutan berjalan lamban menyeberang dari pohon ke pohon menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk mencari makan. Sifat seperti ini membawa banyak resiko bagi mereka. Sebab orangutan bergerak lamban, walaupun relatif tidak mempunyai musuh alami, tetapi manusialah yang menjadi ancaman bagi mereka. Selain interaksi antara jantan dan betina, kelangkaan hubungan ini membuat populasi orangutan semakin langka.
Menurut catatan terakhir, terdapat 45 – 69 ribu orangutan yang hutan-hutan Kalimantan dan tidak lebih dari 7.300 lainnya hidup di hutan Sumatera. Dalam laporannya berjudul The Last Stand of The Orangutan, UNEP (2007), menyatakan bahwa kepunahan orangutan dipicu oleh hilangnya habitat mereka yaitu hutan-hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan yang terus menerus dibabat. Diperkirakan pada tahun 2022, 98 persen luas hutan tersebut akan habis jika tidak ada tindakan segera.

Petani Biji-Bijian
Mengapa orangutan perlu dilestarikan? Penelitian jangka panjang (long term research) Birute Galdikas di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) telah membuahkan banyak temuan ilmiah yang belum diungkap sebelumnya. Menurut peneliti tersebut, orangutan di Kalimantan memakan kira-kira 200 spesies buah-buahan yang berbeda dan menjadi perantara penting bagi penyebaran –biji tumbuhan hutan--, kira-kira 70 persen jenis yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan manusia. Birute menyimpulkan bahwa orangutan merupakan pemakan primate pemakan jenis buah-buahan yang paling besar di dunia.

Jadi penelitian ini telah mengungkap tentang peran penting keberadaan orangutan yang membantu kestabilan ekosistem hutan tropis. Orangutan, dengan kata lain, ibarat petani biji-bijian—yang tentu membantu penyebaran tumbuhan di hutan. Jadi tanpa orangutan, keadaan hutan mungkin akan jauh berbeda, dan mungkin pula akan jauh lebih sedikit buah-buahan yang ada.

Dari bermacam-macam jenis buah-buahan yang ada di hutan tropis hampir semuanya mempunyai nilai ekonomi penting. Misalnya getah merah (Palaqium gutta) yang merupakan sumber karet alam yang mahal. Beberapa tahun lalu karet ini banyak dikumpulkan untuk diekspor. Selain itu ada jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat disadap untuk diambil leteksnya yang putih dan manis dan dipakai sebagai bahan pembuatan permen karet. Kemudian ada ramin (Gonystilus bancanus), merupakan tanaman hutan bergambut yang sangat besar nilainya dalam perdagangan untuk bahan meubel danbahan bangunan. Menurut catatan terakhir seorang mahasiswa yang meneliti orangutan Kalimantan masih ada 36 jenis tanaman lagi yang bijinya disebarkan baik melalui kotorannya ataupun secara langsung.

Maka, musnahnya orangutan mungkin dapat dirasakan beberapa abad kemudian, setelah hilang jenis-jenis tumbuhan yang bijinya disebarkan oleh orangutan. Memang agak terasa ‘naif’ bila ketika melihat upaya para konservasionis mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yang terkadang menghabiskan uang ratusan ribu dollar AS. Namun sesungguhnya bila kita lihat, peran orangutan sebagai penyebar biji, tidak bisa digantikan oleh manusia. Siapa yang sanggup mengembara berpuluh tahun untuk menyebar biji-biji tua dan memanjat pohon lalu tidur diatasnya? Program gerakan Indonesia menanam dan rehabilitasi lahan, tidak akan mampu menggantikan peran penting seekor orang utan yang mempunyai dedikasi –secara alami--menyebar biji-bijian. Pekerjaan tersebut tidak pula dapat digantikan oleh petugas kehutanan yang bekerja di lapangan. Dan kita dapat meramalkan apa akibatnya hutan hujan tropis yang menjadi habitat orangutan, apabila satwa penyebar biji-bijian telah mengalami kepunahan. Lambat laun punah pula tumbuhan yang mempunyai peran penting bagi manusia.***
Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim
Fachruddin M. Mangunjaya, PENCINTA LINGKUNGAN

Sekali lagi, mengutip Sir Nicholas Stern, apabila dalam jangka waktu 50 tahun mendatang (2050) gaya hidup manusia tidak berubah dalam bersikap terhadap alam dan lingkungan, bencana pemanasan global akan benar-benar terjadi. Intergovernmental Panel on Climate Change memperkirakan kenaikan suhu global akan berkisar 1,6-4,2 derajat Celsius pada 2050 atau 2070. Karena itulah, segera diperlukan perubahan gaya hidup untuk menanggulangi bahaya perubahan iklim.

Penyebab utama persoalan yang dihadapi manusia dan mengakibatkan kekhawatiran adalah terlampau tingginya pengurasan sumber daya alam, tingginya kebutuhan dan gaya hidup, serta pelepasan gas-gas rumah kaca, termasuk di antaranya karbon dioksida (CO2), diiringi dengan lajunya pertumbuhan penduduk dunia yang semakin masif, yang menghendaki pengurasan terhadap sumber daya alam yang lebih tinggi lagi.

Para pencinta lingkungan berupaya meyakinkan dampak kerusakan ini dengan memberikan tolok ukur dan alasan dasar agar gaya hidup dan konsumsi terhadap sumber daya alam ini dapat dikurangi. Salah satu caranya, dengan cara mengukur jejak ekologi. Analisis jejeak ekologi ini berupaya menjelaskan gambaran bahwa dampak gaya hidup manusia akan mempengaruhi dan mereduksi langsung kemampuan serta ketersediaan sumber daya alam, baik di darat maupun laut, yang mempunyai ekosistem produktif. Satuan yang diberikan untuk menghitung sumber daya alam yang produktif ini dikonversi dalam bentuk global hektare (gha). Jejak atau footprint di sini merupakan penjumlahan total lahan yang diperlukan untuk menyediakan makanan, perumahan, transportasi, bahan-bahan konsumsi yang lain, serta pelayanan yang diperlukan.
Sepertiga lebih cepat

Di bumi yang hijau-biru ini, ternyata tidak banyak ekosistem produktif yang dapat menunjang kehidupan, misalnya manusia tidak bisa memanfaatkan padang pasir yang tandus untuk bercocok tanam atau memperoleh penghasilan dari kawasan kutub es yang beriklim dingin. Karena itu, dalam menyediakan daya dukung pada kehidupan, hanya ekosistem produktif tertentu yang dianggap dapat memberikan dukungan. Jadi, dari ekosistem yang produktif inilah sesungguhnya lahan dan perairan yang ada mampu menyokong keberlanjutan suatu populasi--termasuk manusia serta berbagai jenis flora dan fauna---yang menyediakan bahan baku agar pabrik dapat berjalan serta berbagai kegiatan kehidupan dapat terus berlangsung.

Pada 2001 kapasitas lahan kehidupan (biocapacity) bumi hanyalah 11.3 miliar global hektare, yang hanya merupakan seperempat permukaan bumi atau hanya memberi jatah paling tinggi 1,8 gha per orang. Adapun WWF (2005) pernah menghitung bahwa rata-rata per kapita jejak ekologi per orang di bumi adalah 2,2 gha, artinya selama ini, secara rata-rata penduduk bumi mengalami defisit 0,4 gha.

Rata-rata jejak ekologi tertinggi per kapita: penduduk Amerika Serikat (9,5 gha), Inggris (5,45 gha), dan (Swiss 4 gha), sedangkan Indonesia diperkirakan rata-rata 1,2 gha. Adapun jejak ekologi terendah adalah Bangladesh, dengan rata-rata 0,5 gha. Pendekatan ini menunjukkan bahwa semakin kaya suatu negara dan bangsa, semakin besar jejak ekologi mereka dalam menguras sumber daya di bumi. Dengan demikian, kapasitas yang diperlukan dengan gaya hidup negara-negara maju jauh lebih boros, sehingga untuk bangsa Amerika--guna memenuhi gaya hidup mereka--diperlukan 9,5 planet setara dengan bumi, sedangkan warga Inggris memerlukan lima planet dan pola jejak ekologi rakyat Swiss memerlukan empat planet lagi. Jadi gaya hidup mereka di negara-negara kayalah yang menjadi penekan kemampuan bumi--dalam menyediakan suplai sumber daya alam.

Diperkirakan pengurasan terhadap sumber daya alam sekarang ini melaju hingga menjadi 25 persen. Artinya, pengurasan sumber daya akan sepertiga lebih cepat daripada kemampuan bumi sebenarnya dalam mendukung keberadaan manusia. Ibaratnya, bila dihitung sumber daya bumi secara keseluruhan mampu bertahan 24 jam, dalam waktu 16 jam, sumber daya kita sudah habis dan tidak lagi dapat menyokong kehidupan. Dengan mempertunjukkan penghitungan jejak ekologi kepada pengambil kebijakan, perusahaan, kelompok masyarakat, hingga individu, diharapkan mereka dapat becermin, untuk segara melakukan perubahan sikap.
Perilaku konsumen

Jika manusia (secara keseluruhan, kaya ataupun miskin) menjadi tertuduh atas penyebab kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, apa yang bisa dilakukan? Sekarang ini target yang dilakukan oleh para pembela lingkungan adalah bagaimana sesegera mungkin orang dapat mengubah pola gaya hidup dan perilaku. Ada empat faktor yang diperkirakan dapat menentukan perubahan bagi perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif.

Pertama, nilai-nilai moral dan budaya, di dalamnya termasuk nilai keagamaan yang mengkristal. Dengan keyakinan, seseorang akan terdorong untuk tidak cenderung merusak atau melakukan sesuatu berlebih-lebihan. Misalnya agama sangat menganjurkan manusia tidak berlaku boros dan bertindak mubazir. Di lain pihak, budaya pula yang dapat mendorong atau menahan seseorang berperilaku konsumtif dan hedonis.

Kedua, pendidikan, yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas seseorang, baik individu maupun kolektif, dalam menyikapi dan mengubah diri untuk mendukung gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Ketiga, perundang-undangan atau aturan dan tata kerja yang jelas, yang mendorong manusia tidak akan secara sembrono menguras sumber daya alam. Kealpaan dalam menerapkan sistem legal ini sangat krusial dan pernah terjadi di Indonesia, sehingga tidak ada ketentuan dan pembatasan kepemilikan hak pengusahaan hutan. Seorang taipan pernah diperbolehkan menguasai konsesi hingga 5 juta hektare dan berhasil mempercepat pengurasan sumber daya kemudian menimbulkan kerugian negara.

Keempat, harga pasar, yang mendorong seseorang bergerak mengeksploitasi sumber daya guna mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Contoh yang baik sekarang ini tengah terjadi. Ketika crude palm oilmeninggi, animo dan nafsu para investor serta pelaku bisnis akan lebih agresif guna membuka kebun-kebun sawit baru, sehingga mereka harus menggusur hutan-hutan alam yang mempunyai nilai ekonomi dan ekologi jangka panjang serta bermanfaat di masa yang akan datang.

Lebih dari itu, sesungguhnya pasar juga bisa memberikan peluang dan dapat mendorong perilaku konsumennya agar bertindak ramah lingkungan. Gerakan inilah yang dilakukan oleh Wal Mart, misalnya, dengan cara hanya menjual bola listrik hemat energi. Retailer yang memiliki 100 juta pelanggan ini mendorong konsumennya agar mengganti bola lampu berkekuatan 60 watt dengan lampu fluorescent yang berkekuatan 13 watt (karena daya terang yang sama). Walaupun lampu ini lebih mahal (Rp 20-30 ribu per buah), bola ini mampu bertahan 8-12 lebih lama dibanding lampu biasa.

Jika dihitung, lampu hemat energi ini mampu menghemat sekitar Rp 300 ribu sepanjang pemakaian dibanding bila menggunakan lampu biasa. Retail raksasa Amerika ini juga menghitung, satu bola lampu fluorescent akan menghemat setengah ton gas rumah kaca yang akan dilepaskan ke udara. Perhitungan lebih lanjut adalah perubahan perilaku konsumen tersebut dapat mengefisienkan 10 juta ton batu bara yang dibakar dari pembangkit listrik dan mencegah 20,5 juta ton gas rumah kaca yang terbuang atau sama dengan pencegahan penggunaan 700 ribu mobil yang membuang gas rumah kaca ke udara.

Koran Tempo, 05 September 2007

Gelombang Pasang dan Pemanasan Global

Oleh: Fachruddin M. Mangunjaya, Pemerhati Lingkungan

Dalam minggu ini kembali kita dikejutkan oleh perubahan gejala alam yang ekstrim yang merupakan fenomena yang tidak biasa yaitu gelombang pasang. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan, gelombang pasang yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia merupakan gejala aneh. Gelombang semacam itu baru kali ini terjadi (Metro TV (18/5).

Bila kita lihat, fenomena yang terjadi hampir di setiap titik Samudera Indonesia (pantai Selatan di Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Pantai Barat Ujung Sumatera dari Nangroe Aceh Darussalam hingga Sumatera Barat) maka, gejalah ini tentu saja merupakan peristiwa alam yang seharusnya diperhatikan. Para ahli metereologi telah menuturkan gejala ini merupakan fenomena gelombang yang terjadi akibat hembusan angin monsoón timur yang berinteraksi dengan lautan dan terjadi gesekan kemudian menghasilkan gelombang yang merambat di sepanjang pantai.

Keterangan lain menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan gajala tarikan atmosfer (atmospheric tides), yaitu pergerakan gelombang yang diakibatkan atmosfer yang sama dengan sistem yang ada di laut yang dipengaruhi oleh kekuatan gravitasi bulan dan matahari.
Apakah pemanasan global mempunyai peran dalam gejala gelombang pasang ini? Sepengetahuan penulis belum ada penelitian tentang ini. Namun, pergeseran pola cuaca yang ektrim bisa memenuhi logika, bahwa gejala ini merupakan rangkaian perubahan yang terjadi akibat adanya pemanasan global.

Perkiraan akan terjadinya peningkatan volume air laut karena mencairnya glatsier es di kutub utara dan selatan—akibat pengaruh pemanasan global-- merupakan salah satu skenario yang paling sering disinggung sebagai gejala adanya pemanasan global. Pola angin yang tidak terduga dan pergeseran musim yang mengakibatkan perubahan iklim, dapat dipastikan merupakan akibat pemanasan global yang sedang terjadi.

Sebagaimana dipaparkan oleh Sir Nicholas Stern, apabila sikap manusia dalam mempengaruhi bumi masih seperti sekarang (tanpa perubahan) dan trend konsumsi energi dan penggunaan bahan bakar, perubahan fungsi lahan, penggundulan hutan serta industri tidak berubah --business as usual-- maka dalam tahun 2100—sekitar 93 tahun mendatang—akan terjadi kenaikan suhu bumi, yang berakibat kenaikan terhadap permukaan laut.
Apabila hal tersebut terjadi maka yang paling menderita adalah negara-negara yang berkembang dan negara kepulauan seperti Indonesi, kepulaua Pasifik termasuk Jepang dan negara negara kepulaun kecil seperti Vanuatu dan Micronesia.

Oleh karena itu, sebagai negara kepulauan sekaligus juga negara berkembang, kita harus segera mengadakan proses adaptasi. Anggap saja gelombang pasang yang terjadi dalam beberapa minggu ini, kiranya hanya merupakan “uji coba” bila terjadi dampak terhadap gejala perubahan iklim dan pemanasan global.

Gelombang pasang, walaupun tidak membawa korban jiwa, dapat menimbulkan penderitaan dan kehilangan harti. Oleh karena itu sebaiknya gejala ini langsung dijadikan momentum dan merupakan peringatan dini pada mereka yang berada di kawasan pinggiran pantai untuk mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan mereka susungguhnya.

Jadi apa yang harus dilakukan? Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai memanjang ribuan kilometer, dengan banyak penghuni dan rakyat berada di pinggiran pantai, ada beberapa hal yang perlu dilakukan: Pertama, kita harus mengadakan adaptasi terhadap lingkungan dimana kita tinggal. Garis pantai yang mempunyai sejarah terkena gelombang pasang, sehingga rumah dan tempat tinggal menjadi hancur, merupakan kawasan yang sudah pasti tidak layak untuk tempat tinggal. Resikonya adalah harus ada relokasi dari tempat yang terkena dampak bencana dan radius sekitarnya ke kawasan yang lebih aman. Berapa jarak yang harus dihindari, harus dilakukan penelitian yang serius. Sebab, penetapan yang tidak semestinya antara jarak pantai dan bangunan hanya akan mengakibatkan bencana kemanusiaan akan berulang.

Proses adaptasi ini memang bukan kegiatan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga menjadi kewajiban pemerintah karena hal ini adalah merupakan upaya meminimalkan (mitigation) terhadap resiko bencana, tinimbang pemerintah menanggulangi dan memberikan bantuan bencana setelah terjadi. Upaya mitigasi ini merupakan suatu yang dianjurkan oleh Protokol Kyoto, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada November 2005. Sebagai contoh, negara-negara Micronesia, melalui Program Lingkungan Pasifik telah membiayai program adaptasi sebesar 34 juta dollar AS dalam upaya adaptasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mempersiapkan jalan jika terjadi banjir, membuat dinding atau membuat penahan gelombang, dan memperbaiki system drainase, memindahkan kebun, menanam tanaman yang tahan terhadap kondisi asin dan memperbaiki sistem industri perikanan mereka.

Sebagian pantai Indonesia seperti Parang Tritis, Sanur, Nusa Tenggara dan Pantai Barat Sumatera seperti Padang, merupakan pantai-pantai yang indah yang kerap dikunjungi wisatawan (domestik dan mancanegara) bahkan menjadi sumber pendapatan ekonomi. Upaya penyesuaian yang harus dilakukan di tempat ini adalah: menyediakan papan-papan peringatan termasuk skema tempat-tempat evakuasi apabila terjadi bencana. Di kawasan yang merupakan obyek wisata padat dan intensif, harus disiapkan para bay watch yang terlatih dan menyediakan tenaga relawan atau pegawai tanggap darurat yang terlatih sehingga apabila terjadi bencana tidak memakan korban jiwa.

Upaya kedua, adalah secara terus menerus memsosialisasikan ramalan cuaca dan iklim yang bisa didapat oleh publik dengan mudah. Badan Metereologi dan Goefisika (BMG) sudah menyediakan jaringan ramalan cuaca online berbasis internet, tetapi ini tidak dapat dijangkau oleh publik biasa misalnya nelayan. BMG memang sudah aktif ditanya ketika terjadi bencana dan memberikan keterangan yang banyak. Sudah tentu keterangan setelah terjadi bencana dan kerugian merupakan hal yang sia-sia. Agak dilematis bagi pemerintah yang tidak mempunyai wewenang untuk mengendalikan informasi, tetapi setidaknya pemerintah perlu mensubsidi penyiaran ramalan cuaca dan iklim (forecasting climate and weather) secara terus menerus untuk kepentigan publik. Beberapa hari menjelang banjir besar di Jakarta dan beberapa kawasan lain beberapa awal Februari lalu, beberapa stasiun televisi sangat rajin menayangkan ramalan cuaca. Tetapi karena kegiatan ini –mungkin tidak menguntungkan—kalah oleh desakan tayangan iklan yang menghasilkan pendapatan, maka tayangan itu pun lalu menghilang.

Ketiga, mengupayakan negosiasi tingkat internasional untuk memperoleh dukungan dalam mendapatkan dana adaptasi. Sebagaimana diketahui Negara-negara industri lah yang menjadi pemicu utama pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya insentif dan konpensasi untuk negara berkembang –seperti Indonesia untuk mempertahankan daya serap karbon (carbon sequestration) karena terpaksa—untuk memenuhi kebutuhan ekonomi—terus menebang hutan alamnya. Momentum Konvensi PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan didakan di Bali bulan Desember mendatang merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memperjuangkan hak mempertahankan hutan alamnya dan bernegosiasi agar upaya pencegahan kerusakan hutan (avoided deforestration) yang dilakukan oleh berbagai daerah untuk mempertahankan hutan alamnya memperoleh kompensasi dan diakui medapatkan kredit carbón yang diakui dalam peraturan Protocol Kyoto.***

KORAN TEMPO 21 Mei 2007

Menantang Kodrat Alam

Fachruddin M. Mangunjaya, pencinta lingkungan

Banjir yang mengakibatkan kerugian di Jakarta bukan pertama kali ini terjadi. Awal Februari 2007, kerugian menurut Bappenas mencapai Rp 8,8 triliun. Adapun tahun ini banjir diasumsikan mengakibatkan kerugian paling tidak Rp 7,2 miliar (Koran Tempo, 3 Februari). Februari tahun lalu warga di perumahan kelas menengah, seperti di Kelapa Gading Jakarta dan beberapa kompleks perumahan yang dipromosikan oleh pengembangnya tidak banjir, ternyata tergenang air limpahan. Sedangkan tahun ini ruas jalan tol Sedyatmo menuju Bandar Udara Soekarno Hatta pada kilometer 26-27 digenangi air setinggi lebih dari 1 meter.

Pelajaran yang bisa diambil adalah, meskipun tinggal di apartemen mewah, ternyata masyarakat tidak terhindar dari kejaran air. Banjir menggenangi ruas jalan km 26-28 menuju bandar udara--seperti dilaporkan media--akibat banyaknya lahan alami di sekitarnya yang telah berubah fungsi, dari rawa-rata tempat penyerapan air menjadi gedung yang menutup jalur limpahan air. Banjir terjadi akibat keberanian pengembang dan pemerintah menantang kodrat alam, membangun dan memberikan izin pembangunan di kawasan yang sesungguhnya menjadi tempat penampungan air, sehingga mengakibatkan bencana.

Kalau mau menyadari, peristiwa banjir ini memberikan pelajaran kepada banyak pihak tentang karakter alam di mana manusia harus menyelaraskan diri (adaptasi). Sifat air, misalnya, akan menuju ke kawasan yang lebih rendah. Dan bila satu tempat penampung air ditimbun oleh sebuah bangunan, misalnya mal atau apartemen, air yang mestinya terserap di kawasan tersebut akan tetap mencoba kembali ke sana. Bila tidak, karena di kawasan itu ternyata telah dibangun dan direkayasa cukup tinggi, wilayah lainlah yang akan menjadi korban.
Mengamati akselerasi bencana banjir yang tidak pernah selesai, saya melihat ada faktor utama yang bisa jadi semakin memperparah kondisi Jakarta. Pertama, laju arus urbanisasi. Kedua, masalah komitmen dan penegakan aturan terhadap tata ruang. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir sejak 1996, Jakarta tetap berkembang pesat dan tetap menjadi tujuan utama arus urbanisasi. Penduduk kota ini terus bertambah 300-400 ribu jiwa per tahun. Pada 2006, jumlah penduduk Jakarta, menurut Dinas Badan Pelestarian Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 11 juta jiwa pada siang hari dan 8,9 juta jiwa pada malam hari.

Konsekuensinya, pemolaan tata ruang Jakarta pastilah sangat overload dengan jumlah penduduk yang luar biasa ini. Kita akan terus menyaksikan apartemen tetap dibangun, dan bangunan-bangunan baru tetap berdiri untuk memenuhi standar kebutuhan penduduk yang terus bertambah.

Sayangnya, pembangunan ini terkadang tidak mempertimbangkan unsur yang ramah terhadap lingkungan dan bahkan tanpa analisis lingkungan yang memadai. Kerap kita saksikan pembangunan sarana publik yang akhirnya mengabaikan kepentingan sosial, mengambil badan jalan dan pedestrian, serta menyulap kawasan resapan air dan lahan terbuka hijau (LTH) menjadi gedung-gedung beton yang perkasa.

Pembangunan di Jakarta pun kerap tidak konsisten dengan konsep tata ruangnya sendiri. Padahal Jakarta mentargetkan LTH sebesar 13,94 persen (Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010). Tapi kini diperkirakan sisa di lapangan hanya 9,12 persen (2006), masih jauh dari standar ideal kota sehat sebesar 30 persen (Joga, 2006). Dalam hal ini, pengambil kebijakan perlu konsisten dalam mempertahankan ruang terbuka hijau dan menghentikan pemberian izin bangunan kepada kawasan-kawasan yang berpotensi menyerap air.

Melihat pelajaran di atas, sangatlah tidak arif bila manusia modern mencoba melawan kodratnya untuk menantang alam. Sebaliknya, yang harus diingat adalah manusia mesti berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan (mitigasi). Kita tentu saja boleh membangun gedung-gedung bertingkat memenuhi permukaan bumi dengan berbagai karya manusia. Tapi alam tempat karya tersebut ditanam mempunyai keterbatasan di mana unsur-unsurnya bisa saja berubah apabila kita tidak cukup bijak memanfaatkannya. Misalnya, ketika semua bangunan tidak menyisakan lahan untuk resapan, sementara air tanah terus-menerus diisap dipompa ke atas untuk keperluan manusia, persediaan air tanah akan terkuras. Di kawasan industri di Kabupaten dan Kota Bandung, permukaan air tanah menurun drastis mencapai 40-80 meter di bawah permukaan tanah. Kecenderungan ini semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya akibat banyaknya air yang disedot melalui sumur-sumur bor (KLH, 2006).

Kellert dalam Building for Life (2005) mengistilahkan sebuah bangunan yang mampu menyelaraskan kepentingan alam dan manusia dengan definisi biofilic design. Menurut dia, ada dua hal yang harus dipenuhi. Pertama, kita harus meminimalkan dan memitigasi efek lingkungan dari sebuah konstruksi bangunan yang modern. Kedua, kita juga harus mendesain dan menyediakan lingkungan agar manusia senantiasa mempunyai kontak yang cukup dengan alam.

Dalam tahun terakhir, tren pendekatan pengembangan pembangunan desain alternatif yang berkelanjutan dan hijau akan terus digandrungi, karena terbukti tak hanya ramah terhadap alam dan lingkungan, tapi juga memiliki dampak pada kesehatan penghuninya. Pembangunan biofilik dirancang mengikuti dimensi dasar, yaitu bangunan yang organik (organic design). Ini pembangunan yang mengikuti pola-pola alamiah, mengikuti kontur lanskap yang ada, yang secara simbolis juga menandakan bahwa manusia cukup beradaptasi dengan lingkungannya tanpa intervensi yang merusak bahkan menantang alam. Pola pembangunan seperti ini, misalnya, bisa secara kreatif memanfaatkan penerangan alamiah serta memanfaatkan ventilasi dan materi bangunan dengan memanfaatkan lingkungan: tidak menebang vegetasi pohon-pohon di sekelilingnya, berdiri dan mempunyai dekorasi dan ornamen yang menyesuaikan dengan alam sekitarnya ***

KORAN TEMPO 16 FEBRUARI 2008