Sunday, January 20, 2008

Masa Depan Hijau Untuk Agama dan Bumi

Ketika Menteri Kehutanan MS. Kaban, bertanya kepada penyandang gelar haji yang menjadi pelaku illegal loging: mengapa dia melakukannya?Dijawab, bahwa hutan yang Dia tebang merupakan karunia Tuhan, dan manusia harus dapat memanfaatkannya (The Jakarta Post 9/4/06)

Oleh Fachruddin M. Mangunjaya


Kita tidak berdebat mengenai aspek pidana, bahwa Pak Haji memang melanggar undang-undang sehingga Dia dikenai hukuman sesuai UU yang berlaku di negara RI. Tetapi, dari sudut pandang agama –Islam sic—sebenarya ada kedangkalan pengetahuan yang diperoleh Pak Haji dalam menafsirkan ‘kekuasaannya’ sebagai khalifah di muka bumi. Realitas inilah yang ingin diungkap oleh pakar agama dan lingkungan. Bahwasanya, agama-agama (termasuk Islam) sangat tertinggal dalam memberikan tafsir atas kekuasaan manusia terhadap alam. Hal yang sama terjadi pada agama samawi yang lain, baik Yahudi maupun Kristiani.

Agama-agama samawi menjadi tertuduh atas warisan dan cara pandang terhadap krisis lingkungan yang ada di bumi, karena memberikan tafsir antroposentris terhadap alam dan ciptaan Tuhan di bumi. Tesis inilah yang diangkat oleh Lynn White, Jr. dalam esai pendek bertajuk: The historical root of our ecologic crises, di jurnal Science pada tahun 1967, yang masih diingat betul oleh para aktifis hingga filosof yang terlibat memikirkan tentang lingkungan hidup. Kata White: krisis ekologi yang tengah terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahan manusia menanggapi persoalan lingkungannya. Apa yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungannya bergantung dengan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sediri dalam hubungannya dengan apa yang ada di sekitar mereka. Lebih lengkap dikatakannya, bahwa akar dari sumber krisis lingkugan ini dipengauhi oleh keyakinan tentang alam kita dan takdirnya—yaitu oleh agama.

Pertengahan April 2006 yang lalu, sekitar seratus empat puluh lima orang yang terdiri dari akademisi, ilmuwan dan agamawan berkumpul dalam konferensi inagurasi University of Florida bertajuk: Religion and Nature Conference. Bron Taylor, guru besar agama dari Departement of Religion University of Florida yang punya hajat atas konferensi yang mengundang pakar lingkungan dan agama di seluruh dunia itu, mengemukakan pendapat mengenai perkembangan dan prospek untuk "menghijaukan agama" yang sering sekali digembar gemborkan sebagai prasyarat bagi masyarakat dengan lingkungan berkelanjutan. Taylor mensinyalir bahwa gerakan kembali melihat agama sebagai prasyarat untuk memelihara lingkungan dan bumi merupakan salah satu kekuatan yang dapat membuahkan hasil disamping adanya etika biosentris yang mempengaruhi sub kultur serta budaya pop sebagaimana yang disuguhkan dalam banyak kegiatan atraksi budaya dan lingkungan.

Tentu saja ada harapan besar, agar para pemimpin agama untuk ikut terjun memikirkan kembali posisi agama dalam melihat ciptaan Tuhan. Kini kita melihat adanya kepunahan makhluk hidup dan ketergusuran ekosistem mereka akibat kerakusan manusia. Padahal kitab suci agama –khususnya al-Qur’an— mengajarkan bahwa semua makhluk hidup dilangit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada Ilahi (Q.s: 62:1). Bahwasanya, Tuhan telah menganggap burung yang terbang dengan kedua sayapnya serta binatang yang ada di bumi semuanya itu adalah umat juga, seperti halnya manusia (Q.s. 6:38). Lalu Bagaimana kemudian manusia dapat mempunyai hak, dengan arogannya memperluas kebun, mengeruk bumi, mencemari udara, menebang pohon-pohon alam (yang tidak pernah ditanam oleh tangannya), untuk keperluan hidupnya. Bahwa disanalah ada makhluk Tuhan, burung-burung dan sungai-sungai –dimana ikan dan kodok bertasbih kepada Tuhan setiap saat?

Pengaruh Terhadap Kebijakan
Gregory Hitzhusen dan James Skillen peserta dari Cornell University, mensinyalir bahwa tesis yang dikemukakan oleh White sebenarnya masih bergaung hingga kini. Ilmuwan Cornel itu menunjuk contoh pemikiran yang mengklaim bahwa administrasi Bush dan Reagen yang beroposisi kepada lingkungan –termasuk tidak mau menandatangani Protocol Kyoto, pen—sebagiannya adalah karena pengaruh penafsiran terhadap wahyu Kristiani tentang alam akhir dan berkesimpulan bahwa kiamat sudah dekat. Pengetahuan tentang hari akhir yang sempit ini ujungnya membuat usaha menyokong perlindungan lingkungan, semakin terpinggirkan dari arus kebijakan. Namun ini semuanya pada esensinya terdorong karena miskinnya sikap spiritual untuk mempunyai niat menyelamatkan bumi dan isinya. David Orr dalam Journal Conservation Biology (April 2005), memandang realitas diatas pula yang mengakibatkan sikap para politisi sayap kanan yang dikuasai oleh kaum Republikan dikongres Amerika—termasuk diantaranya pimpinan Kristen konservatif— yang kemudian cuek terhadap penyelamatan keanekaragaman hayati.

Tetapi menurut pendapat Jay MC Daniel, pihak Kristiani menganggap dampak yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sifat ambigu barat. Secara historis, kata Mc Daniel, pendekatan Kristen Barat terhadap alam sangatlah ambigu. Sementara pernyataan bahwa Kristianitas paling bertanggungjawab terhadap sikap-sikap negatif terhadap alam merupakan tuduhan yang berlebihan, juga berlebihan untuk menyatakan bahwa Kristianitas sangat tidak terlibat.

Perdebatan tentang pengaruh spiritualitas yang melingkari pikiran dan persepsi manusia dalam mengambil kebijakan, sesungguhnya juga terjadi di dunia Muslim. Keinginan dan kajian terhadap lingkungan, penyelamatan makhluk hidup yang ada disisi manusia sangat sulit ditemukan. Banyak sekali kajian agama yang hanya memberikan pengaruh kepada moralitas antara sesama manusia, namun tidak banyak pengkajian dalam memberikan keputusan terhadap ciptaan Ilahi yang lain. Hingga sekarang sangat sulit mencari dana-dana filantropi di dunia muslim yang kaya raya untuk keperluan konservasi dan penyelamatan ciptaan Tuhan dimuka bumi. Hal ini barangkali karena kesadaran yang sedikit akibat ajaran moral dan penghormatan terhadap makhluk bukan manusia menjadi bukan prioritas.

Maka tidaklah asing apabila kita menjumpai keputusan yang menomor duakan persoalan penyelamatan satwa dan alam yang diambil oleh penguasa di Republik Indonesia—negara muslim terbesar di dunia—baik di pusat maupun di daerah. Kita menyaksikan ada puluhan makhluk hidup yang mati diracun, dijerat dan dibunuh beramai-ramai oleh penduduk, tanpa merasa berdosa atas tindakan yang ‘konyol’ bahwasanya, manusia dapat memusnahkan spesies langka yang tidak akan kembali lagi ke bumi apabila mereka musnah.

Pandangan Biologi Konservasi
Studi agama dan ekologi kini menjadi muncul sebagai kajian menarik dikalangan akademisi. Beberapa pakar seperti Mary Evelyn Tucker dari Forum on Religion and Ecology, Graduate Theological Union, David Barnhill University of Wisconsin Oshkosh, Mark Wallace Swarthmore College dan David Haberman Indiana University, membahas mengenai fenomena munculnya studi agama dan alam sebagai pembahasan akademis. Akademisi adalah ‘akademisi’ yang cenderung membahas segala sesuatunya secara teoritis. Tetapi kajian akademis tentu saja sangat penting untuk memberikan pemahaman yang luas tentang pandangan agama terhadap bumi dan ciptaan lainnya. Dalam hal ini studi agama mendapatkan suatu ruh baru guna meyakinkan pengambil keputusan: dengan memberikan tafsir rasional terhadap agama yang akan memperkuat argumen agar kebijakan mereka tidak bias dan mengorbankan lingkungan dan planet bumi tempat satu-satunya manusia dapat hidup beribu generasi.

Mark Wallace, mengingatkan akan wahyu yang terlampau kaku diterjemahkan kedalam bahasa teks yang terkadang tidak dapat diterima dan tidak rasional, misalnya dalam mendapatkan pemahaman tentang kitab Kejadian (1:1-30). Teks ini, kata Marks perlu dirumuskan dalam konteks biologi konservasi. Misalnya Tuhan menciptakan tanam-tanaman dengan begitu saja, difahami secara tekstual tetapi yang dimaksud tanam-tanam dalam teks, dapat dibaca oleh para ahli biologi konservasi yaitu dengan terbentuk adanya suatu keseimbangan sedemikian rupa, bahwa balance yang terjadi di bumi merupakan khasanah yang diciptakan berupa tumbuhan yang memberikan kemakmuran bagi semua makhluk di bumi. Maka teks harus dijelaskan bahwa makanan tersedia bila terciptanya rantai makanan yang utuh karena adanya jaminan terhadap ekosistem yang sehat sehingga mata rantai makanan bagi semua makhluk hidup tidak putus.

Itulah jaminan Tuhan, dan manusia bisa mengintervensi, merusak rantai makanan tersebut misalnya, dengan memutus salah satu komponen ekosistem: merusak hutan atau memburu makhluk hidup tersebut tanpa pertimbangan keberlanjutan. Padahal fungsi universal ekosistem adalah menjaga keseimbangan –termasuk menyediakan makanan —rejeki pada makhluk lain: baik manusia dan makhluk bukan manusia. Proses inilah yang diistilahkan dalam disiplin ilmu ekologi dangan menyerap dan mentransfer energi atau menyediakan dan menyerap nutrisi. Selain itu kesatuan ekosistem yang asli juga mampu menjadi penjaga –baik tangkapan—maupun pelepasan air, dan tentu saja sebagai pengikat karbon yang dibuang oleh makhluk lain di bumi dan mengeluarkan oksigen untuk semua makhuk bernafas.

Surga yang Hilang
Masih ingat, ketika media menyebarkan sebuah "trik berita" untuk menarik perhatian masyarakat dunia, ketika mengekspose penemuan spesies baru oleh para ilmuwan Conservation International dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Papua, beberapa bulan yang lalu? Media menyungguhkan judul kawasan Papua sebagai surga yang hilang, atau dunia yang hilang (the lost world) yang ditemukan kembali. Image, mencari sebagian dunia yang hilang, masih terpatri di benak manusia, yang nenek moyangnya—Adam dan Hawa — terusir dari surga. Dampak dari judul yang menarik tersebut, berbulan-bulan media barat mengekspos tentang kekayaan dan keindahan alam Mamberamo, Papua yang terkuak seperti sebuah misteri sehingga mendapatkan liputan ribuan media di seluruh dunia dan "memancing" kapal Green Peace, Rainbow Warrior, untuk singgah di dermaga Papua.

Mark Stoll dari Texas Tech University, mengungkapkan tentang tradisi Teologi Kristen Puritan dalam memandang Taman Nasional, sebagai "penggalan surga" yang hilang. Tradisi penghargaan dan kerinduan pada taman surga ini rupanya berpengaruh dalam nostalgia dan pikiran para seniman abad delapan belas, sehingga hasil lukisan para seniman – yang melukiskan kekaguman terhadap keindahan Taman Nasional Yosemite tahun 1890, dan Taman Nasional Sierra Nevada –mendorong berdirinya Sierra Club tahun 1892 dan pembentukan pelayanan Taman Nasional tahun 1916.

Pengaruh religiusitas dan keterkaitan manusia dan alam dibahas oleh Stephen Kellert, guru besar kehutanan dan lingkungan dari Yale University yang menjadi pembicara kunci untuk mengangkat tentang nostalgia agama dan sains dalam memberikan pencerahan akan adanya kekekalan hubungan antara manusia dengan alam atau ciptaan.

Kellert bersama E.O. Wilson adalah guru besar yang sangat terkenal dengan risetnya tentang biophilia: yang meneliti tentang hubungan ikatan manusia dan alam, mengemukakan tentang hubungan antara ciptaan dan kesatuan antara: agama, sains dan budaya.

Bahwasanya dasar universal manusia yang terwariskan secara genetis (secara pribadi saya mengatakah ini adalah fitrah manusia-pen), adalah: keinginan manusia menghargai sains dan agama sebagai wahana untuk menghubungkannya dengan alam sebagai ciptaan. Namun, ada realitas yang mempengaruhi kehendak ini yaitu: variasi individual dan kontruksi budaya. Akal manusia memberikan peluang untuk melatih kecenderungan ini, apakah kita akan memupuk kebebasan berkehendak dalam merespon sifat genetis yang buruk yang bertendensi merusak, atau sebaliknya. Dalam arti, budaya manusia, kata Kellert juga berkontribusi mendorong kapasitas manusia untuk sekaligus menjadi bangsa religius dan saintifik. Namun dapat pula mendorong pada ekspresi untuk memilih pada hal yang merusak.

Kellert mengatakan, bahwa kehendak tersebut merupakan sifat universal biologi manusia yang merupakan produk evolusi: variabilitas berkait dengan ekspresi fungsional makhluk hidup. Implikasinya, berdasarkan persfektif ini, —yang sering membawa pada perdebatan— bahwa tidak semua kontruksi individual dan budaya sains dan agama adalah absah: bahwasanya hubungan keduanya ini tidak berfungsi dan merusak. Oleh karena itu, implikasi ini memang akan sangat berpengaruh hanya bila sains, agama, budaya dan alam dianggap sebagai landasan etika untuk merawat, menghargai dan melestarikan ciptaan tersebut.***

*)Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil diskusi dan sebagian makalah Inaugural Conference on Religion and Nature, University of Florida 6-9 April 2006, yang dihadiri oleh penulis.

Menghapus Utang Melestarikan Alam

Forum APEC 8-9 September 2007, di Sydney Australia membawa berita baik untuk Indonesia. Pemerintah AS, melalui Presiden George Bush menawarkan bantuan 20 juta dolar AS untuk mendanai program yang terkait dengan pencegahan penggundulan hutan melalui skema debt for nature swap. Apabila skema ini benar-benar terjadi, bantuan tersebut sesungguhnya merupakan suatu kewajaran yang seharusnya sudah diperoleh Indonesia sejak lama. Upaya memperjuangkan debt fot nature swap (DNS) di Indonesia, sudah bergulir tahun 1990an. Beberapa LSM internasional, terutama yang berbasis di Eropa dan Amerika yang bergerak di bidang konservasi telah lama ‘membujuk’ dan meyakinkan pemimpin negara mereka akan pentingnya skema ini.

DNS digunakah untuk memperoleh pelunasan dengan cara pertukaran utang luar negeri suatu
negara dan mengalihkan pembanyaran cicilan pada kegiatan pengelolaan kawasan-kawasan hutan lindung dan taman nasional. Sayang, karena mekanisme ini memelukan negosiasi panjang, maka banyak kesempatan Indonesia dalam membangun dan menjaga hutannya telah hilang. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan Indonesia dalam memperoleh pendanaan dan kapasitas sumber daya manusia yang layak untuk menjaga kelestarian hutannya.

Alasan ketiadaan dana dan kekurangan sumber daya yang kompeten juga menyebabkan parahnya pengawalan kawasan-kawasan taman nasional yang ada di Indonesia. Dalam dekade terakhir, kita sangat sering membaca berita perambahan terjadi di hutan lindung dan taman nasional. Bahkan, di tempat yang sudah menjadi aset negara dan dunia tersebut, terjadi kebakaran hampir setiap tahun. Lemahnya manajemen kawasan ini menyebabkan sumbangan emisi rumah kaca (CO2) dari Indonesia menjadi terpuruk pada peringkat ketiga setelah AS dan Cina. Penyebab utamanya adalah perubahan hutan alam menjadi perkebunan, pertanian, dan masalah manajemen kehutanan termasuk perambahan hutan alam dan kebakaran hutan.
Perubahan iklimKetika perubahan iklim menjadi isu global, maka menghapus utang dan mengalihkan pendanaan cicilan utang untuk pelestarian hutan adalah menjadi suatu keniscayaan yang harus diberikan oleh negara-negara kaya. Berdasarkan catatan dari Bank Indonesia posisi utang luar negeri Indonesia Desember 2006 tercatat 125,25 miliar dolar AS. Sedangkan untuk utang swasta tercatat 51,13 miliar dolar AS pada Desember 2006. Jepang merupakan kreditur terbesar yang meminjamkan 15,58 miliar dolar AS.

Sejak tahun 1987, telah lebih dari 1 miliar dolar AS telah dihasilkan dari kegiatan DNS di lebih dari 30 negara. Pengalaman pertama di dunia mengenai DNS diterapkan di Bolivia yang kesulitan membayar utang mereka pada tahun 1987. Negara ini merupakan salah satu pemilik hutan tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Bolivia awalnya mempunyai utang sebesar 650 ribu dolar AS dan melalui mekanisme DNS, utang tersebut ‘ditebus’ seharga 100 ribu dolar AS oleh Conservation International, sebuah NGO internasional yang bergerak dalam konservasi alam.

Sejalan dengan upaya itu, pemerintah Bolivia berkomitmen untuk mengonservasi tiga kawasan hutan mereka dan membantu manajemen Beni Biosphere Reserve, dengan mengeluarkan uang nasional mereka senilai 250 ribu dolar AS. Dengan cara itu, utang Bolivia dianggap lunas oleh kreditor dan positifnya, kegiatan konservasi serta upaya perlindungan hutan semakin bertambah.

Pada tahun 2006, Conservation International dan The Nature Conservancy (TNC) juga telah menyokong pemerintah AS dan Guatemala dalam menjembatani penghapusan utang melalui pelestarian alam yang menghasilkan dana 24 juta dolar AS untuk melestarikan alam dan hutan tropis yang ada di Amerika Tengah. Melalui perjajian itu pemerintah Guatemala, memberikan dana segarnya dalam bentuk uang nasional mereka senilai 24 juta dolar AS dalam waktu 15 tahun untuk membiayai kawasan konservasi yang telah ditetapkan.

Indonesia telah melakukan realisiasi program DNS dan rintisan untuk ini telah dimulai sejak bulan Oktober 2002 yang dilakukan antara pemerintah Jerman dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Hanya, program utama dari DNS ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan di Indonesia melalui bantuan pendanaan bagi usaha mikro dan kecil yang memiliki akses yang terbatas terhadap jasa perbankan dalam penyediaan pendanaan bagi teknologi berwawasan lingkungan.

Sikap AS merupakan langkah positif dalam upaya membantu Indonesia mempertahankan hutan alamnya. Dan pemerintah AS pun telah lama menggarap kebijakan ini melalui Kongres dalam Undang-undang Kon­servasi Hutan Tropis (Tropical Forest Conservation Act). Tidak lebih, sesungguhnya dunia memerlukan peran hutan tropis dalam mencegah terjadinya pe­rubahan iklim. Oleh sebab itu, tentu saja negara pemilik hutan tersebut perlu dana yang lebih banyak untuk menghadapi gangguan dan tekanan terhadap keberlanjutan hutan mereka.

Tentu saja komiten pemerintah AS perlu disambut baik. Dan Indonesia perlu membuktikan bahwa penghapusan utang ini bisa mempunyai bukti keberhasilan yang terukur: mengurangi penggundulan hutan. Kita berharap, cara ini bukan saja harus dilakukan oleh pemerintah AS tetapi juga negara-negara donor yang lain seperti Jepang. Jepang merupakan negara yang seharusnya sangat bertanggun jawab dengan kehancuran hutan di Indonesia. Negara ini 'sagat rakus' dengan kayu log yang mereka impor dari negarat-negara Asia pada tahun 1970-an. Oleh karena itulah negeri matahari ini, hingga sekarang masih memiliki tutupan hutan 70 persen bagi negerinya. Ingatan penulis masih segar, sewaktu banjir kayu di Kalimantan, kapal-kapal Jepang hampir setiap hari bersandar untuk mengangkut kayu log ke negara itu. Sekarang, dengan adanya perubahan iklim, negara pulau seperti Jepang, tentu tidak terlepas dari ancaman pemanasan global. Jadi solusinya adalah, berbagi atau tenggelam bersama-sama.
(Republika, 06 Oktober 2007)